Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Hal-hal Banal dalam Sepakbola dan Medianya

27 Oktober 2018   00:54 Diperbarui: 27 Oktober 2018   00:53 954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Matt Diffee/New Yorker

Menikmati sepakbola hari ini, rasa-rasanya, tidak akan sama seperti beberapa dekade ke belakang. Sepakbola hari ini adalah hiburan; industri terbesar di mana penikmatnya (dianggap) selalu haus intrik dan drama.

Seperti yang digambarkan Matthew Nicholson dan Russell Hoye dalam bukunya Sport and Social Capital, katanya, "...the people who do better are somehow better connected".

Inilah yang, barangkali, membuat sepakbola tidak berawal dari sepakmula dan berakhir pada pluit panjang di akhir 90 menit. Sepakbola sepertinya mesti diisi dengan bagaimana hidup pesepakbolanya, kekayaannya, hingga bagaimana sepakbola tengah berkembang. Dan sepakbola, pada tataran tertentu, bahkan bisa sampai memengaruhi aspek sosial dan budaya.

Semua perubahan ini seakan menuntut bahwa setiap individu dalam sepakbola terkoneksi baik secara langsung atau emosional melalui medium lain. Media, misalnya, secara fungsional maupun praktis.

Mungutip sebuah jurnal yang ditulis Vikas Shah Mbe, Football and Society menjelaskan, sepakbola telah menjadi olahraga unggulan dunia dengan dua ratus tujuh puluh juta orang (sekitar empat persen dari populasi dunia) aktif terlibat dalam permainan sepak bola, dan mungkin banyak orang lebih banyak yang menikmatinya sebagai penonton.

Tentu jika membicarakan media dan pasar yang tersedia, fakta ini adalah harta karun yang tidak perlu dicari. Ia ada dan tersedia di mana-mana. Maka yang kemudian menjadi pertanyaan adalah mengapa media olahraga (sepakbola) bisa sampai tutup?

Ya, ini memang tentang pamitnya Tabloid Bola kepada pembacanya. Semua orang tentu bersedih. Apalagi, pada satu titik tertentu, justru Tabloid Bola yang mungkin mengenalkan sepakbola; melalui bacaan, bukan permainan. Romantisme iniah yang membuat pamitnya Tabloid Bola menjadi kesedihan berlanjut dan berlarut.

Malalui cuitan yang dibuat lewat di akun Twitter TabloidBOLA, romantisasi itu begitu puitis: Sesuai sejarahnya, edisi pertama BOLA pada 1984 terbit pada hari Jumat, dan akan berakhir pada Jumat pula.

Sampai pada titik ini, sekali lagi, sepakbola menghubungkan sesuatu yang realistis menjadi banal. Bahwa tidak selamanya gagasan yang terkoneksi, kemudian dilakukan individu dalam komunitas (penikmat sepakbola) akan semakin baik secara emosional, sosial, fisik dan ekonomi.

Mas Hadi Santoso, misalnya, menceritakan sekitar tahun 1996-an ia mulai rutin membaca Tabloid Bola, sejak masih duduk di bangku SMA.

"Butuh perjuangan untuk mendapatkannya.Tak hanya harus menyisihkan uang saku sekolah yang tidak seberapa, tetapi jarak rumah ke kios koran yang menjual BOLA, lumayan jauh. Kalau naik sepeda onthel sekira 20 menit perjalanan," kenangnya.

Kemudian pada masa-masa ia mulai mencintai sepakbola --karena membaca Tabloid Bola-- setiap lembar buku tulisnya ditulisi nama-nama pemain bola di bagian pojok atasnya.

Romantisme iniah yang membuat pamitnya Tabloid Bola menjadi kesedihan berlanjut dan berlarut.

Dan yang menjadi begitu berkesan bagi Mas Hadi Santoso, tentu saja, Tabloid Bola telah membuatnya tidak hanya mencintai sepakbola sebagai olahraga, tetapi jadi cinta menulis tentang sepak bola.

"Kecintaan yang akhirnya membelokkan cita-cita saya dari yang awalnya berniat menjadi ahli teknik kimia--karena anak IPA--lantas bermimpi menjadi wartawan olahraga," lanjutnya.

***

Dalam sebuah wawancara, eks-penyerang Manchester United, Louis Saha membayangkan sepakbola sebagai simbol yang berarti bahwa setiap orang dapat --pada saat yang sama-- bersaing dan hidup bersama.

Inilah yang membuat sepakbola akan terus berkembang sebagai olahraga dan industri. Bahkan eks-pemian Manchester United lainnya, Philip Neville mengakuinya.

"Sebagai pemain bola, kamu adalah seorang entertainer, olahragawan, atlet fisik, dan terkadang aktor. Terkadang, setelah pertandingan kamu mesti melakukan wawancara, dan - jujur, kamu tidak bisa selalu mengatakan yang sebenarnya!" katanya.

Karena ketika sudah menjadi seorang pemain sepakbola, lanjutnya, mesti memiliki banyak karakter.

Saat kecintaan terhadap sesuatu lebih besar daripada rasionalitas, maka hal-hal yang tidak terduga akan kerap terjadi.

Tidak juga perlu menjadi pemain sepakbola, bahkan penikmatnya pun bisa sampai melakukan hal serupa. Ini dialami sendiri oleh Mas Mahfudz Tejani saat ditangkap polisi setelah membeli Tabloid Bola di Jalan Silang, Malaysia.

Saat itu Mahfudz Tejani masih bekerja di area Bukit Beruntung, sekitar setengah jam dari Bandar Rawang. Setiap hari Minggu atau libur kerja, ia pergi ke Kuala Lumpur untuk membeli media khas Indonesia.

"Waktu itu saya masih berstatus full illegal, karena tidak memegang KTP dan passport, disebabkan hilang saat pertama kali masuk ke Malaysia," katanya.

Setelah mendapat Tabloid Bola, ia sadar, kalau di dekatnya berdiri kala itu ada dua orang polisi bertugas. Karena takut, ia mencoba menghindar dengan memasuki kerumunan orang-orang untuk membaur.

Namun, naasnya ternyata di antara kerumunan itu, ada 2 polisi lain. Seorang polisi memegang tali celana bagian belakangnya dan menariknya ke tangga area pertokoan lama di sekitar Jalan Silang.

Ketika diintrogasi ia hanya bisa menunduk tidak menjawab dan menggelengkan kepala. Dengan berpura-pura sedih, akhirnya ia dilepaskan juga oleh petugas polisi tersebut.

***

Pada waktu yang telah ditentukan, Jumat (26/10) telah  menjadi edisi terakhir Tabloid Bola. Informasi tentang terbitan terakhir itu, mengutip cuitan dari akun Twitter TabloidBOLA, akan berisikan 60 halaman dan fullcolor.

Kenangan dan romantisme itu akan mencapai puncaknya nanti. Tetapi jawaban yang tepat atas pertanyaan yang telah diajukan tadi, rasa-rasanya jelas, yaitu: ke mana kita saat dulu mau bersusah payah mendapatkan Tabloid Bola dan kini setelah punya penghasilan sendiri justru yang terlebih dulu meninggalkannya.

Yha. Ternyata memang kita yang lebih dulu meninggalkan Tabloid Bola daripada Tabloid Bola itu sendiri. Dan itu akan menjadi sesuatu yang banal antara sepakbola dan media(nya).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun