Dan hal lain tentang jumlah paragraf, (2) gurunya peang sekadar memberi tahu tanpa memberi referensi. Apa yang melatarbelakangi kalau satu paragraf itu mesti 3-4 kalimat? Siapa yang menyatakan bentuk baku tersebut? Kapan dia melakukan penelitiannya sampai akhirnya menemukan format demikian?
Memang hanya kepada anak kelas 3 SD, tapi paling tidak, berikan alasan-alasan yang, kalau tidak bisa masuk akal sekalipun, membenarkan setiap pengajaran!
Yha. Aku juga sepakat terhadap apa yang dikemukakan oleh gurunya peang. Paling tidak dalam satu paragraf terdiri dari induk kalimat dan anak kalimat. Soal jumlahnya yha tergantung si penulis. Bisa membuat lebih efisien sebuah kalimat, lebih baik.
Ingat, lebih baik, bukan lebih benar dari yang lain. Sebab itu dua hal yang berbeda.
Tentang cara menulis ini, membangun sebuah paragraf, aku jadi ingat Bertrand Russel. Tapi tunggu, aku bongkar dulu klipingku di tab "likes" Twitterku.
Tulisan lawas RT @radiobuku Bertrand Russel: Menulislah dengan Ringkas http://t.co/XaY3Wu3HgC … #TokohBuku#oldpost@zenrs— zen.rs (@zenrs) June 15, 2013
***
Begini. Aku menemukan catatan ini dari arsip Radio Buku yang dibuat Kang Zen RS tentang keresahan temannya yang kuliah dijurusan eksakta, iri dengan temannya yang kuliah di jurusan ilmu sosial.
"Kalian dikondisikan untuk menulis paper yang bentuknya bisa menyerupai esai. Tugas-tugas kuliahku melulu berisi preposisi angka-angka, ga ada teks-nya. Wajar aja kalau kalian bisa lebih mudah menulis," keluhnya kepada Kang Zen RS.
Barulah kemudian Kang Zen RS menceritakan kepada temannya riwayat Bertrand Russel itu.
"Pengalaman mendalami dan menggeluti matematika, kata Russel sendiri, sangat membantu karir kepenulisannya," tulis Kang Zen RS pada esainya Bertrand Russel: Menulislah dengan Ringkas.