Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Berapa Jumlah Kalimat dalam Satu Paragraf?

24 Oktober 2018   13:52 Diperbarui: 24 Oktober 2018   16:41 5479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Satu sore aku menjemput peang ke sekolahnya. Karena (1) aku sedang libur dan (2) sore itu sepertinya ingin turun hujan; langit amat mendung. Tiba-tiba aku kaget, sesampai di depan ruang kelasnya peang, di dekat jendela kelasnya ada papan peringatan bertuliskan: orangtua tidak boleh menunggu di depan kelas.

Aku baru tahu ada itu. Tadinya aku ingin kembali ke parkiran atau melipir ke kantin beli cakwe. Eh, aku baru sadar: aku kan kakaknya!

Duduklah aku di bangku permanen yang terbuat dari semen, tepat di depan ruang kelas dan dekat tempat sampah. Bau sekali memang, tapi tidak apa-apa pikirku. Setidaknya yha, daripada menunggunya di luar dan ini sudah sore, nanti ketemu mantan pulang kerja gimana? Kalau tiba-tiba baper gimana? Kalau tiba-tiba aku ngajak dia balikan gimana?

Yha. Jadi aku duduk di dekat tempat sampah pun aku terima. Jujur, aku tidak siap dengan segala risikonya kalau sampai ketemu mantan saat itu juga.

Baca: Ibu-ibu yang membantu anaknya agar supaya pulang cepat!

Sore itu sepertinya hanya kelas 3 dan 4 yang masih ada di sekolah. Jadi jumlahnya paling sekitar 5 sampai 6 kelas. Tapi, yha, tetap lumayan berisik.

Melihat papan pengumuman tadi, aku jadi ingat, satu waktu aku pernah memprotes kebijakan sekolahnya peang yang membiarkan orangtua dan/atau wali murid yang bisa keluar-masuk kelas dengan bebas --maksudnya saat-saat waktu pulang.

Meskipun mereka-mereka ini terbilang Mamih-Muda-Yang-Menggoda, entah kenapa aku jadi sedikit ilfill melihatnya.

Beberapa murid dari kelas lain ada yang sudah pulang. Berlarian dan ramai di lapangan. Ada yang bercanda, ada yang mengusili teman lainnya, ada yang lagi dicomblangin malahan. Kenakalan anak-anak di era infomatika seperti ini, pedahal, ternyata masih sama ketika aku seusia mereka. Zaman boleh berubah, kenakalan abadi~

Tadinya aku ingin mengintip ke dalam ruang kelasnya peang lewat jendela. Sekadar ingin tahu saja (1) sedang belajar apa, lalu (2) masih lumayan lama atau tidak? Tapi niat itu aku urungkan, aku tidak ingin mengganggu proses belajar-mengajar peang di sekolah. Biarlah itu jadi hak prerogtif gurunya --yang masih merangkap wali kelas dan guru mata pelajaran lainnya, kecuali komputer, agama, dan olahraga.

Satu-per-satu murid keluar dari kelas lain. Aku masih duduk di bangku permanen dan sesekali mendengar apa yang sedang gurunya peang terangkan dari dalam kelas. Sekilas terdengar sedang membahas sebuah cerita. Entah apa tepatnya.

Tidak lama seorang anak perempuan keluar dari kelasnya peang. Hanya satu orang. Oh, mungkin dia bisa menjawab dengan benar pertanyaan yang diberikan guru jadi boleh pulang duluan, pikirku.

Dulu juga aku seperti itu. Mungkin aku di kelas bukan anak unggulan, tapi perkara cepat-cepatan pulang, aku jagonya. Aku selalu bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan laiknya teman sekalas peang itu. Makanya aku urusan memerhatikan penjelasan guru selalu bisa, perkara pelajaran itu bisa aku ingat sampai di rumah tentu jadi lain cerita. Setidaknya memerhatikan guru di kelas bisa menyelamatkanmu lebih cepat keluar kelas. Itu saja dulu.

Bagaimana caraku agar supaya murid-murid mendengarkan dan paham setiap pelajaran dari guru? Cukup progresif, kan?

Suara gurunya peang meninggi. Terdengar seperti sedang kesal.

"Jadi dalam satu paragraf terdiri dari berapa kalimat?" tanya gurunya peang.

"Satu..., duaaaaaa..., satuu..., duaaaaa...," satu kelas menjawab dengan ribut, berbarengan.

"Satu paragraf itu terdiri dari 3 sampai 4 kalimat," kata gurunya peang menimpali jawaban murid-muridnya. "Makanya kalau lagi dijelasin kalian pada bengong sama main sih," lanjutnya.

Waduh. Aku malah jadi kaget sendiri. Ada dua hal yang kemudian menjadi pertanyaan besar saat gurunya menjawab sendiri pertanyaannya. Yaitu, (1) apa gurunya peang tidak pernah baca berita di media daring? Apakah masih banyak yang masih menggunakan konsep tersebut dalam kegiatan hariannya?

Tentu aku berani jamin: tidak!

Tidak ada media daring (itupun kalau masih ada paling jumlahnya amat sedikit. Jadi tidak ada bedanya; seperti hunian DP nol persen dengan satu persen) saat ini yang menggunakan konsep itu. Alasanya cukup beragam, tapi garis besarnya adalah supaya pembacanya tidak capek saat membaca berita yang panjang-panjang (termasuk laporan panjang sekalipun).

Itulah kenapa, era kiwari, pelaku media lebih suka memenggal jadi beberapa halaman. Sepertinya, yha. Tapi bukankah itu masuk akal?

Dan hal lain tentang jumlah paragraf, (2) gurunya peang sekadar memberi tahu tanpa memberi referensi. Apa yang melatarbelakangi kalau satu paragraf itu mesti 3-4 kalimat? Siapa yang menyatakan bentuk baku tersebut? Kapan dia melakukan penelitiannya sampai akhirnya menemukan format demikian?

Memang hanya kepada anak kelas 3 SD, tapi paling tidak, berikan alasan-alasan yang, kalau tidak bisa masuk akal sekalipun, membenarkan setiap pengajaran!

Yha. Aku juga sepakat terhadap apa yang dikemukakan oleh gurunya peang. Paling tidak dalam satu paragraf terdiri dari induk kalimat dan anak kalimat. Soal jumlahnya yha tergantung si penulis. Bisa membuat lebih efisien sebuah kalimat, lebih baik.

Ingat, lebih baik, bukan lebih benar dari yang lain. Sebab itu dua hal yang berbeda.

Tentang cara menulis ini, membangun sebuah paragraf, aku jadi ingat Bertrand Russel. Tapi tunggu, aku bongkar dulu klipingku di tab "likes" Twitterku.

***

Begini. Aku menemukan catatan ini dari arsip Radio Buku yang dibuat Kang Zen RS tentang keresahan temannya yang kuliah dijurusan eksakta, iri dengan temannya yang kuliah di jurusan ilmu sosial.

"Kalian dikondisikan untuk menulis paper yang bentuknya bisa menyerupai esai. Tugas-tugas kuliahku melulu berisi preposisi angka-angka, ga ada teks-nya. Wajar aja kalau kalian bisa lebih mudah menulis," keluhnya kepada Kang Zen RS.

Barulah kemudian Kang Zen RS menceritakan kepada temannya riwayat Bertrand Russel itu.

"Pengalaman mendalami dan menggeluti matematika, kata Russel sendiri, sangat membantu karir kepenulisannya," tulis Kang Zen RS pada esainya Bertrand Russel: Menulislah dengan Ringkas.

Benar saja. Jika memerhatikan bagaimana cara Bertrand Russel menulis, kalimatnya amat padat. Setiap gagasan yang berkembang menjadi kalimat sangatlah ringkas (atau sengaja dibuat ringkas).

Dari buku kumpulan esai Bertrand Russel How I Write, ia mengakui hal tersebut. Setelah mencari bentuk dan gaya kepenulisan kepada penulis-penulis idolanya, Bertrand Russel kembali kepada matematika: asal-muasal latar belakang pendidikannya.

"I had, however, already a different ideal, derived, I suppose, from mathematics," tulisnya dalam buku tersebut.

Lantas, bagaimana menulis dengan gaya yang matematis tersebut?

Bahasa dalam matematika tidaklah membingungkan. Secara struktur amat jelas. Ia tidak perlu memutar-balikan sesuatu yang ingin ditulisnya agar terlihat indah sebagai kalimat.

"Bahasa matematika adalah bahasa yang ringkas, langsung pada tujuan dan tidak mempersulit apa yang sebenarnya mudah," kata Bertrand Russel.

Tolong sampai pada bagian ini, tidak perlu membayangkan soal-soal ujian (cerita) matematika. Namanya ujian, itu memang sengaja dibuat menjebak. Bahasa matematika tidak sama dengan soal ujian matematika.

Caranya sederhana. Bertrand Russel menemukan pola tersebut dari temannya, Logan Pearshall Smith, ketika menulis. Ada dua, yaitu (1) letakkan koma setelah empat kata dan (2) hindari penggunaan kata "dan", kecuali dalam pembukaan kalimat.

Mungkin akan sukar untuk dipraktikan. Tetapi, paling tidak, dalam satu paragraf cukup memenuhi pikiran, gagasan, atau ide pokok yang dibantu dengan kalimat pendukung, di antaranya menggunakan satu induk kalimat dan dua anak kalimat. Setelah itu akhiri. Dan terus ulangi pada paragraf-paragraf lainnya.

***

Peang keluar kelas. Kedua terakhir dari teman lainnya karena bisa menjawab beberapa pertanyaan gurunya dan diperbolehkan pulang duluan.

Aku masih duduk di bangku permanen di depan kelas, sengaja ingin tahu siapa gurunya. Tidak lama ia keluar juga, tapi tiba-tiba aku kaget: gurunya peang adalah tetanggaku. Niat protes yang tadi terangkai di kepala akhirnya aku simpan dalam-dalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun