Gomah sekali waktu dibawa ke dokter karena luka yang relatif ringan: luka kecil di jari kakinya karena tersandung batu sepulang mengaji. Namun vonis dokter, ketika itu, sungguh tidak ringan. Gomah ternyata terkena diabetes. Luka yang awalnya kecil kemudian menjadi sulit disembuhkan. Bahkan hampir diamputasi.
Tidak ada lagi yang manis-manis yang Gomah konsumsi. Selama masa penyembuhan, hanya kentang rebus yang Gomah makan. Sesekali divarisi dengan entah apa-itu-namanya. Berat badannya turun drastis. Aktifitasnya di rumah jadi berkurang.
Kami sekeluarga tentu saja bisa memaklumi, karena itu pula berbanding lurus dengan masakan di rumah. Gomah tidak masak dan pengeluaran untuk jajan makan meningkat. Pada satu bulan penuh pertama malahan makanan kami hanya masakan padang, sate, mi intan, pecel lele dan richees. Itu saja diulang berkali-kali.
Mungkin karena terlalu sering melihat Gomah makan kentang rebus, rasa-rasanya diri ini ingin juga mencoba. Meski sekali waktu Gomah mengeluh karena bosan, jadilah aku menemani.
Tidak lama, satu minggu saja. Bukan karena tidak enak, namun masaknya yang lama. Selama menunggu kentang rebus itu matang godaannya banyak sekali: baso cuanki lewat, somay juga, dan lemari makan yang berisi mi goreng. Gusti Nu Agung.
Namun, yang paling menyenangkan adalah ketika akhirnya mulai terbiasa minum teh tawar. Gula --atau yang manis-manis-- seakan tersingkirkan dengan sendirinya. Sampai sekarang. Karena sudah lama juga aku meninggalkan (atau mengurangi dengan sebisanya) gula dalam membuat kopi. Aku ganti dengan krim kental manis.
Seperti juga Mba Tami, (es) teh tawar jadi punya arti. Dalam esainya yang berjudul 'Es Teh Tawar' di mana itu juga menjadi esai pembuka buku 'Berbagi Ruang', Mba Tami mengisahkan bagaimana pilihannya pada es teh tawar memiliki perspektif yang berkaitan dengan diri sendiri. Dan prespektif itu pula, yang pada akhirnya, menjadi cara pandang seseorang pada satu hal untuk menilai.
Bagaiamana, keren betul bukan Mba Tami, bisa menggunakan es teh tawar untuk menjelaskan itu? Sulute.
Mba Tami suka sekali minum teh tawar, panas atau dingin, setelah makan. Dan satu waktu, temannya yang sedang berulang tahun yang juga dokter, menyarankan untuk menggantinya. Lebih baik dengan air putih karena lebih baik untuk kesehatan.
Hanya karena kesukaan Mba Tami dengan teh tawar kerap ia dibilang terlalu pelit dan irit bahkan untuk diri sendiri. Sebabnya es teh tawar harganya lebih murah. Itulah yang kemudian seringkali kita, tulis Mba Tami, beranggapan semua orang melihat sesuatu dengan cara yang sama dengan cara kita memandang sesuatu.
"Padahal, rambut boleh sama hitam tapi isi kepala tetap saja berbeda. Segelas teh tawar bisa dipandang sebagai representasi yang berbeda oleh orang yang berbeda," lanjut Mba Tami.