Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Karena Hidup Mesti Berbagi, Termasuk Ruang

13 Juli 2018   23:28 Diperbarui: 14 Juli 2018   01:42 816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berbagi Ruang, Mba Tami (dokpri)

Memang tidak banyak. Tapi paling tidak, dari beberapa buku hasil unggahan di dunia maya yang aku punya (dan beberapa yang lain hanya sempat baca) tentu saja, buku 'Berbagi Ruang' yang ditulis Mba Tami ada di urutan kedua --dari tiga buku itu: (1) Simulakra Sepakbola, Zen RS dan (3) Dari Twitwar ke Twitwar, Arman Dhani-- tersebut.

Buku 'Berbagi Ruang' yang ditulis Mba Tami ini berasal dari kumpulan tulisannya di blog. Ada yang pernah singgah atau sekadar tersasar dari mesin pencari Google? Sebagai dosen FIB di Universitas Pakuan, Bogor, sudah barang tentu bahasanya di blog sangat rapi. Rapi, seperti foto; foto rapi.

Selalu menarik memang membaca buku-buku seperti ini. Buku yang, menurut Gus Muh si pengempunya Komunitas Warung Arsip dan radioboekoe itu, sebagai jenis buku-yang-bukan-buku. Barangkali, memang karena isi buku tersebut sudah lebih dulu hadir daripada ujud buku itu sendiri.

Dan, menariknya membaca buku-yang-bukan-buku itu karena (1) memikirkan bagaimana disusun dari kepingan-kepingan tulisannya menjadi satu. Mencari benang merah dan/atau memerahkan benang agar supaya nyambung. Itu sungguh sulit lho.

Semisal buku 'Twitwar ke Twitwar' yang ditulis Arman Dhani contohnya. Dari beragam tulisannya yang tercecer dari beragam situs dan blog pribadi, cara editor menyusunnya buku tersebut, jika mengutip pengatar Kepala Suku Mojok mz Puthut EA, yaitu dengan menyusun secara kronik: mencantumkan tanggal dan resume peristiwa.

Jika tanya fungsinya, tidak lain, karena menurut mz Puthut EA tulisannya Arman Dhani ini ambivalen: bisa bertahan dalam sekali baca, tapi bisa dibaca kapan saja. Efek semacam dj vu inilah yang kemudian diharapkan buku 'Dari Twitwar ke Twitwar' bisa relevan pada momen-momen tertentu.

Sebab bagaimana mungkin: isi buku yang sebenarnya bisa dibaca gratis (kalaupun bayar juga dengan kuota yang tidak terlalu banyak atau numpang wifi juga bisa) kini mesti ada harga yang kita bayar?

Buku-yang-bukan-buku ini pada akhirnya semakin penting hadir karena (2) biar bagaimana gagasan mesti didokumentasikan. Cara paling sederhana adalah menuliskannya. Dan yang terbaik, tentu saja, membukukannya. Memilih dan memilah apa saja yang masuk kriteria dan tidak; tema apa pas dan tidak berlebihan.

'Berbagi Ruang' saja misalnya, hanya memuat 49 tulisan esai. Menariknya, dari keseluruhan topik yang dibahas Mba Tami, dikelompokan menjadi 3 tema: Beranda, Ruang Tamu, dan Dapur. Penamannya seperti bagian ruang pada rumah, bukan?

Pembabakan itulah, barangkali, di mana pemabaca bisa melihat Mba Tami sebagai perempuan, ibu rumah tangga, dan (sekaligus) dosen pada saat yang bersamaan. Melihat isi hati, perasaan dan gagasan seorang wanita, paling tidak, tergambar jelas dari buku 'Berbagi Ruang' ini dibagikan.

***

Gomah sekali waktu dibawa ke dokter karena luka yang relatif ringan: luka kecil di jari kakinya karena tersandung batu sepulang mengaji. Namun vonis dokter, ketika itu, sungguh tidak ringan. Gomah ternyata terkena diabetes. Luka yang awalnya kecil kemudian menjadi sulit disembuhkan. Bahkan hampir diamputasi.

Tidak ada lagi yang manis-manis yang Gomah konsumsi. Selama masa penyembuhan, hanya kentang rebus yang Gomah makan. Sesekali divarisi dengan entah apa-itu-namanya. Berat badannya turun drastis. Aktifitasnya di rumah jadi berkurang.

Kami sekeluarga tentu saja bisa memaklumi, karena itu pula berbanding lurus dengan masakan di rumah. Gomah tidak masak dan pengeluaran untuk jajan makan meningkat. Pada satu bulan penuh pertama malahan makanan kami hanya masakan padang, sate, mi intan, pecel lele dan richees. Itu saja diulang berkali-kali.

Mungkin karena terlalu sering melihat Gomah makan kentang rebus, rasa-rasanya diri ini ingin juga mencoba. Meski sekali waktu Gomah mengeluh karena bosan, jadilah aku menemani.

Tidak lama, satu minggu saja. Bukan karena tidak enak, namun masaknya yang lama. Selama menunggu kentang rebus itu matang godaannya banyak sekali: baso cuanki lewat, somay juga, dan lemari makan yang berisi mi goreng. Gusti Nu Agung.

Namun, yang paling menyenangkan adalah ketika akhirnya mulai terbiasa minum teh tawar. Gula --atau yang manis-manis-- seakan tersingkirkan dengan sendirinya. Sampai sekarang. Karena sudah lama juga aku meninggalkan (atau mengurangi dengan sebisanya) gula dalam membuat kopi. Aku ganti dengan krim kental manis.

Seperti juga Mba Tami, (es) teh tawar jadi punya arti. Dalam esainya yang berjudul 'Es Teh Tawar' di mana itu juga menjadi esai pembuka buku 'Berbagi Ruang', Mba Tami mengisahkan bagaimana pilihannya pada es teh tawar memiliki perspektif yang berkaitan dengan diri sendiri. Dan prespektif itu pula, yang pada akhirnya, menjadi cara pandang seseorang pada satu hal untuk menilai.

Bagaiamana, keren betul bukan Mba Tami, bisa menggunakan es teh tawar untuk menjelaskan itu? Sulute.

Mba Tami suka sekali minum teh tawar, panas atau dingin, setelah makan. Dan satu waktu, temannya yang sedang berulang tahun yang juga dokter, menyarankan untuk menggantinya. Lebih baik dengan air putih karena lebih baik untuk kesehatan.

Hanya karena kesukaan Mba Tami dengan teh tawar kerap ia dibilang terlalu pelit dan irit bahkan untuk diri sendiri. Sebabnya es teh tawar harganya lebih murah. Itulah yang kemudian seringkali kita, tulis Mba Tami, beranggapan semua orang melihat sesuatu dengan cara yang sama dengan cara kita memandang sesuatu.

"Padahal, rambut boleh sama hitam tapi isi kepala tetap saja berbeda. Segelas teh tawar bisa dipandang sebagai representasi yang berbeda oleh orang yang berbeda," lanjut Mba Tami.

Keragaman selera, cara pandang, dan asumsi itu juga yang, barangkali, kini membuat sulit sekali mahami pilihan seseorang. Dalam hal apapun, bahkan pilihan paling buruk: politik.

Sebagaimana Mba Tami, aku pun tidak ingin mendebat untuk hal-hal semacam itu. Biarlah yang berbeda tetap berbeda. Sebab menjadi keliru bagaimana kita ketika bertoleran dengan menyamakan semua. Toleransi itu mengedepankan yang berbeda dan tidak mencampur-adukan itu.

***

Kejadian atau peristiwa yang ditulis Mba Tami terkadang remeh dan receh. Namun bisa menjadi berat bertingkat (asyiknya frasa 'berat bertingkat'?) manakala itu dikupas secara akademik. Yha. Tidak bisa tidak, Mba Tami adalah akademisi.

Aku kemudian membayangkan bagaimana kalau buku itu dibuatkan juga daftar pustaka atawa catatan kakinya. Barangkali sudah menghabiskan seperempat buku itu sendiri. Namun itulah yang mengasyikan, membaca buku 'Berbagi Ruang' seperti ikut kuliah bersama Mba Tami.

Semua tulisannya kaya akan referensi. Dan tulisan macam itu, percayalah, jauh lebih bergizi daripada pembenaran atas apapun alasan pasangan kita kala minta putus. Katanya, terlalu baik jadi lebih baik kita putus saja. Apa coba? Bahkan tiba-tiba menghilang setelah, walau belum terkait dan/atau terikat hubungan, sudah mengacak-acak rambut. Kemudian datang kembali, menyapa, dan memberi undangan nikahannya. Apa coba itu kalau bukan apes!

Hanya saja, entah ini selera aku yang kurang baik mungkin, cara Mba Tami mengeksekusinya membuat jenuh ketika mengutip buku atau ucapan atau apapun. Selalu dan selalu dengan serupa. Meski memang ada tatacara (baku) untuk mengutip tentu saja.

Misalnya dari esai yang berjudul 'Bu Dosen': Masing-masing peran itu menuntut penggunaan kosakata yang berbeda. Variasi bahasa berdasarkan penggunaanya disebut register. Douglas Biber dan Susan Conrad, dalam buku Register, Genre and Style, mengatakan bahwa deskripsi mengenai register mencakup tiga hal: konteks situasional, ciri linguistik, dab relasi fungsional di antara keduanya.

Lalu bayangkan itu ada di tiap tulisan. Tidak satu, tapi lebih dari itu. Bagaimana perasaanmu? Baik-baik saja meski, kamu tahu, ada yang tersakti dari caramu memgundangku itu. Hadeeeuh~

***

Semua kisah-kisah yang diceritakan Mba Tami dalam buku 'Berbagi Ruang' hadir dengan cair dan mencairkan. Seperti memungut remah-remah kue biskuit: biar bagaimanapun itu tetap saja bagian dari biskuit yang masih bisa dimakan.

Dan 'Berbagi Ruang' bagiku, bukan sekadar judul semata. Berbagi ruang, adalah frasa yang kerap dilupakan dan menjadi acuh kalau manusia adalah makhluk sosial yang secara suka-tidak-suka akan membagi (walau sedikit) ruang kepada oranglain agar supaya hidup menjadi harmoni. Itu.

Sekali lagi. Tidak banyak buku semacam ini yang, barangkali, digarap dengan seserius mungkin. Recommentdie betul buku 'Berbagi Ruang'. Percayalah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun