Baca: Akhir Sketsa Berhentinya Kopi Liong Bulan yang Fiktif itu
Agung membuka alat itu. Ampasnya sedikit kering yang tersaring kertas. Ia membuang ampasnya, saya memerhatikan warna Kopi Liong Bulan di gelas, warnanya lebih hitam pekat. Kemudian saya membuat hipotesa sendiri dalam pikiran: jika warna semakin hitam maka akan lebih terasa juice. Saya ambil sendok dan mencecap kopi tersebut.
Sial! Baru kali ini saya tahu ada rasa gelap! Melebihi pahit. Mungkin ini rasa kopi yang sebenarnya. Saya secara reflek meludah. Rasa kopi itu tertinggal lama di tenggorokan. Agung memberi saya air mineral, tapi tetap saja masih terasa pahitnya. Jika dianalogikan: seperti kopi tubruk, sudah ditinggal saat sayang-sayangnya, dia selingkuh dan masih saja mengundang hadir pada pernikahannya.
***
enaaaaaa poraaa? kopi liong bulan diseduh a la pourover~ pic.twitter.com/Yd1TaZxiXu— Kangmas Harry (@_HarRam) November 26, 2017
Tiga kopi itu disejajarkan. Sesaat ingin mencoba, tiba-tiba datang Babang Gojek. Maklum, di rumahnya Agung juga membuka warung makan yang bisa dipesan lewat aplikasi itu. Agung masuk dan entah apa yang ia lakukan di sana.
"Mau nyoba, Mang?" tanya saya kepada Babang Gojek, tentu itu sebuah tawaran. "Suka ngopi juga, kan?"
"Waduh, ada apaan nih?"
"Lagi iseng aja bikin kopi. Hayuk atuh dicoba, Mang,"
"Kalau saya sih suka kopi yang rasanya strong, maklum punya darah rendah," katanya dengan penuh bangga.
"Iyeeeeee, Maaaang,"