Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Gus Dur dan Pohon Duka yang Tumbuh di Belakang Televisi

30 Desember 2017   00:01 Diperbarui: 30 Desember 2017   10:16 1272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Flickr, Atomic Indy

Perihal bagaimana saya bisa mencintai Gus Dur, seperti halnya bagaimana Nyai Manggis akhirnya bisa betul-betul mencintai Bandempo, suaminya dari rumah judi tempatnya bekerja, dalam novel "Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi" yang ditulis Yosi Avianto Pareanom.

Dalam kisahnya, lewat rumah judi itu Bandempo menyuplai begitu banyak uang yang dibutuhkan pasukan Banjaran Waru untuk menyerang kerajaan Gilingwesi. Karena terpaut usia begitu jauh, Bandempo berterus terang kepada Nyai Manggis untuk melanjutkan perjuangannya. Sejak pertama kali bekerja di rumah judi, sudah begitu banyak Nyai Manggis mendapat pemujaan dari ratusan laki-laki. Tapi baru Bandempo yang menghormati dan memberi kepercayaan yang tinggi. Cinta, tulis Yusi Avianto Pareanom, bisa tumbuh dari hal-hal semacam ini.

Tentang cara Bandempo kepada Nyai Manggis (juga terhadap  pasukan Banjaran Waru), mengingatkan saya kepada Gus Dur. Bahwa perjuangan terhadap penindasan, biar bagaimanapun, mesti dilanjutkan. Mungkin bukan olehnya, tapi memercayakan pada generasi berikutnya, adalah cara terbaik untuk menjaga harapan dari yang dicita-citakan. Gus Dur menulis itu untuk Romo Sindhunata dalam balasan surat kepadanya.

Yang kemudian bisa saya lakukan, tidak mengkhianati perjuangan dan cita-cita Gus Dur.

***

Hampir setiap hari, setiap menonton berita petang, Gopah menggerutui apa yang ia lihat. Berita tentang Gus Dur, kala itu, seperti tambang emas bagi industri media. Apapun laku-kebijakan yang dilontarkan Gus Dur selalu bisa membuat Gopah kesal. Bad news, biar bagaimanapun, is a good news.

Pada saat yang bersamaan, tidak ada waktu yang tepat untuk saya mengerjakan pekerjaan rumah. Selalu terganggu dengan hal semacam itu. Bahkan saya masih ingat ketika Gopah dengan sedikit mengumpat "begini doang nih hasil reformasi?" manakala ada berita tentang kunjungan Gus Dur ke luar negeri yang rutin. Tidak ada yang bisa dipahami oleh anak kelas 2 SD kala itu, selain sesekali ikut kesal; oleh kegaduhan yang semestinya tidak didapatkan.

"Apa bedanya sama Soeharto? Ada pemilu, tapi hasilnya bagi-bagi jabatan," kata Gopah, satu petang ketika tayangan berita selesai dan berganti acara hiburan.

Untuk saat ini, saya tidak terlalu kaget melihat fenomena saling-hina antar kubu politik, polarisasi yang menjengkelkan. Yang membedakan hanya satu: kini orang lain jadi tahu apa yang kita resahkan. Sebab dulu, karena Gopah tergabung dalam sebuah organisasi Partai dan sejenisnya, hampir setiap bulan rumah dijadikan diskusi orang-orang. Tidak perlu tanyakan bagaimana jalannya diskusi, sebab isinya kritik-kritik --yang barangkali, kalau terjadi saat ini dianggap ujaran kebencian-- keras.

Beruntunglah satu waktu televisi di rumah rusak. Sebagai anak kecil yang hiburannya hanya bisa didapat dari acara kartun minggu pagi, saya rela televisi di rumah tidak perlu diperbaiki. Biar saja rusak, biar saya punya waktu untuk belajar saban petang.

***

Entah apa yang terjadi, Gopah membawa televisi bekas sepulang kerja. Ia memasang kabel antena di bagian belakang televisi dan mencolokkan kabel power-nya. Televisi dinyalakan. Berita-berita tentang demonstrasi di mana-mana. Dari pagi hingga pagi lainnya, hanya itu tayangan berita. Gus Dur diminta berhenti sebagai presiden. 

Ada senyum yang kemudian terlihat dari wajah Gopah kala itu. Saya juga masih ingat ketika bertanya ini: kalau presiden berhenti, terus gantinya siapa? "Siapa saja, Gus Dur tidak layak jadi Presiden,"  jawab Gopah.

Tapi seperti tidak ada yang berubah meski Gus Dur telah digantikan Megawati. Yang saya dapati di rumah: Gopah masih suka kesal ketika menonton berita di televisi. Sampai akhirnya televisi di rumah  saya rusak lagi dan saya tidak ingin televisi itu diperbaiki.

***

Tidak pernah lagi saya dengar nama Gus Dur di rumah. Baik dari televisi yang akhirnya diperbaiki hingga Gopah yang berlangganan Koran Tempo. Bahkan hingga Presiden berganti dan ada yang  terpilih kembali. Ia dilupakan dan terlupakan oleh waktu. Sampai pada  akhirnya muncul berita: Gus Dur sakit parah dan dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Dan, tidak lama setelah itu, Gus Dur wafat.

Dari tayangan berita petang, saya dapati kabar itu. Gopah yang hendak berangkat ke masjid untuk ibadah Isya, menyimpan kembali sajadahnya di lemari. Kami sekeluarga berkumpul di depan televisi. Tidak ada yang berbicara. Yang terdengar di ruang tengah kami hanya suara reporter-reporter yang bergantian melaporkan langsung dari Rumah Sakit.

Tidak ada lagi cercaan hari itu. Meski orang yang  diberitakan adalah orang yang sama seperti dulu yang sempat saya tahu  semasa kecil. Ketika saya lirik Gopah, ada airmata yang ia usap dari  pipi kirinya. Berulangkali. Hampir satu jam kita menonton pemberitaan itu. Sampai akhirnya Gopah mengajak kami untuk mengambil wudhu dan sholat berjamaah di rumah.

"Pada ambil wudhu, gih. Kita sholat dan doain semua  kebaikan-kebaikan Gus Dur," kata Gopah. Seperti ada pohon duka yang tumbuh di belakang televisi rumah kami.

***

Setiap kali mendengar nama Gus Dur selalu saya merasa sedih. Dalam konteks apapun. Dalam bentuk puisi sekalipun.

***

Agus Noor membincang buku puisi terbarunya "Ciuman yang  Menyelamatkanku dari Kesedihan" di Bogor. Saya datang dan mendapat buku puisi itu dengan cuma-cuma: hadiah karena telah live-tweet bedah buku tersebut. Padahal itu akal-akalan saya saja untuk tidak membaca puisi saat itu. Sebab, peserta bedah buku membaca minimal satu puisi dari buku puisi terbaru Agus Noor. Sudah selamat tidak baca puisi, dapat buku puisinya pula. Orang paling beruntung di dunia pasti iri melihat saya ketika itu.

Sambil membincang buku, kami minum-minum. Bir hitam yang dicampur cola zero sungguh menyegarkan untuk sore-menjelang-petang setelah hujan. Seorang peserta bedah buku, dengan kepedean tinggi, mengatakan kepada Agus Noor kalau buku puisi terlalu kekanak-kanakan. Sampulnya yang dominan berwarna kuning ditambah gelembung-gelembung polkadot merah. Juga ilustrasi-ilustrasi yang, menurutnya, tidak  nyambung dengan isi puisi.

Agus Noor tersenyum. Peserta yang lain malah ada yang  sampai tertawa. Sedangkan saya tidak tahu apa-apa. Warna, ilustrasi atau apalah-apalah itu namanya, buat saya biasa saja. Tiba saatnya peserta lain bergiliran membaca puisi, ada yang memilih membaca puisi "Lelucon Menjelang Kematian". Puisi yang dibuat Agus Noor untuk Gus Dur.

Tentu saya masih sadar. Baru tiga gelas bir yang saya minum kala mendengar puisi itu dibacakan. Pelan-pelan saya dengarkan dengan mata terpejam, semakin ada yang seperti memeluk dada saya. Dada mendadak terasa berat dan akhirnya air mata keluar tidak sengaja melewati pipi saya.

***

Saya kembali beli bir. Padahal saat itu sudah lama saya tidak minum-minum. Itu sepulang dari acara bincang buku puisi Agus Noor. Minum bir adalah kebiasaan saya, dulu, ketika bersedih. Menyendiri. Tidak ada orang ketika itu, kebetulan, di perpustakaan Teras Baca. Saya buka buku puisi Agus Noor, saya buka sekaleng bir, saya cari halaman puisi tentang Gus Dur.

Dari sanalah kemudian saya mendapat lelucon-lelucon khas Gus Dur. Saya tertawa. Tersenyum. Kemudian menangis. Kegetiran yang dulu pernah saya alami, kembali saya temui. Saya kutip utuh bagian tersebut:

4/
Ingin kutulis puisi, sesuatu yang kelak retak tetapi kuharap abadi, setelah kau mati. Kata-kata yang tak pudar di keramik waktu.

"Biarkan saya mati dengan tenang, tak perlu repot  memikirkan puisi. Ada baiknya saya jujur: sebenarnya saya tak terlalu  suka puisi. Kau tahu, penyair lebih rumit dari sopir bajaj. Di jalanan,  kalau bajaj mau belok, yang tahu hanya sopir bajaj dan Tuhan. Tapi kalau  penyair menulis puisi, bahkan Tuhan dan penyairnya sendiri tak tahu,  apa yang ditulisnya itu."

Tapi aku ingin menulis puisi. Meski mungkin tak akan  pernah menjadi abadi. Lihatlah, di matamu yang perlahan terkatup,  seperti ada perih puisi.

Ya, katamu, selalu ada yang jauh lebih tak terduga dari puisi, melebihi mati.

Mulai saat itulah saya rajin mengumpulkan cerita ataupun artikel tentang Gus Dur. Beberapa saya kliping, saya jadikan arsip di  perpustakaan Teras Baca --tapi kemudian hancur saat atap perpustakaan  bocor.

***

Yang selalu saya ikuti, tentang Gus Dur, lewat linimasa adalah haul beliau. Setiap tahun, sembari merenungi apa yang sudah-telah-akan lakukan terhadap pemikiran Gus Dur. Dan setiap kali memikirkan itu, hanya bersedih yang saya dapatkan. Utang rasa, jika boleh meminjam istilah Mbah Sudjiwo Tejo.

Mbak Yenni Wahid selalu mengingatkan: untuk menjadi Gus Dur, bukan hanya ngenyeknya yang ditiru, tetapi sikapnya melihat manusia sebagai manusia.

Sedikit paradoksal memahami itu. Bagaimana mungkin kita melihat manusia, tetapi nyatanya bukan manusia? Untuk memahami itu, saya ingin mengutip apa yang dituliskan Pramoedya Ananta Toer dalam novel Keluarga Gerilya, "orang yang berjuang, Dik Imah, adalah yang menyediakan surga untuk berpuluh juta manusia bangsanya."

Gus Dur adalah manusia. Seperti kita, kamu dan mereka lainnya. Hanya saja, Gus Dur adalah orang yang mau menjual sapinya untuk  kemudian bisa ia belikan telur dan bagikan kepada banyak orang. Gus Dur dan kebaikan adalah sisi yang tidak terpisahkan. Sedangkan sisi lainnya, adalah kemanusiaan. Gus Dur bukan anti-sinonim (jika meminjam Caping  milik Goenawan Mohamad), yang bisa dipisahkan dari kedua sisinya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun