Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Gus Dur dan Pohon Duka yang Tumbuh di Belakang Televisi

30 Desember 2017   00:01 Diperbarui: 30 Desember 2017   10:16 1272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Flickr, Atomic Indy

Agus Noor membincang buku puisi terbarunya "Ciuman yang  Menyelamatkanku dari Kesedihan" di Bogor. Saya datang dan mendapat buku puisi itu dengan cuma-cuma: hadiah karena telah live-tweet bedah buku tersebut. Padahal itu akal-akalan saya saja untuk tidak membaca puisi saat itu. Sebab, peserta bedah buku membaca minimal satu puisi dari buku puisi terbaru Agus Noor. Sudah selamat tidak baca puisi, dapat buku puisinya pula. Orang paling beruntung di dunia pasti iri melihat saya ketika itu.

Sambil membincang buku, kami minum-minum. Bir hitam yang dicampur cola zero sungguh menyegarkan untuk sore-menjelang-petang setelah hujan. Seorang peserta bedah buku, dengan kepedean tinggi, mengatakan kepada Agus Noor kalau buku puisi terlalu kekanak-kanakan. Sampulnya yang dominan berwarna kuning ditambah gelembung-gelembung polkadot merah. Juga ilustrasi-ilustrasi yang, menurutnya, tidak  nyambung dengan isi puisi.

Agus Noor tersenyum. Peserta yang lain malah ada yang  sampai tertawa. Sedangkan saya tidak tahu apa-apa. Warna, ilustrasi atau apalah-apalah itu namanya, buat saya biasa saja. Tiba saatnya peserta lain bergiliran membaca puisi, ada yang memilih membaca puisi "Lelucon Menjelang Kematian". Puisi yang dibuat Agus Noor untuk Gus Dur.

Tentu saya masih sadar. Baru tiga gelas bir yang saya minum kala mendengar puisi itu dibacakan. Pelan-pelan saya dengarkan dengan mata terpejam, semakin ada yang seperti memeluk dada saya. Dada mendadak terasa berat dan akhirnya air mata keluar tidak sengaja melewati pipi saya.

***

Saya kembali beli bir. Padahal saat itu sudah lama saya tidak minum-minum. Itu sepulang dari acara bincang buku puisi Agus Noor. Minum bir adalah kebiasaan saya, dulu, ketika bersedih. Menyendiri. Tidak ada orang ketika itu, kebetulan, di perpustakaan Teras Baca. Saya buka buku puisi Agus Noor, saya buka sekaleng bir, saya cari halaman puisi tentang Gus Dur.

Dari sanalah kemudian saya mendapat lelucon-lelucon khas Gus Dur. Saya tertawa. Tersenyum. Kemudian menangis. Kegetiran yang dulu pernah saya alami, kembali saya temui. Saya kutip utuh bagian tersebut:

4/
Ingin kutulis puisi, sesuatu yang kelak retak tetapi kuharap abadi, setelah kau mati. Kata-kata yang tak pudar di keramik waktu.

"Biarkan saya mati dengan tenang, tak perlu repot  memikirkan puisi. Ada baiknya saya jujur: sebenarnya saya tak terlalu  suka puisi. Kau tahu, penyair lebih rumit dari sopir bajaj. Di jalanan,  kalau bajaj mau belok, yang tahu hanya sopir bajaj dan Tuhan. Tapi kalau  penyair menulis puisi, bahkan Tuhan dan penyairnya sendiri tak tahu,  apa yang ditulisnya itu."

Tapi aku ingin menulis puisi. Meski mungkin tak akan  pernah menjadi abadi. Lihatlah, di matamu yang perlahan terkatup,  seperti ada perih puisi.

Ya, katamu, selalu ada yang jauh lebih tak terduga dari puisi, melebihi mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun