Entah apa yang terjadi, Gopah membawa televisi bekas sepulang kerja. Ia memasang kabel antena di bagian belakang televisi dan mencolokkan kabel power-nya. Televisi dinyalakan. Berita-berita tentang demonstrasi di mana-mana. Dari pagi hingga pagi lainnya, hanya itu tayangan berita. Gus Dur diminta berhenti sebagai presiden.Â
Ada senyum yang kemudian terlihat dari wajah Gopah kala itu. Saya juga masih ingat ketika bertanya ini: kalau presiden berhenti, terus gantinya siapa? "Siapa saja, Gus Dur tidak layak jadi Presiden," Â jawab Gopah.
Tapi seperti tidak ada yang berubah meski Gus Dur telah digantikan Megawati. Yang saya dapati di rumah: Gopah masih suka kesal ketika menonton berita di televisi. Sampai akhirnya televisi di rumah  saya rusak lagi dan saya tidak ingin televisi itu diperbaiki.
***
Tidak pernah lagi saya dengar nama Gus Dur di rumah. Baik dari televisi yang akhirnya diperbaiki hingga Gopah yang berlangganan Koran Tempo. Bahkan hingga Presiden berganti dan ada yang  terpilih kembali. Ia dilupakan dan terlupakan oleh waktu. Sampai pada  akhirnya muncul berita: Gus Dur sakit parah dan dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Dan, tidak lama setelah itu, Gus Dur wafat.
Dari tayangan berita petang, saya dapati kabar itu. Gopah yang hendak berangkat ke masjid untuk ibadah Isya, menyimpan kembali sajadahnya di lemari. Kami sekeluarga berkumpul di depan televisi. Tidak ada yang berbicara. Yang terdengar di ruang tengah kami hanya suara reporter-reporter yang bergantian melaporkan langsung dari Rumah Sakit.
Tidak ada lagi cercaan hari itu. Meski orang yang  diberitakan adalah orang yang sama seperti dulu yang sempat saya tahu  semasa kecil. Ketika saya lirik Gopah, ada airmata yang ia usap dari  pipi kirinya. Berulangkali. Hampir satu jam kita menonton pemberitaan itu. Sampai akhirnya Gopah mengajak kami untuk mengambil wudhu dan sholat berjamaah di rumah.
"Pada ambil wudhu, gih. Kita sholat dan doain semua  kebaikan-kebaikan Gus Dur," kata Gopah. Seperti ada pohon duka yang tumbuh di belakang televisi rumah kami.
***
Setiap kali mendengar nama Gus Dur selalu saya merasa sedih. Dalam konteks apapun. Dalam bentuk puisi sekalipun.
***