Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Buku Puisi

10 September 2017   15:23 Diperbarui: 10 September 2017   15:46 1338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (@kulturtava)

Aku bukannya tidak suka buku puisi, hanya saja aku tidak paham bagaimana cara membaca (buku) puisi yang baik. Malah dulu aku sampai pernah kesal sendiri. Tapi aku juga suka beberapa puisi. Beberapa puisi dari koran minggu aku kliping malah di perpustakaan. Sungguh, itu sangat membantu anak sekolah yang mendapat tugas membuat puisi sedangkan di sekolah tidak pernah diajarkan membuatnya. Aku bilang, tiru saja puisi-puisi ini, aku jamin gurumu tidak tahu. Anak-anak sekolah itu seperti seorang anak yang baru saja diijinkan nakal. Toh, yang gurumu tahu, kataku, yang mengerjakan dapat nilai dan yang tidak akan disuruh beli buku.

Sudah ada tiga bundel kliping puisi koran minggu. Jika sedang senggang aku baca-baca. Jika lebih senggang lagi, aku menulis puisi. Setelah selesai, aku buang puisi itu. Tidak ada bakat dan tdak ada kepatutan seorang penjaga perpustakaan bisa menulis (puisi).

Dan tempat sampah itu selalu penuh setiap aku menulis puisi. Sebelum pulang, aku akan buang puisi-puisi itu ke tempat sampah yang ada di luar perpustakaan supaya besoknya diambil mobil sampah keliling.

Kamu pernah mengejekku, jika dikumpulkan puisi-puisimu sudah cukup untuk dibukukan. Aku balas dengan senyum kecil. "meski nanti tidak laku di toko buku," katamu tertawa dengan puas kemudian. Begitu juga aku. Begitu juga dengan semesta yang ikut menertawai kenyataan.

Aku timang kedua buku puisi itu dan aku letakkan di rak buku-buku pelajaran kurikulum lama.

***

Aku sungguh membenci pertemuan ini. Kamu semakin cantik. Perutmu semakin membuncit. Matamu merah. Kantung matamu membengkak. Kesedihan seperti apa yang berani memelukmu?

***

Ternyata puisi mampu merenggut hati. Kamu pergi untuk penyair itu. Meninggalkan aku sendiri dengan tiga bundel puisi koran minggu ini. Selamat tinggal dan selamat jalan, katamu. "selamat bahagia," jawabku.

"Kita tidak akan bertemu kalau di antara kita ada yang masih sakit hati," katamu sambil meletakkan buku kumpulan cerpen keluaran terbaru karya cerpenis koran minggu di meja.

"Baiklah, itu artinya kita tidak akan bertemu,"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun