1/
Seorang pelawak pernah dikabarkan telah (di)berhenti(kan) dari beberapa stasiun tv karena dikira menghina satu golongan tertentu.Â
2/
Edgar Allan Poe pernah menulis sebuah cerita pendek yang mengisahkan betapa kelamnya kehidupan seorang pelawak pada masa kerajaan: Hop-Frog.
3/
Dulu, bersama pasangan saya yang-telah-menjadi-dahulu, kami sering mendebat apa saja. Yang lebih sering karena selera; yang jarangnya karena sikap. Buat kami, dulu, itu seru: perbedaan (pendapat) menjadi warna dalam hubungan kita.
Namun, ada satu perdebatan oleh kami --saya, khususnya-- sebisa mungkin hindari: tentang siapa dia antara kami yang percaya apa kebetulan itu ada?
Bukan karena tidak ingin. Tidak! Tapi ketika argumen saya tidak bisa dibantah olehnya, untuk yang satu ini, kami lebih sering bertengkar. Kemudian kami saling diam-diam untuk waktu yang cukup lama. Saya tidak suka pertengkaran, begitu juga dia, saya kira.
Bagi saya kebetulan itu tidak ada. Semua sudah diatur dari sana-Nya. Dia tidak percaya. Kebetulan itu ada, sebab semua yang dilakukan tiba-tiba (improvisasi atau apalah itu) menghasilkan kebetulan yang tidak diduga. Sudah begitu, kami punya latar kepercayaan dan keyakinan yang berbeda. Sudah. Kelar.
4/
Percayalah, yang menjengkelkan dari punya hubungan yang berbeda secara keyakinan itu ketika (1) susahnya dapat restu orangtua untuk sekadar dekat, lalu (2) masing-masing dari kita, secara bersamaan, sadar kalau hubungan ini sukar untuk bisa dipertahankan karena perbedaan keyakinan. Selama kami tidak sadar untuk poin yang kedua, hubungan kami baik-baik saja.
Tapi ada satu hal, untuk satu ini, entah kenapa, saya percaya kebetulan. Barangkali memang saya tidak menemukan padanan kata yang tepat saja dari "kebetulan". Kebetulan sekali saya bisa menikmati sebuah guyon yang lahir bukan dari/karena menyakiti. Juga kebetulan sekali, saya hidup tidak di zaman kerajaan; di mana pelawak hanya melucu untuk kalangan istana sahaja. Dan amat kebetulan sekali, saya dan pasangan saya yang dulu punya selera yang sama dalam hal komedi.
5/
Edgar Allan Poe pernah menulis cerita pendek yang mengisahkan sisi kelam seorang pelawak kerajaan. Hop-Frog, judulnya. Dia, si pelawak itu, Hop-Frog, adalah pelawak favorit kerajaan. Di antara para pelawak lain, secara fisik Hop-Frog memang berbeda. Entah dari cara berjalan dan bentuk tubuh yang pendek. Untuk kedua alasan ini juga jadi alasan Sang Raja menyukai Hop-Frog.
Pada masa itu tidak ada yang jauh lebih menyedihkan menjadi pelawak. Secara materil mungkin menguntungkan, karena kerajaan dengan suka-rela membayar semua pelawak. Kerajaan, khususnya Sang Raja beserta para menterinya, betul-betul butuh atau haus akan hiburan setelah lelah mengurus dan memikirkan kerajaan.
Sudah begitu, Sang Raja memasang suka sebuah lelucon yang tidak rumit. Barangkali itu juga yang menjadikan Hop-Frog pelawak favorit. Melihatnya berjalan saja sudah pasti ketawa.
6/
Jika tawa adalah nafas setiap pelawak di panggung, maka, saya kira, ditertawakan karena fisik yang cenderung abnormal bukanlah cara terbaik memberi "nafas" pada pelawak itu.
7/
Pada satu waktu Hop-Frog diberi kesempatan oleh Sang Raja memberi ide untuk pesta topeng yang ingin dilaksanakan di istana. Itulah kesempatan yang dilakukan Hop-Frog di mana ia bisa membalaskan dendamnya. Setidaknya untuk memberinya pelajaran atas sikapnya terhadap dirinya dan pelawak lain.
Hop-Frog mengusulkan: Sang Raja dan para Menterinya dipakaikan kostum monyet, jadi ketika pesta sedang berlangsung Sang Raja keluar untuk menakuti. Semua pintu istana mesti ditutup supaya tidak ada yang bisa kabur keluar. Sang Raja suka ide itu. Katanya, ide gila hanya bisa keluar dari orang gila. Sang Raja tertawa puas.
Di situlah pembalasan dendam dimulai. Ketika pesta topeng berlangsung dan Sang Raja sudah siap keluar untuk menakut-nakuti, Hop-Frog --bersama teman perempuannya-- menyiapkan rencana lain. Sebuah kandang besar disiapkan untuk nantinya menangkap monyet-monyet sialan itu.
Awalnya semua tamu pesta topeng ketakutan akan kehadiran momyet-monyet raksasa itu. Karena jumlah tamu yang banyak dan mereka juga tidak bisa keluar, malah balik melawan. Kandang raksasa dikeluarkan. Atas satu usul Hop-Frog, para tamu diminta memasukkan mereka ke sana. Kandang di angkat. Sang Raja dan para Menterinya dibakar hidup-hidup.
8/
Banyak sebenarnya kisah tentang pelawak pada masa kerjaan. Malah saya pernah baca, entah di mana (lupa), kalau pelawak itu tidak lucu maka ia dibunuh --hukuman paling rendah dipenjara. Edgar Allan Poe, saya kira, lewat cerpen itu ingin sekali mengkritik kalangan kerajaan yang gemar melakukan itu pada para pelawak mereka.
Saya tidak tahu jika ada juga seperti itu di Indonesia. Tidak saya temukan literasinya. Namun ada satu novel yang juga menceritakan tentang hiburan untuk para Raja di Indonesia. Penghibur mereka penyair, bukan pelawak. Dari novel Raden Mandisa si Pencuri Daging Sapi yang dianggit Yusi A. Pareanom menceritakan itu dengan detil.
Para penyair itu diperlakukan sama seperti para pelawak kerajaan. Dibayar jika bisa menghasilkan syair yang bagus, namun dihukum jika gagal membuat syair bila sang raja tidak suka. Maka, pada saat itu beruntunglah para pelawak.
Mungkinkah ini yang terjadi di Indonesia: para pelawak-pelawak ini ditakdirkan lebih dekatnya ke masyarakat. Kemudian karena itulah muncul kesenian tradisional seperti Ketoprak dari Jawa; Lenong dan Topeng dari Betawi dan lain-lain dan seterusnya dan sebagainya. Mungkin. Barangkali karena memang belum pernah saya temukan literasi tentang itu. (Lagi-lagi) Saya menduganya sahaja.
9/
Yang membuat saya takut belakangan adalah mengapa nasib naas sering kali menimpa para pelawak kita? Maksudnya, mengapa kini ada pelawak yang (bisa) dihakimi oleh masyarakat kebanyakan? Tepatnya, seperti Sang Raja menghakimi seorang pelawak yang ditugaskan menghibur, namun gagal.
Ini saya tidak bisa luruskan dengan nalar. Bagaimana mungkin dari sebuah lelucon (anggaplah kemudian lelucon itu gagal) lalu berujung pada teror kepada keluarganya yang ingin dibunuh? Dan mengapa terjadi bukan saat pelawak itu tidak di panggung sebagaimana mestinya? Sekejam itukah? Sekelam itukah?
10/
Seorang filsuf Jerman dalam bukunya "An Easy on Man" memberi contoh bahwa, pembeda manusia dengan binatang adalah saat di mana keduanya dihadapkan pada makanan. Jika binatang akan langsung mengambilnya, sedangkan manusia cenderung menahannya terlebih dulu, berpikir ulang --walau nantinya sama: makanan itu akan diambil juga.
Menurut Paknya Profesor Tommy F. Awwuy, hal ini cenderung berbalik ketika manusia dihadapkan dengan era digital (atuh iya, mana ada binatang paham dunia digital). Faktor menunda secara simbolik serta-merta hilang, informasi langsung "dilahap" tanpa memikirkannya terlebih dahulu.
Dan bila ini dikaitkan dengan yang terjadi pada pelawak kita ini, tanpa sekalipun ingin menyalahkan beberapa pihak, saya kira memang begitulah keadaannya sekarang. Semakin cepat informasi "dilahap", maka semakin cepat pula bereaksi.
Terlepas dari apapun motif sebuah lelucon dibuat lalu disampaikan, menjadi penting saya kira untuk menundanya terlebih dulu. Dipikirkan maksudnya, baru kemudian bereaksi.
11/
Kebetulan sekali bukan jika era kiwari dengan derasnya informasi membuat kita mudah melupakan yang ada. Isu baru mudah muncul dan menenggelamkan isu lama. Bukan untuk mengingatkan, namun alangkah baiknya sebagaimana orang bijak sering katakan: semoga ini bisa dijadikan pembelajaran. Yang lalu, biarlah berlalu.
Dalam cerita pendek Hop-Frog itu, Edgar Allan Poe malah menutupnya dengan cantik: setelah kejadian itu tidak pernah ada yang tahu ke mana Hop-Frog dan teman perempuannya. Yang jelas mereka berdua tidak pernah kembali.
Perpustakaan Teras Baca, Â 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H