Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tentang Kebetulan dan Hal-hal yang Tidak Diinginkan

12 Juli 2017   15:59 Diperbarui: 13 Juli 2017   02:06 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (@kulturtava)

Awalnya semua tamu pesta topeng ketakutan akan kehadiran momyet-monyet raksasa itu. Karena jumlah tamu yang banyak dan mereka juga tidak bisa keluar, malah balik melawan. Kandang raksasa dikeluarkan. Atas satu usul Hop-Frog, para tamu diminta memasukkan mereka ke sana. Kandang di angkat. Sang Raja dan para Menterinya dibakar hidup-hidup.

8/

Banyak sebenarnya kisah tentang pelawak pada masa kerjaan. Malah saya pernah baca, entah di mana (lupa), kalau pelawak itu tidak lucu maka ia dibunuh --hukuman paling rendah dipenjara. Edgar Allan Poe, saya kira, lewat cerpen itu ingin sekali mengkritik kalangan kerajaan yang gemar melakukan itu pada para pelawak mereka.

Saya tidak tahu jika ada juga seperti itu di Indonesia. Tidak saya temukan literasinya. Namun ada satu novel yang juga menceritakan tentang hiburan untuk para Raja di Indonesia. Penghibur mereka penyair, bukan pelawak. Dari novel Raden Mandisa si Pencuri Daging Sapi yang dianggit Yusi A. Pareanom menceritakan itu dengan detil.

Para penyair itu diperlakukan sama seperti para pelawak kerajaan. Dibayar jika bisa menghasilkan syair yang bagus, namun dihukum jika gagal membuat syair bila sang raja tidak suka. Maka, pada saat itu beruntunglah para pelawak.

Mungkinkah ini yang terjadi di Indonesia: para pelawak-pelawak ini ditakdirkan lebih dekatnya ke masyarakat. Kemudian karena itulah muncul kesenian tradisional seperti Ketoprak dari Jawa; Lenong dan Topeng dari Betawi dan lain-lain dan seterusnya dan sebagainya. Mungkin. Barangkali karena memang belum pernah saya temukan literasi tentang itu. (Lagi-lagi) Saya menduganya sahaja.

9/

Yang membuat saya takut belakangan adalah mengapa nasib naas sering kali menimpa para pelawak kita? Maksudnya, mengapa kini ada pelawak yang (bisa) dihakimi oleh masyarakat kebanyakan? Tepatnya, seperti Sang Raja menghakimi seorang pelawak yang ditugaskan menghibur, namun gagal.

Ini saya tidak bisa luruskan dengan nalar. Bagaimana mungkin dari sebuah lelucon (anggaplah kemudian lelucon itu gagal) lalu berujung pada teror kepada keluarganya yang ingin dibunuh? Dan mengapa terjadi bukan saat pelawak itu tidak di panggung sebagaimana mestinya? Sekejam itukah? Sekelam itukah?

10/

Seorang filsuf Jerman dalam bukunya "An Easy on Man" memberi contoh bahwa, pembeda manusia dengan binatang adalah saat di mana keduanya dihadapkan pada makanan. Jika binatang akan langsung mengambilnya, sedangkan manusia cenderung menahannya terlebih dulu, berpikir ulang --walau nantinya sama: makanan itu akan diambil juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun