1/
Nasi sedang ditanak, tapi tempe goreng sudah siap sedia di meja. Betapa aroma surga kini sedekat kamar ke meja makan. Perut sedang lapar-laparnya. Mata sudah ngantuk-ngantuknya. Tempe goreng mulai menggoda dengan aromanya.
Saya bangkit dari kasur, melepas headset, berjalan ke meja makan, mengambil dua potong tempe goreng dan kembali ke kamar --youtube-an lagi.
Pukul 8 saya bangun. Baru saya sadar: hari ini puasa pertama. Saya pun jadi ingat: semalam tidak sahur. Siangnya saya berangkat ke kantor dengan lemah dan lemas.
2/
Pagi-pagi sudah ramai. Ada penggeledahan oleh pihak berwenang. Entah apa. Orang komplek setiap ada hal macem begitu, pasti mengerumuni.
Di tayangan berita di tv baru saya tahu: tetangga saya tertangkap ott kpk. Suap antar BPK dan Pegawai Eselon 3 Kemendes. Gomah bilang, satu tas besar isinya cuma uang. Saya jadi teringat janji tetetangga saya itu: nanti setelah lebaran akan nyumbang untuk perbaikan jalan. Saya tahu, itu mungkin tidak terealisasi lebaran tahun ini.
3/
Tidak ada yang berbeda dari wajah jakarta sebelum dan/atau ketika bulan puasa. Mesin yang menjual air minum di stasiun tanah abang juga tetep antre orang yang beli. Warung makan tetap buka, warung kopi juga.
Warung-warung buka. Pintunya hanya sedikit ditutup spanduk atawa hordeng. Saya berhenti di depan salah satu warung yang buka itu. Spanduknya berkibar tertiup angin. Etalasenya terlihat. Makanan terpampang di sana. Saya lanjutkan perjalanan ke kantor. Persis di depan warung kopi saya lihat kaki-kaki bergelantungan. Entah di dalam apa yang pemilik kaki itu lakukan.
Selama perjalanan menuju kantor saya lihat itu semua. Sambil berpikir: apa iyah dulu sentimen agama yang membuat pilkada jakarta ini tidak menyenangkan? Dalam hati, sepertinya tidak.
4/
Sekarang, entah apa pemicunya, sedang ramai orang-orang mengunggah poto mereka dengan keterangan "walau berbeda suka, agama dan ras tapi tetep bersatu." memangnya dari kemarin tidak begitu? Memangnya ada apa? Mesti diperjelaskan identitas itu? Dari dulu, setahu saya, memang begitu dan baik-baik saja.
Malah yang kurang dari keterangan poto itu adalah antar-golongan. Fyi, sara itu suku, agama, ras dan antar-golongan. Kurang satu kalian. Berbeda, yha biar saja berbeda. Kita sudah berbeda dari sananya, akan bersama selamanya.
Mungkin yang sulit belakangan ini adalah menerima perbedaan itu. Misal: perempuan boleh tidak puasa karena berhalangan dan/atau berbeda keyakinan. Saya puasa, 3 orang perempuan di kantor tidak puasa. Kantor sedang sepi ketika akhir pekan. Ketiga teman saya yang tidak puasa, saat waktu masuk makan siang, yha makan. Dengan lahap. Dengan senang. Dengan bunyi mulut mengunyah nasi dan lauk yang dengan jelas terdengar oleh telinga saya.
Hari itu saya bekerja dengan biasa saja. Saya menerima perbedaan-perbedaan itu. Walau terpaksa, tapi semua baik-baik saja. Sampai nanti akhirnya saya buka puasa. Dan makan secukupnya
5/
Mungkin diteror di kereta adalah hal yang wajar. Setidaknya bagi pihak commuter line (kcj) itu sendiri. Siapa yang peduli ketika penumpangnya ditimpuki batu dari luar saat kereta sedang antre masuk stasiun? Siapa yang peduli ketika ketakutan penumpang akan teror bom sedang meninggi, tapi dianggap guyon? Siapa yang peduli? Penumpang kan katanya sudah main tagar #KamiTidakTakut. Siapa yang peduli? Penumpang kan kalau di kereta selalu asyik sendiri-sendiri.
Entah kereta itu untuk siapa sebenarnya? Ketika dulu kereta digunakan untuk mempermudah perdagangan antar kota, kini pedagang dilarang di kereta. Ketika kereta diperuntukan untuk orang-orang nakturnal seperti kita ini, tapi dibiarkan saja. Sepertinya teror bukanlah hal penting. Barangkali baru ketika kejadian mereka mengutuk aksi ini-itu. Itu... Telaaaat!
Sepulang kerja, saya diteror di kereta.
6/
Arsenal juara Piala FA.
7/
Gomah bangun dan menanyakan saya ingin sahur dengan apa? Saya diam sebentar dan ingat, di kulkas ada balado kentang. Langsung saya jawab, "masakin emih aja, nanti makannya pake nasi sama balado kentang."
Itu menu kesukaan saya: emih, balado kentang dengan udang dan makannya pake nasi. Kata sarjana gizi, itu karbo semua. Biarlah, saya suka.
Kembali saya lanjutkan menonton pertandingan barcelona. Menejenuhkan. Babak pertama sudah unggul 3-1, di babak kedua barcelona bermain bertahan. Tidak ada jual-beli serangan. Hampir saya ketiduran dan tidak sahur lagi, gomah memanggil dari dapur. Emih sudah mateng, katanya.
Saya ke meja makan dan pasrah: emih yang gomah masak sam yang. Warnanya merah menyala di mangkuk. Ludah saya telan. Gomah datang dan menyodorkan piring yang sudah diisi nasi. Saya terima piring itu, mengambil sam yang secukupnya dan berdoa: semoga perut saya nanti baik-baik saja.
8/
Barcelona juara Copa Del Rey. Biasa saja buat saya. Skor tidak berubah dari akhir babak pertama. Andai saja skor sepakbola dihitung dari bagusnya gol yang dibuat, saya kira gol alaves nilainya 3. Eksekusi bola mati yang menakjubkan. Bola diarahkan ke tiang jauh. Bola berputar ke dalam dan kiper barcelona tidak sanggup menghalaunya.
Skor jadi 3 sama. Mungkin Barcelona akan juara, tapi lewat perpanjangan waktu dahulu.
9/
Satpam RT saya cerita ketika sahur di rumah: tadi ada anak-anak yang abis membangunkan sahur digebukin. Pedahal yang membangunkan sahur bukan pki yang mesti ramai-ramai kita gebuk.
Jadi begini ceritanya.
Segerbolan anak muda baru saja selesai minum-minum di warung. Mabuk. Entah sudah habis berapa botol, yang jelas ketika jeda pertandingan arsenal bau minuman itu sudah amat menyengat. Saya ditawari, saya tolak, saya bilang mau nerusin nonton bola dan saya pulang ketika itu.
Mereka yang mabuk masih tidur-tiduran di warung dan anak-anak yang membangunkan sahur lewat di depan mereka. Berisik memang. Semua benda yang bisa dibunyikan mereka gunakan. Motor digeber. Klakson juga dipencet berulang. Mabuk atau tidak, saya kira akan terganggu. Melihat itu, mereka yang habis mabuk bangun dan mengejar anak-anak yang tengah membangunkan sahur. Beberapa tertangkap dan dipukuli.
Mendengar cerita itu saya bingung mesti berpihak pada siapa: yang mabuk dan membenarkan tindakan mereka memukuli orang atau anak-anak yang membangunkan sahur tapi rusuh seperti itu?
10/
Peang bangun. Setiap puasa peang selalu ikut sahur, tapi tidak puasa. Tahun ini ia ingin puasa katanya. Saya bebaskan saja. Beribadah mesti dari keikhlasan diri sendiri, bukan paksa dari oranglain. Jika ingin, lakukan. Jika tidak, belajarlah.
Ketika sedang asyik makan dua telor ceplok, peang bilang kalau bulan ini puasa ingin dibelikan hadiah. Apa saja, yang penting hadiahnya dibungkus dengan kertas kado. Itu baru namanya hadiah, bagi peang.
Saya iyakan saja, entah nanti peang minta apa.
11/
Benar saja. Perut saya sakit. Mules-mules. Sudah dua kali buang air. Isi perut serasa kosong. Ada rasa lapar menganga. Baru ingin tidur, peang masuk ke kamar sambil meminum susu dingin.
Saya jadi tahu, kalaupun Peang minta hadiah, tentu bukan karena puasanya, tapi deal-deal lain yang saya dan Peang sepakati. Semisal: tidak hanya masuk peringkat 10 besar di kelas, seperti semester lalu.
Perpustakaan Teras Baca, 28 Mei 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H