Segerbolan anak muda baru saja selesai minum-minum di warung. Mabuk. Entah sudah habis berapa botol, yang jelas ketika jeda pertandingan arsenal bau minuman itu sudah amat menyengat. Saya ditawari, saya tolak, saya bilang mau nerusin nonton bola dan saya pulang ketika itu.
Mereka yang mabuk masih tidur-tiduran di warung dan anak-anak yang membangunkan sahur lewat di depan mereka. Berisik memang. Semua benda yang bisa dibunyikan mereka gunakan. Motor digeber. Klakson juga dipencet berulang. Mabuk atau tidak, saya kira akan terganggu. Melihat itu, mereka yang habis mabuk bangun dan mengejar anak-anak yang tengah membangunkan sahur. Beberapa tertangkap dan dipukuli.
Mendengar cerita itu saya bingung mesti berpihak pada siapa: yang mabuk dan membenarkan tindakan mereka memukuli orang atau anak-anak yang membangunkan sahur tapi rusuh seperti itu?
10/
Peang bangun. Setiap puasa peang selalu ikut sahur, tapi tidak puasa. Tahun ini ia ingin puasa katanya. Saya bebaskan saja. Beribadah mesti dari keikhlasan diri sendiri, bukan paksa dari oranglain. Jika ingin, lakukan. Jika tidak, belajarlah.
Ketika sedang asyik makan dua telor ceplok, peang bilang kalau bulan ini puasa ingin dibelikan hadiah. Apa saja, yang penting hadiahnya dibungkus dengan kertas kado. Itu baru namanya hadiah, bagi peang.
Saya iyakan saja, entah nanti peang minta apa.
11/
Benar saja. Perut saya sakit. Mules-mules. Sudah dua kali buang air. Isi perut serasa kosong. Ada rasa lapar menganga. Baru ingin tidur, peang masuk ke kamar sambil meminum susu dingin.
Saya jadi tahu, kalaupun Peang minta hadiah, tentu bukan karena puasanya, tapi deal-deal lain yang saya dan Peang sepakati. Semisal: tidak hanya masuk peringkat 10 besar di kelas, seperti semester lalu.
Perpustakaan Teras Baca, 28 Mei 2017