11/
Selama Wiji Thukul masih bisa menulis dan membaca, maka saat itu ia tidak kesepian di tengah pelariannya. Asing, tentu saja.
Melihat pelarian Wiji Thukul pada masa itu, di mana pun itu, bagi saya adalah proses melihat rumah sebagai pusat kerinduan. Banyak sekali adegan di mana Wiji Thukul, dalam film itu, melihat fragmen-fragmen yang ia jumpai, selaiknya ia di rumah.Â
Listrik yang setiap malam padam, tangisan anak kecil yang takul kegelapan, sampai pertemuannya dengan Udi – seseorang yang ingin gagal menjadi polisi.
Tanda-tanda semacam itu disajikan, saya kira, supaya kita bisa lebih memaknai seperti apa rumah dan  kepulangan itu? Kemudian adakah beda kita dengan Wiji Thukul (yang masih) dalam pelariannya?
Kedai Arab, 22 Januari 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H