Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Fiksi Click] Rekayasa Tanah Amerika Latin

16 Oktober 2016   03:47 Diperbarui: 16 Oktober 2016   15:46 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: pixabay.com

Semula saya ceritakan ini pada Arra. Saat itu hujan sedang deras-derasnya, listrik padam dan Arra malah meminta saya bercerita. Itu bukan saat yang tepat saya kira, sebab masih ada hal lain yang bisa dilakukan, bukan?

Arra masih merengek minta diceritakan satu kisah. Apa saja. Rokok hanya tersisa tiga batang dan stok bir di lemari pendingin tinggal satu --itupun kalengan. Dengan berat hati saya ceritakan.

Kepalanya mulai bersandar di bahu saya.

Cerita saya awali dengan kalimat ini, "Kehidupan di kereta, kamu tahu, sama seperti di Amerika Latin, semua yang kamu anggap tidak mungkin bisa menjadi nyata!" Arra mengangkat kepalanya, lalu mengernyitkan dahi.

Tidak mungkin, kata Arra. Lagi, sekadar itu tanggapannya. Datar dan tak ada antusiasnya sama sekali. Baginya, tidak mungkin sebuah kecelakaan, apalagi di kereta, bisa terselamatkan hanya dengan sepasang doa. "Itu semua mustahil," tegasnya.

Arra sama sekali tidak percaya pada apa yang saya ceritakan. Itu malam yang tidak pantas diulang. Mengingatnya saja saya enggan. Oleh karenanya saya tuliskan apa yang saya ceritakan pada Arra malam itu:

***

Seorang lelaki tidur amat lelap dengan mata yang terjaga, terbuka. Sambil didekapnya tas hitam selempang. Seperti memeluk seseorang dan tidak ingin dipisahkan. Ewok duduk tepat di seberang lelaki itu. Suara mendengkurnya terdengar. Hanya lelah yang sangat mampu membuatnya begitu, batin Ewok ketika itu.

Bisa dibilang malam itu kereta cukup sepi. Tidak ada satu orangpun berdiri, kecuali kondektur yang pura-pura sibuk: sekadar bolak balik; ke sana, lalu ke mari. Dengan mata dan kantuk yang tanggung, Ewok mengeluarkan pemutar musik dari dalam tasnya. Ada lagu baru yang ingin ia dengar.

Kereta melaju cepat. Malam itu sepi seakan dibawa ikut pergi. Mata Ewok terpejam, kepalanya mendengak ke atas, disandarkan di jendela.

***

Emok baru saja tiba dari Bandung, ini kali ketiga ia datang ke Jakarta. Tentu alasannya hanya satu: mencari kerja. Ia punya nama asli Imas Kliwok dan Emok adalah sapaan kecilnya, yang sampai sekarang ia gunakan. Entah bagaimana awalnya, yang jelas ia sama sekali tidak peduli. Apalah arti sebuah nama jika manfaatnya sama saja: untuk dipanggil.

Tepat di sebelahnya seorang lelaki tertidur dengan mata terjaga dan mendengkur. Emok sedikit terganggu, tapi kakinya terasa berat untuk bangkit dari tempat duduknya, kemudian pindah ke tempat duduk lain.

Malam itu kereta akan membawanya ke kediaman kakaknya. Sekedar istirahat, karena esok ia mesti ikuti tes di salah satu perusahaan. Emok memandang keluar jendela. Bulan yang berwarna pucat pasi itu mengikutinya.

***

Di kereta itu, malam lelap pada lelah punggung-punggung penumpangnya. Seakan meniadakan bahwa kereta akan berhenti tiap stasiun, menaiki dan menurunkan penumpang. Ada yang pergi dan digantikan yang lain lagi.

***

Tak lama, Ewok berdiri. Melihat kanan dan kiri. Ia pindah tempat duduk dan memilih di sebelah Emok. Emok sedikit bergeser. Awalnya diam, sampai akhirnya menenggelamkan kepalanya di pundak Emok. Entah mengapa, dengan kesediaan yang lapang, Emok menerima kepala Ewok.

Tidak, Ewok tidak tidur. Ewok hanya menyandarkan kepalanya. Emok memegang kepala Ewok, mengaturnya supaya bisa lebih nyaman. Sungguh, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut keduanya. Hanya gerak dan sebuah pengertian; Ewok lelah, sedangkan Emok berusaha berbuat baik saja.

Satu penumpang naik dari stasiun yang tidak mereka tahu. Membawa sekardus mie instan yang diikat temali warna hijau. Ewok dan Emok tahu, isinya bukanlah seperti apa yang tertulis di kardusnya. Barangkali oleh-oleh cemilan atau apalah dari kampung halaman. Ia duduk di seberang Ewok dan Emok. Kardusnya dinaikkan ke bagasi atas.

Hal pertama yang dilakukan orang itu adalah merias wajahnya. Ia keluarkan lipstik, blass-on, dan pensil alis. Padahal ia laki-laki. Emok tersenyum. "Tidak hanya dandan, di kereta bahkan kamu bisa berganti pakaian," ujar Ewok sambil menatap Emok, kepalanya susah diangkat dari pundak.

Emok kemudian membuang arahan pandangnya ke ujung gerbong. Ada sebuah pintu yang menyambungkan antar kereta. "Biasanya di sana."

"Semua orang punya kesibukan dan kesenangan masing-masing di kereta, kasarnya, tidak peduli dengan yang lain," lanjut Ewok.

Senyum itu, senyum yang datang dari bibir tipis Emok, membuat Ewok semakin ingin banyak menceritakan semua yang terjadi di kereta. Senyum yang seakan berkata: "lalu, apalagi?"

Kemudian dimatikan pemutar musik yang menempel di kedua telinga Ewok. Dimasukan ke dalam tas. Ewok sedikit menggeser tubuhnya yang terlebih dulu menempel dengan Emok.

"Ini masih mending kereta sedang kosong, jika kamu naik saat jam kerja, akan lebih luar biasa," kata Ewok.

***

Ewok menelungkupkan kedua tangannya di dada. Berdoa.

Emok menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Berdoa.

Keduanya berdoa dengan cara masing-masing. Namun yang didoakan keduanya sama: mohon dijaga keselamatan.

Tadi, dari pengeras suara yang ada, masinis mengingatkan kalau kereta sedang dalam keadaan darurat. Ada gangguan yang terjadi. Sinyal sepanjang jalur kereta itu rusak. Masinis tidak tahu ada berapa kereta di depan maupun di belakangnya. Pilihannya hanya satu: terus jalan dengan kecepatan paling pelan.

***

"Apa kamu percaya, seseorang bisa berdiri dengan satu kaki, selama hampir dua jam, di kereta. Satu kaki lainnya terjepit entah ke mana."

"Bisa kamu bayangkan, menahan seseorang dengan tangan sebagai tumpuan ke jendela, supaya tidak mengganggu seorang ibu yang menyusui anaknya yang barangkali merengek karena kegerahan. Kereta sedang penuh-penuhnya dan kamu, mau-tidak mau melakukan itu."

"Ada lagi yang menjengkelkan. Orang yang memanfaatkan keadaan dengan meluapkan birahinya yang tidak didapatnya semalam di rumah oleh istrinya: mengeluarkan kemaluannya dan menggesekkan ke perempuan di depannya. Saat kereta penuh, semua terasa sama saja. Pernah satu waktu itu menimpa seorang pelajar. Ketika turun kereta, dekat pintu keluar stasiun, ia menangis sejadi-jadinya. Hanya bajingan yang melakukan itu, sayang belum melihatnya langsung. Jika bisa, mungkin sepanjang sisa hidupnya orang itu akan masturbasi dengan pikiran saja, sebab tidak punya lagi alat kemaluan. Tidak usah takut, itu sangat pantas diberikan untuk orang-orang seperti itu."

"Jika kamu naik kereta sedikit siang, yang kamu temui adalah penumpang yang berbondong ingin memborong. Apa saja, dari baju sampai peralatan rumah tangga. Satu orang bisa membawa barang seberat 50 kilo, atau perabotan yang besarnya tiga kali lipat tubuhnya. Mereka bisa membawa itu,"

***

Sudah tidak ada siapa-siapa di kereta. Hanya mereka berdua: Ewok dan Emok. Sampai masinis mengingatkan tanda bahaya lewat pengeras suara.

Awalnya hanya kedua tangan Ewok dan Emok yang saling dekap. Namun, pelahan tubuh mereka mendekat. Semakin dekat. Ewok dan Emok berpelukan. Sambil memejamkan mata, keduanya berdoa. Lagi, keduanya berdoa dengan cara dan kepercayaan masing-masing. Ewok membisikkan doanya di telinga Emok. Ewok mendengar bisikan doa Emok yang dipanjatkan di telinganya. Keduanya tenang dalam doa masing-masing.

Ada satu guncangan besar dari arah belakang kereta.

***

"Apa mungkin itu yang terjadi di kereta?" tanya Emok.

Tatapannya seperti tidak percaya. Tapi itu tidak dipedulikan Ewok, karena itu baru bisa dirasakan langsung. Percaya atau tidak, Ewok senang bisa menceritakan itu pada Emok.

Saat itu juga Emok seakan terpesona oleh kereta. Juga oleh Ewok yang telah mau bercerita.

***

Arra kemudian memunggungi saya. Punggungnya yang yahud itu, ditambah sinar lilin yang menyinari kamar, membuat pikiran saya tak karuan.

"Bangunkan jika listrik sudah menyala. Ada yang semestinya tadi bisa kita lakukan saat hujan sedang deras-derasnya. Tentu bukan mendengar bualan ceritamu yang lain lagi," kata Arra dari balik punggungnya.

Saya turun dari ranjang. Berjalan pelan, meraba-raba sekitar menuju lemari pendingin. Mengambil satu kaleng bir yang sudah tidak dingin.

Perpustakaan Teras Baca, 16 Oktober 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun