Seperti ada rasa bahagia pasca Paknya Jonan di-reshuffle. Bila ini sebuah dosa karena "senang di atas penderitaan orang lain", secara terang-terangan saya meminta maaf sebesar-besarnya --selapang-lapangnya dibukakan pintu maaf, semoga.
Apa yang saya rasakan ini tentu alasannya. Namun, lebih karena saya adalah pengguna kereta sejak hampir 20 tahun. Ya, hampir seusia saya.
Sungguh, saya menghormati Paknya Jonan karena prestasinya yang luar biasa. Barangkali bila orang berprestasi masih dapat dihitung dengan jari, Paknya Jonan tentu salah satunya.
Namun, selalu ada "tapi" pada setiap prestasi. Entah mengapa. Mungkin kesempurnaan adalah proses yang tak ada habisnya.
Baru tadi, ketika di kereta, saya bertemu teman lama semasa sekolah. Ia sudah berkarir di anak perusahaan PT. KAI sejak 2010. Perlu diketahui juga, pada masa itu Paknya Jonan sudah menjabat sebagai Dirut PT. KAI. Teman saya merasakan masa-masa ketika Paknya Jonan in action.
Bersama teman saya, kami melepas rindu. Bercerita ini dan itu. Bercerita tentang kesibukannya selama ini. Ada beberapa yang saya tanyakan tentang perkeretaapian. Lebih kepada ingatan saya yang lemah terkait metamorfosis kereta-yang-wuah-itu.
Saya buat seperti halnya FAQ agar lebih memudahkan. Begini....
Ceritain secara runut "metamorfosis" kereta sampai jadi seperti sekarang, dong? Ndak usah jauh-jauh, dari masanya kereta ekonomi, ekspress dan commuterline.
Dulu, kereta ekonomi harganya masih paling murah 1000 - 2500 paling mahal (Bogor - Jakarta Kota). Kemudian harga Ekspress itu minimal 9000 - 12.000 (Jakarta Kota - Bogor). Hanya ada itu. Banyak penumpang yang naik di atap, banyak yang di kabin masinis, banyak yang semena-mena!
Sampai pada akhirnya Paknya Jonan menambah Commuter Line (dulu disebutnya Ekonomi AC).
Jadi, dulu ada tiga jenis kereta seperti tadi yang dibilang: Ekonomi, Ekspress dan Ekonomi AC.
Soal harga-harganya gimana?
Semua sama. Hanya untuk Commuter Line masih ditetapkan harga sama: 6000.
Banyak penggunanya?
Lumayan. Rata-rata, orang-orang yang biasa naik Ekspress pindah mengggunakan itu. Sebabnya, kereta yang digunakan sama, hanya ini berhenti di setiap stasiun.
Oia, kapan tepatnya ada, apa tadi namanya, Ekonomi AC?
Tahun 2012.
Bulannya?
Lupa.
Udah punya pacar?
Belum, tapi tahun depan mau nikah. Mau apa? Gak usah dateng, ngabis-ngabisin makanan ajah.
Selamat. Sebelum lupa, cara Paknya Jonan untuk akhirnya menghilangkan Ekonomi dan Ekspress gimana?
Terimakasih. Nanti datang ke nikahan kalau begitu. Soal itu, awalnya Ekspress yang ditiadakan. Hanya ada Ekonomi dan Ekonomi AC yang beroperasi. Harga pun masih sama: dipukul rata 6000 untuk Ekonomi AC dan tarif Ekonomi tadi.
Dengar-dengar dulu karyawan PT. KAI naik kereta gratis, ya?
Iya. Dulu. Hampir tiap hari malah saya naik Ekspress.
Ada cerita lain soal itu?
Ada. Waktu itu pernah ngajak teman naik Ekspress. Ketika ada petugas karcis keliling, dia kedapatan berbohong karena mengakui karyawan kereta. Saya dibawa-bawa. Saya kena SP 1 dari kantor.
Oia, kapan Commuterline mulai beroperasi?
Tahun 2013
Lanjut soal kereta sajalah, ya. Bagaimana reaksi pengguna kereta saat itu?
Banyak yang protes tentu saja. Karena untuk tarif Ekonomi AC dipukul rata seperti itu. Jauh-dekat 6000. Bayangkan saja, untuk pemberangkatan 3 stasiun sama dengan yang 9 stasiun. Itu terjadi saat Ekonomi dihapus.
Mungkin ada unsur politik di sana. Cari sendiri saja tulisan Paknya Jonan terkait ini. Ada.
Nantilah saya cari. Waktu itu udah lama ndak naik kereta soalnya. Tahu-tahu sudah ganti dengan Commuter Line.
Tentang tarif, sebenarnya karena biaya operasional tidak menutupi. Kereta, semakin banyak digunakan maka semakin besar juga biaya perawatan. Begitu singkatnya.
Lho, bukannya Commuter Line ada target, ya? Berapa gitu per-harinya.
Iyup. 1 juta penumpang per-hari. Sekarang ini paling hanya 600 ribuan. Sebenarnya, jika diperhatikan secara lebih detil, apa yang dilakukan oleh Paknya Jonan apa kalau boleh nanya balik?
Infrastruktur?
Bukan. Sebelum itu, Paknya Jonan fokus pada manejemen keuangan. Dari sana semua bermula. Makanya butuh waktu sekitar 2-3 tahun Paknya Jonan mampu mengubah segala-galanya di PT. KAI.
Paknya Jonan memetakan masalah-masalah yang ada. Orang hebat dia.
Yup. Sepakat untuk itu. Paknya Jonan memang hebat.
Balik ke soal tarif, solusinya adalah pembagian jarak tempuh penumpangnya. Lima stasiun pertama dikenakan biaya 2000. Naik 500 tiap stasiun setelahnya. Di sana baru menggunakan gate sebagai penghitung di pintu keluar dan masuk.
Ya, saya tahu itu. Dan sekarang akhirnya diganti lagi, kan?
Iyup, dari subsidi pemerintah. Kini dikenakan tarif bawah: 2000 untuk 20 km pertama. Baru dikenakan tambahan 500 setiap 5 km.
Jadi lebih murah atau mahal kalau begitu?Â
Tergantung.
Kek dosen saja kalau ditanya, jawabnya "tergantung". Opo sing digantung?
Jawaban gebetanlah. PHP!
Ya, ndak usah curhat gitu juga. Situ juga PHP. Penikmat Harapan Palsu.
Gapapa.
Boleh pinjam korek?
Buat apa?
Sulap. Ya, bakar rokoklah. Oia, gaji masinis itu berapa, sih? Gede? Biasanya, semakin besar gaji itu berbanding lurus dengan tanggung jawab. Kadang suka banyangin, jika kereta tidak juga melakukan pembenahan dan penumpang ada yang --amit-amit kalau sampai kejadian-- meninggal semua karena buruknya pelayanan, itu sama halnya dengan Genosida.
Gayak betul genosida. Tahu apa soal Genosida?
Gajinya lumayan. Sekitar 8 juta per-bulan. Tapi itu tergantung, soalnya sudah termasuk bayaran "narik" kereta. Ongkosnya, 250ribu. Itu sekali jalan. Kalau 1 bulan tidak "narik", paling 4 - 5 jutaan.
Lha, piye tho? Wong masinis yo narik kereta, masa ada yang satu bulan tidak narik kereta sama sekali, tapi tetap digaji? Enak betul.
Yaelah. Jam kerja masinis itu 6 jam/hari. 6 - 1. Enam hari kerja, satu hari libur. Bogor - Jakarta Kota itu paling cepat 1 setengah jam. Bolak-balik 3 jam. Paling satu hari cuma 2x narik. Terus yang ke Jatinegara, paling cuma 1x.
Berarti kalau gitu, bila dihitung-hitung bisa lebih dari 8 juta/bulan, dong?
Bisa.
Masinis bisa salah?
Semua juga bisa. Namanya juga manusia. Tapi, keselahan atau kelalaian dibagi 3: ringan, sedang dan berat.
Membedakannya?
Lewat contoh kasus saja biar mudah. Ingat si Itu? Sekarang dia masinis. Pernah satu kali melanggar. Kereta berhenti melebihi peron di Stasiun Pondok Cina. Katanya, rem saat itu macet. Akhirnya dia tidak narik kereta sampai 3 bulan. Itu ringan.
Lha enak. 3 bulan absen doangan.
Apanya yang enak? Waktu itu dia lagi baru kerja sudah banyak cicilan. Rumah, motor, HP dll., biasanya tertutupi malah dihitung-hitung defisit. Tidak cukup dari gaji pokok saja.
Oh. Hidup kokya foya-foya. Mbokya sederhana udah enak toh, ya. Terus kalau yang pelanggaran sedang?
Untuk yang sedang, biasanya karena lalai pada sinyal kereta. Masinis bisa dipecat kalau begitu.
Pantes, jadi wajar saja gitu ya masinis patuh pada sinyal karena tidak ingin dipecat?
Tidak begitu juga. Sinyal kereta itu yang bentuknya seperti traffic light. Merah, berhenti; kuning, pelan-pelan; hijau, jalan terus. Kalau sudah merah, misalnya dan masinis tidak berhenti, ah kelar sudah perkara. Pecat!
Nah, kalau yang berat. Karena kecelakaan. Hukumannya, ya dipenjarakan. Misal, seperti tabrakan kereta di Stasiun Juanda, ya. Tapi tidak tahu juga untuk kasus itu dipenjarakan apa tidaknya.
Sebentar. Satu kereta itu dua masinis, kan?
Satu. Kalau suka lihat di kabin belakang itu tugasnya hanya buka-tutup pintu. Pertama, dia bukan masinis. Kedua, dia dari outsourcing. Gajinya, ya bagaimana pihak outsourcing-nya.
Punya pengalaman dengan Paknya Jonan?
Enggak pernah. Takut. Takut dimutasi ke luar kota. Lempeng-lempeng aja udah.
Laki takut kerja di luar kota. Btw-btw, ini kopi siapa yang bayar?
Sendiri-sendiri.
Warung Bang Do, 28 Juli 2016
*) Diclaimer: Barangkali ada beberapa data yang tidak tepat di sini. Mohon dimaklumi. Saya terima komentar apapun. Kalau pun ingin menanggapi, sialakan juga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H