Dua bulan lalu untuk kali pertama saya menginjakkan kaki di Jogja. Bukan. Ini bukan soal mimpi saya itu; berdua bersama istri bulan madu. Kedatangan saya untuk urusan tertentu.
Dari Bandara Adisutjipto menuju hotel, saya mengenakan jaket yang melapisi dua kaos oblong. Jogja dingin ketika malam, lebih dingin dari Bogor selepas gerimis. Namun, masih lebih dingin ketika satu lift dengan seseorang yang pernah kamu tolak cintanya.
Malam menunjukkan pukul sepuluh. Tidak ada yang saya lakukan di hotel, lapar menyerang dan saya putuskan untuk keluar cari makan.
Tidak ada makanan Jogja yang saya tahu selain gudeg. Makanan khas, maksudnya. Sekitar sepuluh meter dari hotel masih ada pecel ayam --sebagian orang jawa menyebutnya: penyet ayam. Menu pasrah sajalah, kata saya dalam hati. Pecel ayam saya kira di mana-mana sama, hanya sambal meraka yang membedakannya.
Harga satu porsi pecel ayam sama seperti di Jakarta. 15ribu. Katanya biaya makan di Jawa --sebutan oleh kebanyakan orang kepada daerah Jawa selain Jawa Barat-- lebih murah. Etapi, pelayanan mereka lebih ramah. Mempersilakan saya untuk menambah makanan kalau masih lapar.
Malam semakin tinggi. Saya sudah duduk di becak untuk keliling sekitaran Jogja. Semestinya ini waktu yang tepat untuk menulis puisi. Sebab dingin seperti ini adalah dingin yang menagih pelukan. Sayang tak ada yang saya bisa lakukan, selain memeluk kenagan.
Kepada tukang becak saya minta juga diantar ke angkringan. Konon, di Jogja, angkringan itu tempat mahasiswa menambal hidupnya dari kepunahan. Sudah barang tentu saya ingin menjumpa mereka, calon penerus bangsa. Saya ingin melihat dengan mata-kepala sendiri wajah lapar mereka. Saya pun ingin mendengar sendiri suara rintihan perut mereka.
Berbeda dengan saya. Dalam tidur, saya bertemu Katon Bagaskara di angkringan di Jogja. Dia bernyanyi lagu "Jogjakarta" khusus untuk saya. Saya duduk berhadapan dengan perempuan di angkringan. Tidak ada yang kami lakukan selain tatap-tatapan. Selesai menyanyikan lagu itu, saya selipkan uang 50ribu ke kutang Katon Bagaskara.
Malam itu ditutup dengan segelas kopi joss dan tiga tusuk sosis bakar.
Sepertinya ada perbedaan waktu antara Jakarta dan Jogjakarta. Pagi datang lebih cepat. Matahari sudah hampir keluar sebadan-badan. Itu artinya saya terlambat.
Mandi tanpa gosok gigi. Mesti buru-buru berangkat sampai tanpa lebih dulu menyeduh kopi.
Acara belum dimulai, tapi orang-orang yang datang sudah ramai. Mereka mengunjungi beberapa booth. Melihat ini-itu. Memotret segalanya dan memilih satu untuk diunggah di sosial media. Saya lebih memilih cari sarapan. Nasi kucing dengan sate usus. Minumnya kopi dingin.
Seseorang datang. Badannya cukup besar, tinggi pula. Kulitnya hitam, rambutnya ikal. Kuku jari mereka sepertinya lupa dipotong. Panjang dan dalamnya hitam. Orang itu mengenakan tas selempang. Warnanya merah, kuning dan hijau. Jamaika. Gangstarasta.
Ia duduk membelakangi saya. Ia pesan kopi krimer. Panas. Tidak terjadi apa-apa antara kami berdua. Saya sibuk dengan makanan saya, dia melamun menunggu pesanannya.
Saya mesti cepat kembali ke lokasi acara. Kopi dingin belum tandas dari gelas pun saya tinggalkan. Orang tadi masih rokokan sembari sesekali mencecap kopi krimer.
Acara belum dimulai. Ada kendala, kata panitia. Saya kembali menunggu di luar gedung. Ada beberapa bangku dan meja yang dibuat dari semen. Saya ke sana untuk rokokan. Habis sebatang, saya kembali masuk. Acara belum juga dimulai. Saya keluar dan bakar rokok lagi. Habis sebatang, saya masuk, tapi acara belum dimulai. Saya keluar dan melakukan hal yang sama sampai empat kali. Lelah juga bolak-balik.
Kini meja yang semula saya tempati kini sudah diisi orang lain. Saya pindah ke meja lain. Kali ini saya tidak rokokan. Semakin siang Jogja semakin panas. Ada yang datang. Laki-laki yang saya sama saat saya sarapan. Dia duduk. Kami berhadapan. Tidak ada yang memulai bicara. Satu orang lagi datang. Orang yang berasal dari Papua, saya kira. Mudah mengidentifikasi mereka: identitas mereka secara tidak sadar telah membentuk stereotipe pada nalar kita.
Mereka berdua bercakap dengan bahasa yang tidak saya mengerti. Namun sesekali tertawa. Mendengar tawa mereka, saya jadi ikut tertawa. Tertawa itu virus; mudah menular.
"Kakak ini nanti mau MOB," kata salah seorang kepada saya, sambil menunjuk ke orang yang saya temui saat sarapan.
Oh. Hanya itu respon saya. Dalam pikiran, ternyata tadi mereka sedang com-bud (Comedy Buddy, istilah yang digunakan dalam Stand-up Comedy untuk menguji materinya sebelum digunakan di panggung). Seru juga.
Daffi, nama laki-laki yang saya temui saat makan dan nanti akan MOB. Kemudian ia kembali mulai com-bud. Cerita yang akan dibawakan tentang kebiasaan orang Papua ketika pemakaman. Saya tidak begiu paham. Bahasanya tidak saya pahami. Namun, teman com-bud Daffi beberapa kali memberikan diksi yang lebih lucu. Daffi tertawa, temannya juga, lalu saya.
Acara dimulai. Pembukan diisi oleh banyak sambutan. Saya tidak peduli, saya ingin melihat Daffi MOB.
Kini gilirannya Daffi maju. Ia memulai MOB. Seisi gedung tertawa oleh guyonnya. Salah seorang penonton ada yang meminta Daffi menambah satu cerita lagi. Daffi menolak. Ia turun pangggung sembari mengumpat, tidak jelas apa. Namun itu berhasil membuat orang-orang tertawa puas. Saya tidak kuat lagi tertawa, perut sudah lemas.
Acara selesai sekitar pukul 4 sore. Matahari terlihat sedang bersiap ingin tenggelam. Saya pulang ke hotel, lalu tidur.
***
Hari terakhir di Jogja. Acara terakhir pula. Saya berkemas sembari check-out dari hotel. Selesai acara saya mesti buru-buru mengejar pesawat ke Jakarta.
Jogja, kali itu, lebih mirip gurun pasir. Jika siang hari panasnya terik, sedangkan malamnya akan diselimuti dingin yang gigil.
Acara hari kedua berjalan tepat waktu. Acara hari kedua jauh lebih ramai. Kursi yang disiapkan penyelenggara tidak cukup menampung. Sebagian berdiri di belakang dan sebagian dialihkan ke atas. Saya termasuk yang berdiri di belakang.
Acara dimulai dengan diskusi. Semua memerhatikan. Gedung sekejap sunyi. Sumber suara hanya dari punggung. Saya keluar untuk cari sinyal. Mengirim beberapa laporan dan sesekali menerima panggilan. Diskusi selesai dan suara musik diputar keras. Orang-orang yang sedang di luar bersama saya berlarian masuk. Saya juga. Animal Pop Dance. Sebuah grup tari yang digagas oleh Jecko Siompo. Barangkali sudah tidak asing mendengar nama itu. Mereka lumayan sering manggung di luar negeri.
Animal Pop Dance perform minus Jecko Siompo. Tapi semua antusias. Â Satu gedung disuguhi tarian kontemporer Papua. Semua orang ikut menari. Paling tidak menggerakkan satu bagian tubuhnya. Saya curiga, apa mungkin orang-orang Papua bila diputarkan lagu maka mereka otomatis menari?
Saya jaim tidak ikut menari dengan yang lain. Saya akui, saya menyesal.
Saya keluar gedung lagi karena ada yang menelepon. Animal Pop Dance selesai perform, sebagian keluar. Sebagian merapat ke meja saya. Mahasiswa Papua. Ada yang menggunakan jaket bertuliskan "ISI Jogjakarta". Ada yang memakai kemeja dari UGM. Dan yang lain tidak terbaca, hanya mereka ada lima orang.
Mereka berbincang, saya menguping. Hangat selalu bersama mereka. Selalu ada canda. Semua bisa mereka tertawakan. Sepertinya mereka tahu caranya bahagia dengan sederhana.
Saya tidak yakin akan bisa bertemu mereka kembali di Jogja. Sebab, beberapa mahasiswa Papua di Jogja lebih memilih pergi dan melanjutkan kuliah di Papua. Ada yang tidak suka dengan keberadaan mereka. Mungkin karena selalu sering bercanda. Jogja itu Kota Pelajar!
Masih ingat kali pertama pertemuan kamu dengan orang-orang Papua? Bagaimana? Berkesan pastinya. Seperti saya. Seperti kalian juga tentunya. Ingatan mungkin bisa berkhianat, tapi kenangan akan abadi melekat.Â
Commuterline Tanah Abang - Bogor, 23 Juli 2016Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H