Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

2 Hari Bersama Mahasiswa Papua di Jogja

24 Juli 2016   00:18 Diperbarui: 2 Juli 2018   11:38 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Tribun jogja/ Angga Purnama

Acara belum dimulai, tapi orang-orang yang datang sudah ramai. Mereka mengunjungi beberapa booth. Melihat ini-itu. Memotret segalanya dan memilih satu untuk diunggah di sosial media. Saya lebih memilih cari sarapan. Nasi kucing dengan sate usus. Minumnya kopi dingin.

Seseorang datang. Badannya cukup besar, tinggi pula. Kulitnya hitam, rambutnya ikal. Kuku jari mereka sepertinya lupa dipotong. Panjang dan dalamnya hitam. Orang itu mengenakan tas selempang. Warnanya merah, kuning dan hijau. Jamaika. Gangstarasta.

Ia duduk membelakangi saya. Ia pesan kopi krimer. Panas. Tidak terjadi apa-apa antara kami berdua. Saya sibuk dengan makanan saya, dia melamun menunggu pesanannya.

Saya mesti cepat kembali ke lokasi acara. Kopi dingin belum tandas dari gelas pun saya tinggalkan. Orang tadi masih rokokan sembari sesekali mencecap kopi krimer.

Acara belum dimulai. Ada kendala, kata panitia. Saya kembali menunggu di luar gedung. Ada beberapa bangku dan meja yang dibuat dari semen. Saya ke sana untuk rokokan. Habis sebatang, saya kembali masuk. Acara belum juga dimulai. Saya keluar dan bakar rokok lagi. Habis sebatang, saya masuk, tapi acara belum dimulai. Saya keluar dan melakukan hal yang sama sampai empat kali. Lelah juga bolak-balik.

Kini meja yang semula saya tempati kini sudah diisi orang lain. Saya pindah ke meja lain. Kali ini saya tidak rokokan. Semakin siang Jogja semakin panas. Ada yang datang. Laki-laki yang saya sama saat saya sarapan. Dia duduk. Kami berhadapan. Tidak ada yang memulai bicara. Satu orang lagi datang. Orang yang berasal dari Papua, saya kira. Mudah mengidentifikasi mereka: identitas mereka secara tidak sadar telah membentuk stereotipe pada nalar kita.

Mereka berdua bercakap dengan bahasa yang tidak saya mengerti. Namun sesekali tertawa. Mendengar tawa mereka, saya jadi ikut tertawa. Tertawa itu virus; mudah menular.

"Kakak ini nanti mau MOB," kata salah seorang kepada saya, sambil menunjuk ke orang yang saya temui saat sarapan.

Oh. Hanya itu respon saya. Dalam pikiran, ternyata tadi mereka sedang com-bud (Comedy Buddy, istilah yang digunakan dalam Stand-up Comedy untuk menguji materinya sebelum digunakan di panggung). Seru juga.

Daffi, nama laki-laki yang saya temui saat makan dan nanti akan MOB. Kemudian ia kembali mulai com-bud. Cerita yang akan dibawakan tentang kebiasaan orang Papua ketika pemakaman. Saya tidak begiu paham. Bahasanya tidak saya pahami. Namun, teman com-bud Daffi beberapa kali memberikan diksi yang lebih lucu. Daffi tertawa, temannya juga, lalu saya.

Acara dimulai. Pembukan diisi oleh banyak sambutan. Saya tidak peduli, saya ingin melihat Daffi MOB.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun