Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Terlalu Banyak "Katanya" di Papua

11 Juni 2016   03:09 Diperbarui: 20 Agustus 2019   15:05 1315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: kompas.com/Barry Kusuma

Paulo Coelho pada salah satu bukunya pernah mengisahkan tentang seorang penjual gereja-gereja di Belanda. Theo Wierema, namanya. Pertemuannya dengan Theo terjadi pada satu kesempatan di mana Coelho sedang mengisi salah satu acara di stasiun TV Belanda. Theo menunggunya di luar gedung stasiun TV itu sampai Coelho selesai. Itu adalah pertemuan pertama mereka setelah lima tahun, secara berkala dan gigih Theo meminta Coelho lewat surel untuk mengisi di acara di The Hague yang ingin ia selenggarakan.

Pada saat itu juga, Coelho ingin sekali menolak tawaran tersebut secara langsung. Tentu bukanlah perkara yang rumit. Sekali menolak, maka selesailah semua. Namun, melihat kegigihan Theo selama ini, Coelho akhirnya memberi syarat yang tidak mungkin dipenuhi Theo. Anehnya, pada saat itu juga, Theo menyanggupi.

"Semua itu tidak penting," kata Theo. "Saya melakukan ini karena saya sudah bisa membayangkan apa yang bisa saya peroleh dari usaha ini," lanjutnya.

Coelho termenung. 

"Saya menyelenggarakan acara-acara seperti ini karena saya perlu tetap meyakini bahwa masih ada manusia-manusia yang mencari dunia yang lebih baik. Dan saya mesti ikut andil untuk mewujudkannya," tegas Theo.

Barangkali hal-hal seperti apa yang telah dilakulan Theo kepada Coelho, perlu dan amat penting untuk diterapkan di sini. Sekarang atau secepatnya. Apalagi tentang Papua. Dari kata itu saja, "Papua", asumsi kita sudah mudah ditebak: tidak baik. Entah tidak baik orangnya, atau wilayahnya. Terlalu banyak "katanya" dari sana.

Katanya orang-orang Papua itu keras kepala, tidak bisa diberi-tahu, mudah emosi, suka berkelahi dan lain-lain. Katanya. Ya, katanya, padahal mereka sama sekali belum pernah atau bahkan tidak tahu-menahu tentang orang Papua itu seperti apa. Itu hanya asumsi kita karena melihat orang Papua memiliki kulit hitam, rambut mereka yang ikal dan suara lantang --cenderung kasar. Berbeda dengan kita yang berasal bukan dari Papua.

Katanya sering sekali terjadi kerusuhan di Papua. Hampir setiap hari malah. Katanya semua itu hanya karena minuman atau perempuan. Katanya.

Menjengkelkan sekali memang mendengar hal-hal seperti itu dari orang-orang yang sok tahu. Katanya dan katanya. Jika memang benar, saya kira itu wajar. Selama kita hidup, maka akan selalu ada masalah. Hanya saja perlakuan dan cara menyikapinya yang berbeda-beda.

Saya tahu itu dari Mbak Lulu, salah seorang koordinator acara Bicara Papua di UGM, Jogja.

Ingatan saya tentang Papua tiba-tiba hadir kembali saat mendatangi kegiatan Keluarga Mahasiswa Papua UGM di Jogja itu. Bukan, saya bukan dari UGM, tapi bukankah hampir setiap kampus selalu ada mahasiswa yang berasal dari Papua? Hadir di sana seperti nostalgia. Kampus dan mahasiswa Papua.

Di kampus saya dulu, ada juga Keluarga Mahasiswa Papua. Mereka inilah yang membuat dan sedikit-banyak mempengaruhi saya tentang memandang bangku perkuliahan. Oleh mereka, orang-orang Papua itu, kuliah menjadi tempat belajar caranya belajar. Ya, belajar caranya belajar. Mencari tahu apa yang kita tidak tahu, mempertanyakan jawaban, haus akan wawasan orang lain dan lain sebagainya.

Karena teman-teman saya yang asal Papua itu, saya jadi paham kalau orang-orang Papua dibagi menjadi tiga: kota, gunung dan pesisir. Itu pengelompokan berdasarkan tempat tinggal. Pembangunan memang baru banyak dilakukan di kota. Untuk daerah gunung dan pesisir baru sebagian. Setidaknya sampai saat ini sedang berjalan.

Dari acara Bicara Papua itu, saya jadi tahu kalau ada dua hal elementer yang penting untuk segera diperbaiki di Papua: pembangunan dan kepemimpinan.

Untuk pembangunan, setidaknya sudah ada tindak nyata dari Pemerintah dengan Program membangun tol laut di Pelabuhan Wasior. Saat peresmian, itu merupakan kunjungan keempat Pemerintah Pusat ke Papua. Sebelumnya, telah bertandang ke sana pada Desember 2015, pertengahan Mei 2015, dan Desember 2014. Permasalahan di Papua mesti diselesaikan dengan langkah konkrit!

Bagaimana dengan kepemimpinan? Saya kira ini tidak hanya di Papua, di hampir banyak daerah di Indonesia pun demikian. Namun, yang menjadi urgensi di sini adalah tentang bagaimana orang Papua sendiri dapat membangun wilayahnya sendiri.

Oleh karenanya banyak pembicara dengan berbagai latar belakang, tapi membawa satu topik: Papua. Ada Dr. Lakshmi, antropolog UGM yg pernah melakukan riset di Merauke, Jecko Siompo dengan timnya yang telah memperkenalkan Papua kepada dunia lewat “Animal Pop Dance”, Ari Sihasale beserta Nia Zulkarnaen yang melakukan perjalanan mereka selama di Papua dan mendokumentasikannya lewat serial documenter “Uncover Papua”. Juga banyak lagi yang lainnya.

Jika boleh meminjam istilah kodian tak bertuan: bila surga bisa bocor, pasti tetesannya ada di Indonesia dan tetesan paling banyak akan menetes di Papua. Lihat saja kekayaan alam dan budaya yang ada.

Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UGM, Prof. Dr. Suratman menyampaikan pada pembukaan acara Papua Days di UGM, “Bahwa di Papua, terdapat lebih dari 200 bahasa dan etnis. Itu adalah kekayaan yang tidak ada di daerah mana pun di dunia. Kita mesti menjaga dan melestarikannya.”

***

Saya kira yang paling umum dan bisa dari suatu perjalanan atau liburan atau apapun namanya, adalah menceritakan pengalaman singkatnya kepada orang lain.

Bila saat perjalanan itu ia mendapat cerita menarik, ia bisa sebarkan dengan cepat. Namun bila tidak, itu akan yang berbahaya. Berbahaya di sini maksudnya adalah satu hal kecil bisa diimbuhi 'bumbu penyedap' yang terlalu banyak. Ini yang saya maksud dengan terlalu banyak 'katanya' tentang Papua.

Ini mungkin masih ada kaitannya dengan pengaruh industri penulisan perjalanan. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga seluruh dunia yang memiliki tujuan wisata yang terus digenjot oleh pemerintah atau swasta.

Elizabeth Becker mengatakan, “Bahwa penulisan perjalanan telah menjadi sayap yang penting bagi industri pariwisata. Tujuannya satu dan memang satu-satunya: membuat pelancong membelanjakan uangnya untuk melakukan perjalanan impian.” (dari buku Overbooked: The Exploding Busines of Travel and Tourism)

Ketika hanya sekadar itu yang dijadikan landasan, betapa besar kemungkinan kekayaan suatu tempat sekadar 'diperkosa' lalu ditinggalkan pelancong.

Dan inilah yang menarik dari buku A Turn in the South karya V. S. Naipaul, ketika ia melakukan pendekatan atas kisah perjalanannya selama di wilayah selatan Amerika. Naipaul menelusuri hampir tiap sudut kota-kota kecil di sana. Perlu diingat, Naipaul tidak hanya mengunjungi, tapi hidup di sana.

"Penulis perjalanan tidak hanya melihat dan mendeskripsikan tempat, ia (penulis perjalanan) juga menulis manusia-manusianya," kata Naipaul ketika diwawancara New York Times.

Persis seperti riset yang dilakukan Dr. Lakshmi selama tahun 2010 – 2014 di Wamena.

Banyak riset menunjukan bahwa alangkah baiknya sebuah kebijakan di Papua, mesti dilihat dari aspek budayanya. “Karena sesungguhnya yang  paling mengetahui dan mengenal masalah adalah masyarakat. Jadi kalau (pemerintah) mau bertanya, tanyalah kepada kami di Papua untuk mendapat jawaban yang tepat,” ujar Hans Magal, salah seorang Tokoh Masyarakat Amungme-Kamoro. (Sumber: Jawa Pos).

Barangkali benar seperti apa yang dikatan Theo Wierema pada Paulo Coelho: zaman sekarang, orang-orang jarang saling bertatap muka, dan kalau mereka tidak saling bertatap muka, mereka tidak akan bertumbuh.

Kalimat penutup dari Ketua Pelaksana Papua Days saat membuka acara
Kalimat penutup dari Ketua Pelaksana Papua Days saat membuka acara
 

Perpustakaan Teras Baca, 11 Juni 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun