Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Buku vs Media Sosial: Sebuah Konspirasi Phonics?

23 Mei 2016   13:24 Diperbarui: 8 September 2018   13:51 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya kira ketika buku dan media sosial disandingkan, lalu dibanding-bandingkan, apalagi sampai diperdebatkan, maka di situlah lahir satu permasalahan. Misal: bagaimana buku mampu bersaing dengan media sosial? Apa mungkin media sosial bisa menggantikan peran buku?

Oleh karenanya, perihal buku dan media sosial akan sangat menarik bila didiskusikan. Tentu dengan kepala dingin dan hati yang lapang. Saya tidak berada dipihak pro-buku maupun pro-media sosial. Alasannya sederhana: saya membutuhkan buku untuk menambah wawasan, sedang media sosial saya gunakan untuk caper kutipan-kutipan inspiratif nan motivatif dari buku yang saya baca menambahkan apa yang tidak saya dapat dari buku.

Kenikmatan berdiskusi, bagi saya, seperti membaca puisi: mampu melahirkan banyak interpretasi, sehingga bisa dilihat dari banyak sudut pandang. Dan diskusi, saya kira, tidak melulu butuh jawaban. Malah ketika jalannya diskusi, jawaban kadang berupa pertanyaan.

Buku dan sosial media menjadi topik yang coba diangkat pada diskusi kamisan yang rutin digelar oleh Komunitas Penulis Penerbit Buku Kompas. Tema yang diskusikan pun menarik, Buku Vs Media Sosial: Membangkitkan Selera Literasi untuk Dunia.

Akan saya coba ilustrasikan mengenai perseteruan buku dan media sosial.

Ketika sedang dalam perjalanan menggunakan kereta, mana yang sering lebih kamu temui: penumpang yang bermain media sosial atau khusyuk membaca buku? Saya lebih sering dapati yang pertama. Pertanyaannya, apakah mereka yang bermain media sosial di kereta itu salah? Saya kira tidak. Bila persentasenya lebih dari 90%, barangkali justru orang yang membaca buku di kereta adalah yang salah. Salah tempat, paling tidak.

Namun akan menjadi masalah bila orang-orang yang bermain media sosial di kereta kemudian dicibir dengan nuansa kebencian.

Seorang Filsuf kenamaan pada era-Romawi Kuno, Marco Tullio Cicerone, pernah mengatakan begini: “Sine libris cella, sine anima corpus est.” (Rumah tanpa buku, ibarat tubuh tanpa jiwa). Jadi, siapa tahu orang-orang yang bermain media sosial itu, sebelum naik kereta, di rumah habis membaca beberapa judul buku. Hanya secara tidak sadar dan sabar, membagikan kepada handai taulan sekalian sedang pada posisi di kereta.

Ada dua tempat membaca yang menyenangkan untuk saya: perpustakaan dan kereta. Itu pandangan positif saya kepada mereka-mereka yang asyik sekali bermain media sosial di kereta. Pandangan negatifnya, mbok ya kalau mau mengabarkan selingkuhan itu tidak di kereta, semua yang di dekatnya bisa baca. Ingat pasal 1 ayat 1 tentang perselingkuhan: JAUHI KERAMAIAN.

Pada tahun 1955, Rudolf Flesch membuat buku dari kumpulan esainya dengan judul “Why Ruddy Can’t Read”. Rudolf saat itu mengkritik pemerintah bahwa hampir semua masalah membaca di Amerika Serikat adalah hasil dari sebuah konspirasi antara pihak pendidik dan penerbit untuk menahan instruksi pengajaran phonics dari siswa. Konspirasi Phonics.

“I will admit that the book is doubtless quite unscientific... but then, Uncle Tom's Cabin was not exactly a documented sociological treatise. When a public problem exists, it has to be presented in a way the public cannot only understand, but take notice of. And the fact is that, with all too few honorable exceptions, American education has gone to hell in the proverbial handbasket....” (“Why Johnny Can’t Read,” - Rudolf Flesch, 1955a).

Phonics adalah metode untuk mengajar menulis dan membaca dengan mengembangkan kesadaran –kemampuan untuk mendengar, mengidentifikasi dan memanipulasi fonem. Rudolf menjelaskan kalau tidak ada bukti yang meyakinkan untuk menunjukkan bahwa program membaca berbasis sastra tidak bisa mengajar identifikasi kata berdasarkan makna, termasuk penggunaan keterampilan phonics.

Jika saat itu permasalahan di Amerika tahun 1955 antara penerbit dan pendidik, maka yang kini terjadi di Indonedia adalah buku dan media sosial. Mas Witdarmono sebagai salah satu pengisi materi diskusi Buku Vs Media Sosial mengatakan, “Dekatkan sejak dini anak-anak pada buku, karena orang tua adalah guru pertama.” Namun saya sedikit kurang paham ketika Mas Witdarmono menjelaskan bahwa anak-anak sebaiknya membaca buku-buku non-fiksi ketimbang buku-buku fiksi.

Entah apa maksudnya, tapi untuk itu saya tidak setuju. Jelasnya, dengan membaca buku non-fiksi anak-anak terangsang mencari tahu sendiri sebuah informasi. Efeknya membuat anak-anak akan bertanya mengapa dan bagaimana. Bukankah dunia anak-anak adalah dunia yang penuh fantasi dan imajinasi? Bukankah dengan membaca buku-buku fiksi seperti dongeng atau fable dapat lebih mudah menumbuh-kembangkan imajinasi anak-anak? Paling tidak, itu yang saya lakukan pada adik saya sedari umurnya tiga tahun sampai sekarang ia berumur enam tahun.

Dari umur tiga tahun, jika saya berkesempatan untuk tidur dengan adik saya, saya sering menceritakan padanya dongeng kelinci yang tersesat di hutan. Atau, jika susah tidur, saya akan menceritakan padanya hantu kepala bunting. Di umurnya yang kelima, pada kesempatan yang sama, berganti adik saya yang menceritakan apa saja sebelum ia tidur.

Saya hanya tidak ingin memberitahu pada adik saya jika 'hitam adalah hitam', 'empat ditambah lima jumlahnya sembilan', atau 'mantan bila semakin ingin dilupakan, maka akan semakin teringat kenangannya'. Saya membiarkan adik saya menemukan sendiri jawabannya.

Saya berharap ketiga data ini tidak ada hubungannya dengan anak-anak yang sejak dini dijejali bacaan non-fiksi:

Pertama. Indonesia berada di urutan nyaris paling bawah dari 61 negara untuk tingkat literasi. Kedua. Bahwa masih ada lulusan perguruan tinggi negeri yang tidak mampu membedakan 'di' sebagai penunjuk tempat dan 'di' sebagai awalan dalam tulisan ilmiahnya. Ketiga. Media lokal Jerman sempat membuat laporan ketika Indonesia didaulat menjadi tamu kehormatan di ajang Frankfurt Book Fair 2015 dengan judul 'Indonesia: Thousands Islands with No Reader'.

Semoga para orang tua bisa dengan bijak memberi bacaan pada anak-anak, sebijak ketika mereka memberikan gadget. Dan perlu diketahui juga, kini Bapak Menteri Pendidikan yang kita semua idolakan tengah menginstuksikan kepada setiap sekolah: bahwa sebelum kegiatan belajar-mengajar dimulai, siswa diminta membaca karya-karya sastra paling tidak 10-15 menit.

Kang Pepih Nugraha juga memaparkan bagaimana era digital (maksudnya, media sosial) tengah perlahan menduduki puncak kejayaannya. Seperti media sosial Facebook. Di sana, mereka hanya menyediakan platform yang kemudian itu diisi oleh siapa saja dan untuk apa saja.

“Media boleh saja berganti dari cetak ke digital, tapi good content mesti tetap dijaga,” ujar Kang Pepih.

Guna menyadari persaingan antara buku dan media sosial, sempat juga Kompasiana menerbitkan naskah-naskah yang terlebih dulu tayang di laman situs Kompasiana. Tetralogi Pak Beye, buku yang dianggit Mas Wisnu Nugroho bahkan mendapat label best-seller.

Menerbitkan buku sendiri, paling tidak dari naskah yang sudah terlebih dulu ditayangkan sebelumnya, pasti jauh lebih memberi tantangan. Buku tersebut, secara tersirat, bukan hanya sekadar dijadikan kenang-kenangan, tetapi proses kurasi yang ketat akan diproritaskan. Bahwa buku yang dicetak nanti tetap terjaga relevansi dan aktulitasnya sampai kemudian hari.

Tidak hanya Mas Witdarmono dan Kang Pepih Nugraha, pemateri lainnya adalah Ahmad Fuadi. Penulis Trilogi novel Negeri 5 Menara. Ia bagaimana cara menulis buku agar tidak hanya dibaca masyarakat Indonesia, tetapi juga dinikmati dunia. Ahmad Fuadi sadar sekali bila Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang paling kurang efektif menjelaskan dirinya sendiri ke dunia luar. Oleh karenanya ia menuliskan kehidupan di dunia pesantren pada novel perdananya.

Setelah berlelah-lelah melakukan riset untuk novel tersebut, akhirnya Ahmad Fuadi mendapat ganjaran yang setimpal. Novel 'Negeri 5 Menara' didapuk sebagai novel mega best seller. Itu termasuk kategori yang disematkan penerbit pada buku yang 100.000 eksemplar per-tahun.

“Saya menuliskannya dengan hati, membahasakannya dengan hati. Sebab bahasa hati bisa menembus batas bangsa, bahasa dan etnis,” ungkap Ahmad Fuadi.

Seperti halnya Konspirasi Phonics, ini pun terjadi pada buku dan media sosial di Indonesia. Buku-buku yang dianggap beraliran 'kiri' mulai disita dari beberapa rak-rak toko buku. Lembaga sekaliber Perpustakaan Nasional juga sudah mulai memberi lampu hijau untuk itu. Di media sosial, kita kini mesti lebih berhati-hati: sebuah kritik bisa dianggap hate-speech.

Itulah saat di mana phonic dihilangkan. Saat di mana pembaca tidak bisa mendekatkan dirinya lebih jauh tentang kode-kode yang tertulis (baik itu kata atau ejaan) pada bacaannya. Sedikit kiri, diberangus; sedikit kritik dengan serius, dianggap penebar benci.

Jika ini terjadi terus menerus, akan tiba satu waktu buku dan media sosial di Indonesia mengalami nasib serupa seperti kritik Rudolf Flesch pada Amerika di tahun 1955, “We are raising a generation of the barely literate....”

Perpustakaan Teras Baca, 23 Mei 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun