Phonics adalah metode untuk mengajar menulis dan membaca dengan mengembangkan kesadaran –kemampuan untuk mendengar, mengidentifikasi dan memanipulasi fonem. Rudolf menjelaskan kalau tidak ada bukti yang meyakinkan untuk menunjukkan bahwa program membaca berbasis sastra tidak bisa mengajar identifikasi kata berdasarkan makna, termasuk penggunaan keterampilan phonics.
Jika saat itu permasalahan di Amerika tahun 1955 antara penerbit dan pendidik, maka yang kini terjadi di Indonedia adalah buku dan media sosial. Mas Witdarmono sebagai salah satu pengisi materi diskusi Buku Vs Media Sosial mengatakan, “Dekatkan sejak dini anak-anak pada buku, karena orang tua adalah guru pertama.” Namun saya sedikit kurang paham ketika Mas Witdarmono menjelaskan bahwa anak-anak sebaiknya membaca buku-buku non-fiksi ketimbang buku-buku fiksi.
Entah apa maksudnya, tapi untuk itu saya tidak setuju. Jelasnya, dengan membaca buku non-fiksi anak-anak terangsang mencari tahu sendiri sebuah informasi. Efeknya membuat anak-anak akan bertanya mengapa dan bagaimana. Bukankah dunia anak-anak adalah dunia yang penuh fantasi dan imajinasi? Bukankah dengan membaca buku-buku fiksi seperti dongeng atau fable dapat lebih mudah menumbuh-kembangkan imajinasi anak-anak? Paling tidak, itu yang saya lakukan pada adik saya sedari umurnya tiga tahun sampai sekarang ia berumur enam tahun.
Dari umur tiga tahun, jika saya berkesempatan untuk tidur dengan adik saya, saya sering menceritakan padanya dongeng kelinci yang tersesat di hutan. Atau, jika susah tidur, saya akan menceritakan padanya hantu kepala bunting. Di umurnya yang kelima, pada kesempatan yang sama, berganti adik saya yang menceritakan apa saja sebelum ia tidur.
Saya hanya tidak ingin memberitahu pada adik saya jika 'hitam adalah hitam', 'empat ditambah lima jumlahnya sembilan', atau 'mantan bila semakin ingin dilupakan, maka akan semakin teringat kenangannya'. Saya membiarkan adik saya menemukan sendiri jawabannya.
Saya berharap ketiga data ini tidak ada hubungannya dengan anak-anak yang sejak dini dijejali bacaan non-fiksi:
Pertama. Indonesia berada di urutan nyaris paling bawah dari 61 negara untuk tingkat literasi. Kedua. Bahwa masih ada lulusan perguruan tinggi negeri yang tidak mampu membedakan 'di' sebagai penunjuk tempat dan 'di' sebagai awalan dalam tulisan ilmiahnya. Ketiga. Media lokal Jerman sempat membuat laporan ketika Indonesia didaulat menjadi tamu kehormatan di ajang Frankfurt Book Fair 2015 dengan judul 'Indonesia: Thousands Islands with No Reader'.
Semoga para orang tua bisa dengan bijak memberi bacaan pada anak-anak, sebijak ketika mereka memberikan gadget. Dan perlu diketahui juga, kini Bapak Menteri Pendidikan yang kita semua idolakan tengah menginstuksikan kepada setiap sekolah: bahwa sebelum kegiatan belajar-mengajar dimulai, siswa diminta membaca karya-karya sastra paling tidak 10-15 menit.
Kang Pepih Nugraha juga memaparkan bagaimana era digital (maksudnya, media sosial) tengah perlahan menduduki puncak kejayaannya. Seperti media sosial Facebook. Di sana, mereka hanya menyediakan platform yang kemudian itu diisi oleh siapa saja dan untuk apa saja.
“Media boleh saja berganti dari cetak ke digital, tapi good content mesti tetap dijaga,” ujar Kang Pepih.
Guna menyadari persaingan antara buku dan media sosial, sempat juga Kompasiana menerbitkan naskah-naskah yang terlebih dulu tayang di laman situs Kompasiana. Tetralogi Pak Beye, buku yang dianggit Mas Wisnu Nugroho bahkan mendapat label best-seller.