Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Buku vs Media Sosial: Sebuah Konspirasi Phonics?

23 Mei 2016   13:24 Diperbarui: 8 September 2018   13:51 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menerbitkan buku sendiri, paling tidak dari naskah yang sudah terlebih dulu ditayangkan sebelumnya, pasti jauh lebih memberi tantangan. Buku tersebut, secara tersirat, bukan hanya sekadar dijadikan kenang-kenangan, tetapi proses kurasi yang ketat akan diproritaskan. Bahwa buku yang dicetak nanti tetap terjaga relevansi dan aktulitasnya sampai kemudian hari.

Tidak hanya Mas Witdarmono dan Kang Pepih Nugraha, pemateri lainnya adalah Ahmad Fuadi. Penulis Trilogi novel Negeri 5 Menara. Ia bagaimana cara menulis buku agar tidak hanya dibaca masyarakat Indonesia, tetapi juga dinikmati dunia. Ahmad Fuadi sadar sekali bila Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang paling kurang efektif menjelaskan dirinya sendiri ke dunia luar. Oleh karenanya ia menuliskan kehidupan di dunia pesantren pada novel perdananya.

Setelah berlelah-lelah melakukan riset untuk novel tersebut, akhirnya Ahmad Fuadi mendapat ganjaran yang setimpal. Novel 'Negeri 5 Menara' didapuk sebagai novel mega best seller. Itu termasuk kategori yang disematkan penerbit pada buku yang 100.000 eksemplar per-tahun.

“Saya menuliskannya dengan hati, membahasakannya dengan hati. Sebab bahasa hati bisa menembus batas bangsa, bahasa dan etnis,” ungkap Ahmad Fuadi.

Seperti halnya Konspirasi Phonics, ini pun terjadi pada buku dan media sosial di Indonesia. Buku-buku yang dianggap beraliran 'kiri' mulai disita dari beberapa rak-rak toko buku. Lembaga sekaliber Perpustakaan Nasional juga sudah mulai memberi lampu hijau untuk itu. Di media sosial, kita kini mesti lebih berhati-hati: sebuah kritik bisa dianggap hate-speech.

Itulah saat di mana phonic dihilangkan. Saat di mana pembaca tidak bisa mendekatkan dirinya lebih jauh tentang kode-kode yang tertulis (baik itu kata atau ejaan) pada bacaannya. Sedikit kiri, diberangus; sedikit kritik dengan serius, dianggap penebar benci.

Jika ini terjadi terus menerus, akan tiba satu waktu buku dan media sosial di Indonesia mengalami nasib serupa seperti kritik Rudolf Flesch pada Amerika di tahun 1955, “We are raising a generation of the barely literate....”

Perpustakaan Teras Baca, 23 Mei 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun