"Ayo kita berteduh di rumah itu!" kata Nadia pada kedua temannya, Willy dan Remon. Hujan mulai turun saat mereka sedang berjalan di tengah hutan untuk pulang.
Ketiga pemuda yang suka traveling ini baru saja pergi ke sebuah pantai yang bernama pantai Indah. Sesuai namanya, pantai tersebut memang sangat indah. Meski begitu, untuk mencapai pantai tersebut, mereka harus melewati sebuah hutan yang memakan waktu sekitar satu jam lebih.
Hari libur yang mereka miliki dimanfaatkan oleh mereka untuk pergi bersama ke pantai Indah. Di samping pantai tersebut sangat indah, tempat tersebut memang belum banyak diketahui oleh banyak orang, sehingga ekosistemnya masih sangat terjaga.
Setelah seharian penuh bersenang-senang, mereka lalu bergegas untuk pulang dengan kembali menyusuri hutan menggunakan sepeda motor. Namun, cuaca nampak tak bersahabat. Hujan mulai turun disertai angin yang cukup kencang.
Mereka bertiga lalu memutuskan untuk berteduh di sebuah rumah yang mereka temui di tengah hutan. Rumah tersebut terlihat sangat tidak terurus. Banyak sampah, dedaunan dan kotoran hewan yang berserakan di depan rumah. Mungkin saja sudah lama tidak dihuni.
Waktu menunjukan pukul enam petang. Hujan yang turun membuat langit menjadi sangat gelap. Belum lagi, lampu di depan rumah yang menjadi tempat berteduh tidak menyala. Padahal lampu tersebut sepertinya masih baru.
"Hallo. Permisi." Kata Nadia sambil mengetuk pintu rumah tersebut untuk memastikan apakah rumah tersebut berpenghuni atau tidak. Upaya mereka untuk memanggil penghuni rumah dengan ketukan pintu yang dilakukan, sama sekali tidak mendapatkan respon.
"Rumah ini memang kosong teman-teman." Kata Remon pada Willy dan Nadia.
"Ya sudah. Kita berteduh sebentar hingga hujan berhenti, lalu kita lanjutkan perjalanan kita." Sambung Willy.
Hujan makin deras dan disertai angin yang juga makin kencang. Nadia dan kedua temannya sudah mulai merasakan kedinginan. Badan mereka mulai menggigil dan bercampur dengan rasa lelah yang sudah dialami sedari tadi.
"etttttttt" suara pintu rumah terdengar. Nadia lalu melihat bahwa pintu rumah yang sedari tadi diketuknya sedikit terbuka. Padahal dari tadi mereka sudah mengetuk dan memanggil pemilik rumah tersebut berulang kali.
"Hallo. Permisi." Nadia kembali memanggil dan mengetuk pintu yang sudah sedikit terbuka itu. Kali ini lagi-lagi tak ada respon apapun. Upaya yang dilakukan oleh Willy dan Remon juga tidak direspon.
Rasa takut mulai muncul. Bulu kuduk mendadak berdiri. Nadia dan kedua temannya hampir tidak bisa membedakan, apakah hal tersebut adalah akibat dari rasa takut yang mulai menghampiri atau rasa kedinginan.
Suasana makin mencekam ketika terdengar suara kursi dan meja yang bergeser dari dalam rumah yang gelap tersebut.
"Kita jalan aja yuk! Di sini seram banget." Kata Nadia.
"Lah kamu lihat kan, lagi hujan deras dan angin juga sangat kencang. Bisa-bisa kita tertindih oleh pohon yang roboh." Sambung Remon.
"Ia, lebih baik ditangkap setan dari pada tertindih pohon hahahaha." Kata Willy menyambung lagi.
Nadia lalu memukul tangan kedua temannya yang menakut-nakuti dirinya. Nadia memang terkenal dengan sebutan penakut setan. Hal inipun terjadi karena ia terlalu sering menonton film horor.
Suasana lalu kembali senyap. Nadia mulai menangis karena sangat ketakutan. Usaha Willy dan Remon untuk menenangkannya tak direspon. Tubuh Nadia mulai terasa lemas. Ia lalu roboh dan pingsan.
***
Tiba-tiba Nadia merasakan ada seseorang yang memegang pundaknya. Nadia dan kedua temannya yang melihat ke belakang, sontak merasa terkejut. Terlihat seorang wanita tua berdiri di hadapan mereka.
"Nenek? Sejak kapan nenek ada di sini? Dari tadi kami mengetuk pintu tapi tak ada respon." Tanya Nadia. Nenek tersebut hanya mengangguk dan menunjuk ke arah dalam rumah, memberikan isyarat agar mereka masuk ke dalam rumah.
Nenek tersebut nampak tak bisa berbicara. Ia hanya bisa menunjuk dan memberikan isyarat. Di dalam rumah telah tersedia teh hangat dan lampion yang dinyalakan. Ternyata, dari tadi nenek tersebut sudah membuka pintu, namun kondisi pintu rumah yang sudah tua, membuat pintu tersebut sudah tidak bisa terbuka dengan baik. Nenek tersebut lalu memilih kembali masuk dan menyiapkan teh hangat, sebelum menyapa ketiga orang yang berteduh di depan rumahnya.
Melihat hal tersebut, rasa ketakutan yang sedari tadi dirasakan oleh Nadia, berubah menjadi rasa iba. Terang saja, nenek yang berada di hadapannya sudah terlihat sangat renta. Selain itu, rumahnya juga sudah tidak terawat. Mungkin saja karena nenek ini sudah tidak kuat lagi mengerjakan semuanya sendiri.
Nadia lalu bertanya-tanya dalam hati. Dimana anak-anaknya? Apakah ia memiliki keluarga? Mengapa mereka membiarkannya tinggal sendirian di tengah hutan?
Nenek tersebut sepertinya mengetahui apa yang dipikirkan Nadia. Ia lalu mengambil foto anak-anaknya dan ditunjukan pada Nadia. Ia ternyata memiliki dua orang anak laki-laki dan semuanya adalah sarjana. Nenek memberikan isyarat bahwa mereka sedang berada di tanah rantau dengan menunjuk ke salah satu foto.
Nadia lalu teringat pada neneknya yang sudah lama tidak ia kunjungi. Neneknya juga hanya tinggal sendirian. Mungkin inilah yang dirasakan oleh neneknya, ketika para anak dan cucu tidak pernah mengunjunginya. Nadia lalu menangis dengan terisak. Nenek yang tidak bisa bicara tersebut memeluknya dan menenangkannya.
***
"Nadia. Nadia. Hei!" Suara Remon membangunkan Nadia dari pingsan yang ia alami.
"Kita dimana?" tanya Nadia.
"Kita masih di rumah tempat kita berteduh. Kamu tadi menangis sampai pingsan. Kamu tidak apa-apa?" tanya Willy
"Ia aku tidak apa-apa. Tadi aku hanya ketakutan saja." Jawab Nadia. Ia lalu menyadari bahwa pertemuannya bersama nenek yang tidak bisa berbicara tersebut hanyalah mimpi.
"Hujan sudah berhenti. Ayo kita pergi." Kata Remon sambil bersama Willy membantu Nadia untuk berjalan.
Mereka bertiga lalu bergegas dan pergi. Di perjalanan, Nadia terus terbayang-bayang akan mimpinya yang aneh tersebut. Tak hanya itu, ia juga mengingat Neneknya yang sudah lama tak ia kunjungi.
"Pasti Nenek sudah sangat rindu pada kami. Saat pulang nanti, aku harus mengajak ayah dan ibu untuk mengunjungi Nenek di kampung." Batin Nadia.
"Yah. Terkadang, walaupun orang tua sedang rindu, mereka memilih untuk membisu dan tak mengungkapkan kerinduannya. Bukannya mereka tidak berani. Tapi mereka tak ingin mengganggu."
Kupang, 23 Maret 2019
Harry Dethan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H