Nenek tersebut nampak tak bisa berbicara. Ia hanya bisa menunjuk dan memberikan isyarat. Di dalam rumah telah tersedia teh hangat dan lampion yang dinyalakan. Ternyata, dari tadi nenek tersebut sudah membuka pintu, namun kondisi pintu rumah yang sudah tua, membuat pintu tersebut sudah tidak bisa terbuka dengan baik. Nenek tersebut lalu memilih kembali masuk dan menyiapkan teh hangat, sebelum menyapa ketiga orang yang berteduh di depan rumahnya.
Melihat hal tersebut, rasa ketakutan yang sedari tadi dirasakan oleh Nadia, berubah menjadi rasa iba. Terang saja, nenek yang berada di hadapannya sudah terlihat sangat renta. Selain itu, rumahnya juga sudah tidak terawat. Mungkin saja karena nenek ini sudah tidak kuat lagi mengerjakan semuanya sendiri.
Nadia lalu bertanya-tanya dalam hati. Dimana anak-anaknya? Apakah ia memiliki keluarga? Mengapa mereka membiarkannya tinggal sendirian di tengah hutan?
Nenek tersebut sepertinya mengetahui apa yang dipikirkan Nadia. Ia lalu mengambil foto anak-anaknya dan ditunjukan pada Nadia. Ia ternyata memiliki dua orang anak laki-laki dan semuanya adalah sarjana. Nenek memberikan isyarat bahwa mereka sedang berada di tanah rantau dengan menunjuk ke salah satu foto.
Nadia lalu teringat pada neneknya yang sudah lama tidak ia kunjungi. Neneknya juga hanya tinggal sendirian. Mungkin inilah yang dirasakan oleh neneknya, ketika para anak dan cucu tidak pernah mengunjunginya. Nadia lalu menangis dengan terisak. Nenek yang tidak bisa bicara tersebut memeluknya dan menenangkannya.
***
"Nadia. Nadia. Hei!" Suara Remon membangunkan Nadia dari pingsan yang ia alami.
"Kita dimana?" tanya Nadia.
"Kita masih di rumah tempat kita berteduh. Kamu tadi menangis sampai pingsan. Kamu tidak apa-apa?" tanya Willy
"Ia aku tidak apa-apa. Tadi aku hanya ketakutan saja." Jawab Nadia. Ia lalu menyadari bahwa pertemuannya bersama nenek yang tidak bisa berbicara tersebut hanyalah mimpi.
"Hujan sudah berhenti. Ayo kita pergi." Kata Remon sambil bersama Willy membantu Nadia untuk berjalan.