Dalam melakukan pembinaan, pengawasan maupun penertiban pelanggaran perda/perkada, Satpol PP sering menghadapi argumen perlawanan terutama dari pedagang kaki lima (PKL).
Sudah menjadi tugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) untuk menegakan peraturan daerah/peraturan kepala daerah (Perda/Perkada), melaksanakan ketertiban dan ketenteraman masyarakat.
Guna menjalankan tugas tersebut Satpol PP diberikan kewenangan untuk menindak, melakukan penertiban terhadap pelanggaran perda/perkada yang dapat mengganggu ketertiban dan ketenteraman masyarakat.
PKL yang melanggar perda/perkada biasanya beralasan macam-macam demi menghindari penertiban atau penindakan. Berikut beberapa alasan PKL yang sering disampaikan ketika penertiban atau razia dilakukan:
1. Tidak tahu
PKL sering mengaku tidak tahu atau pura-pura tidak tahu aturan, bahwa mereka sudah melanggar. Padahal sudah sering dilakukan sosialisasi dan pembinaan bahkan penertiban. Bahkan di media sosial sering sekali penertiban dilakukan oleh Satpol PP kepada PKL yang menggunakan bahu jalan atau trotoar.
Alasan tidak tahu perda atau perkada juga tidak cukup kuat untuk menghindari penertiban karena ketika perda/perkada diundangkan maka semua orang/masyarakat dianggap tahu.
Kadang ditemukan PKL yang terkaget-kaget karena sudah bertahun-tahun jualan ga pernah dilarang, dan sekarang tiba-tiba dilarang.
Hal ini bisa terjadi karena daerah PKL ini berada baru dapat dijangkau oleh Satpol PP, atau dulu belum berdampak bagi ketertiban seperti sekarang.
2. PKL ikut arus
PKL yang menggunakan argumen ini biasanya menggunakan tetangganya sebagai tameng atas pelanggarannya. "Saya ikut sebelah pak, mereka maju ke trotoar saya juga", atau "Mereka berjualan di atas parit saya ikut aja".
Intinya mereka menganggap ini pelanggaran berjamaah dan mereka hanya makmum tetangga yang jadi imamnya.
Padahal kasus atau pelanggaran yang dilakukan tetangga bisa jadi beda karena ada banyak aturan yang harus diperhatikan.
Bisa jadi PKL disebelahnya melakukan pelanggaran yang lebih besar atau sebaliknya.
Sering anggota Satpol PP merasa diadu domba dengan tetangganya sendiri padahal mereka saling mengkhianati demi alasan pembenar pelanggaran yang dilakukan.
 3. Kalo tidak di sini dimana?
Pertanyaan seperti ini sangat sering dilontarkan kepada anggota Satpol PP, padahal bukan tugas Satpol PP untuk mencari tempat bagi PKL. Penertiban dilakukan karena PKL melakukan pelanggaran terhadap perda dan perkada, mengganggu ketertiban dan ketenteraman masyarakat.
Jawaban yang dapat diberikan Satpol PP adalah "Bapak dapat berjualan di tempat yang tidak dilarang". Bukan di atas trotoar, di atas parit, di bahu jalan atau tempat lain yang dilarang, berjualan ditempat yang dilarang harus ditertibkan.
 4. Bertameng pembesar
Sering juga PKL pelanggar menggunakan pejabat/aparat sebagai tameng. "Saya cuma bekerja pak, ini punya pejabat anu, atau aparat ini, bapak tahu, kok". Nanti kalo kita tanya kepada pejabat yang bersangkutan paling beliau tidak mengaku dan menyalahkan yang menjalankan kenapa melanggar.
Bisa jadi pejabat atau aparat yang punya usaha PKL (biasanya waralaba) juga tidak paham aturan atau sudah mengintruksikan sesuai aturan tapi tidak dilaksanakan oleh karyawannya di lapangan.
Langkah paling baik, ikuti aturan perda tanpa membuat pusing bos dan Satpol PP juga tidak harus melakukan tindakan yustisia yang merepotkan semua pihak.
4. Sudah bayar sewa tempat dengan preman, tukang parkir, pemilik rumah/toko atau oknum
Mirip dengan argumen Nomor 3, PKL kadang membayar kepada yang tidak berhak. Argumen "sudah membayar" ini bisa menyeret oknum yang menerima bayaran ke dalam masalah yang lebih besar di mata hukum.
Bagi aparatur/oknum ini bisa jadi pungli, bagi orang biasa pemungutan ini bisa jadi pemerasan atau penggelapan atau penipuan. Trotoar, bahu jalan yang ada di depan rumah adalah aset pemerintah yang dengan tujuan pemanfaatan yang jelas.
Bila ada pihak tertentu yang mengambil manfaat untuk keperluan lain adalah pelanggaran, lebih parah lagi pelanggaran itu dipungut biaya oleh beking, tentu saja kesalahan menjadi berlapis-lapis. Dan biasanya para pemungut itu menghilang ditelan bumi ketika diadakan penertiban atau razia.
5. Cinta Satu Hari
Pedagang yang membuka lapak dipinggir jalan, trotoar biasanya meminta waktu satu hari saja karena sudah terlanjur menggelar dagangannya di trotoar/bahu jalan.
Kadang Satpol PP hanya meminta memundurkan dagangannya, karena tidak sampai hati harus menutup lapak pedagang (terutama pedagang buah).
Namun cinta satu hari ini bisa jadi berhari hari bila Satpol PP tidak melakukan pengecekan atau penertiban kembali di tempat yang sama.
5 alasan di atas adalah yang paling sering kita temukan, tentu saja seni menjawabnya harus menyesuaikan keadaan di lapangan. Pendekatan humanis dan persuasif dengan kata yang ramah namun tegas tetap dijalankan.Â
Semoga berguna bagi masyarakat yang berniat membuka usaha kecil atau PKL agar tidak melakukan kesalahan yang sama, dan bagi anggota Pol PP yang melaksanakan tugas lapangan tulisan ini dapat menjadi tambahan argumentasi dalam penertiban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H