Mohon tunggu...
Harry Wijaya
Harry Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Asal Depok, Jawa Barat.

Deep thinker. Saya suka menulis esai, cerpen, puisi, dan novel. Bacaan kesukaan saya sejarah, filsafat, juga novel.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Saya Bukan Komunis!

2 Januari 2020   04:04 Diperbarui: 3 Januari 2020   01:36 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pak, kemarin itu saya memang tanda tangan di berkas mereka. Saya hanya ingin berlangganan beras dengan mereka, mereka menjual beras dengan harga murah pak. Mereka juga menawarkan kerja sama, mereka mau memasarkan ikan hasil tangkapan saya dengan sistem bagi hasil. Hanya itu saja pak!" Ucap Bapakku menjelaskan.

"Kamu tahu? Mereka itu pengkhianat negara! Mereka anti-agama! Mereka itu aliran sesat! Kamu salah satu dari mereka. Negara tak memberi ampun kepada siapapun yang terlibat dengan PKI itu!" Bentak Setan Ireng.

"Pak, maklumi saya pak! Saya cuma rakyat kelas bawah, hidup saya susah jadi saya terima tawaran mereka pak! Bukan berarti saya bergabung dengan mereka. Saya bodoh, saya tak pernah sekolah pak. Jadi saya tidak mengerti." Jawab Bapakku sambil memohon.

"Komunis Anjing! Bawa dia!" Ujarnya, kemudian Setan Ireng lainnya datang dan menyeret Bapakku ikut bersama mereka.

"Pak! Pak! Saya mau dibawa kemana pak?! Siapa itu Komunis pak? Saya tidak paham! Pak saya tidak kenal PKI, tolong lepaskan saya pak!" Ucap Bapakku memohon kepada mereka sambil menahan diri agar tidak dibawa, akan tetapi tenaga Setan Ireng jauh lebih kuat. Bapak tak kuasa melawan mereka. Para warga yang hendak menolong Bapak pun di ancam dengan senjata hingga tak berkutik.

Bapak dimasukkan ke dalam sebuah truk. Aku berjalan keluar rumah, para warga berjalan menuju truk itu melihat Bapakku. Saat truk itu jalan, aku melihat Bapakku tidak sendiri. Ada banyak orang yang ditangkap selain Bapakku.

Aku tak terima keluargaku satu-satunya diambil. Dengan segera ku naiki sepeda milik Bapakku dan aku kejar truk itu. Kemanapun perginya aku akan terus mengikuti truk itu. Aku sampai di belakang truk, aku terus mengikutinya dari belakang dengan sepeda. Setan Ireng melihatku dari dalam bak truk, tapi mereka membiarkanku.

Sampai akhirnya truk berhenti di sebuah pantai yang tak ku kenal. Setelah setengah jam lebih mengayuh sepeda, kakiku lemas. Hampir aku terjatuh, tapi aku bertahan dan sembunyi di balik batu besar sambil melihat satu-persatu orang-orang yang mereka tangkap itu diturunkan dari truk termasuk Bapakku. Di bibir pantai, sebuah kapal motor telah menunggu mereka. Mereka dipaksa naik ke perahu itu bersama beberapa Setan Ireng. Terlihat bagaimana perahu itu penuh, padat, sesak diisi banyak orang termasuk Setan Ireng yang berjaga dengan senjata mereka. Tak lama kemudian, perahu jalan menuju ke tengah lautan membawa Bapakku di dalamnya.

Aku menatap perahu itu pergi hingga hilang ditelan cakrawala. Di pinggir pantai, beberapa Setan Ireng tengah bersantai di dekat truk sambil menunggu perahu itu kembali. Termasuk juga aku yang menunggu perahu itu kembali. Dari kejauhan, aku melihat seorang pemuda yang juga bersembunyi dari balik semak-semak. Rupanya aku tak sendiri.

Angin pantai yang sepoi-sepoi hampir membuatku terlelap saat aku berbaring di atas pasir yang lembut. Suara deburan ombak serasa menenangkanku. Tapi aku segera kembali bersiaga saat aku mendengar suara mesin perahu yang mendekat dari tengah lautan. Aku kembali mengintip, dan ya! Perahu itu kembali, jantungku berdebar-debar. Perasaanku tidak enak, dan tampaknya perasaanku memang menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Kulihat perahu mesin itu telah kosong, hanya terlihat beberapa Setan Ireng yang sejak tadi memang ada di perahu itu. Kemana orang-orang yang tadi begitu padat dan sesak itu? Kemana pula Bapakku? Kenapa perahu itu kembali dengan keadaan kosong melompong? Begitu lega. Aku menoleh ke arah orang yang sejak tadi diam-diam menyaksikan ini sama sepertiku, dia menangis dan tampak frustasi.

Aku terdiam sejenak, perlahan aku menatap pantai. Menatap lautan luas itu, tanpa peduli Setan Ireng dan truknya. Kurasakan khidmatnya suara deburan ombak dan angin yang begitu sejuk. Dan sejak saat itulah, aku tak pernah melihat Bapakku lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun