Mohon tunggu...
Harry Wijaya
Harry Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Asal Depok, Jawa Barat.

Deep thinker. Saya suka menulis esai, cerpen, puisi, dan novel. Bacaan kesukaan saya sejarah, filsafat, juga novel.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Saya Bukan Komunis!

2 Januari 2020   04:04 Diperbarui: 3 Januari 2020   01:36 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

- Semua kisah ini adalah FIKSI dengan mengambil latar belakang sejarah. Tak bermaksud menyinggung pihak manapun -

Pagi ini seperti biasa aku dan bapakku sarapan dengan lauk seadanya. Hari ini bapakku tidak melaut seperti nelayan-nelayan lainnya, ia bilang khusus hari ini ingin istirahat. Sehingga bapak akan seharian bersamaku. Rumah kami sangat kecil, dan hanya cukup untuk kami berdua. Dengan dinding kayu dan beratapkan besi-besi yang tipis, yang sangat rawan saat angin kencang dari laut datang atau saat hujan lebat melanda. Rumah-rumah di pedesaanku juga tak jauh berbeda, semua rumahnya persis seperti rumahku.

Ayahku bilang biarpun kita hidup dengan pas-pasan masyarakat desa ini dibantu oleh laut yang selalu memberi rezeki. Ya, laut selalu memberi rezeki walau pada awalnya bapakku sempat dikejar penagih hutang karena lambat membayar cicilan perahu. Di belakang desa kami, rezeki itu terlihat begitu indah. Pasirnya yang lembut, mataharinya yang hangat dan dari sini aku melihat hamparan lautan biru yang luas. Terkadang aku menghabiskan waktuku dengan  memandangi laut sambil memakan rambutan, ketika itu bapak selalu ada disampingku. Ya, dia selalu ada di sampingku hingga suatu siang yang kelam ini datang.

Setelah sarapan, aku duduk di bangku kayu sembari melanjutkan pelajaran membacaku yang sedang kupelajari di sekolah. Sedangkan bapakku sedang menjemur jala ikan di belakang rumah. Beberapa orang yang lewat menyapaku dan aku membalas sapaan hangat mereka.

Setelah satu jam belajar, aku hendak masuk ke kamar menyimpan buku. Tapi aku terhenti saat mendengar suara bising yang terdengar berjarak beberapa rumah dari rumahku. Suara itu suara sebuah truk besar, semua warga kaget karena jalan kampung kami tak pernah kedatangan kendaraan apapun. Semua orang keluar rumah dan langsung menatap ke arah sumber suara itu termasuk aku. Turunlah beberapa orang berbadan besar dengan memakai pakaian serba hitam dan membawa senjata laras panjang, berjalan dengan gagah dan tampak mengarah ke arah rumahku. Aku ketakutan dan langsung masuk rumah kemudian sembunyi. Sambil mengintip dari celah dinding, aku melihat orang-orang itu sudah berdiri di depan rumahku.

"Hartono!" Teriak seorang tak dikenal itu. Yang kemudian aku panggil Setan Ireng.

  Tak lama bapakku berjalan dari belakang dapur dengan wajah bingung kemudian melihat aku yang sedang sembunyi.

"Kenapa gas?" Tanya bapak kepadaku, namun aku hanya menggeleng karena tak tahu. Kemudian ia memakai baju dan berjalan keluar. Diluar sudah banyak warga yang berkerumun termasuk juga kepala desa. Bapak semakin bingung dibuatnya.

"Ada apa ini pak?" Tanya Bapak kepada para Setan Ireng.

"Anda PKI?" Tanya balik salah satu Setan Ireng yang tampaknya seorang ketua.

"PKI? Apa itu pak?" Tanya balik Bapakku.

Setan Ireng mengeluarkan sebuah kertas dari saku celananya. Setelah kertas itu dibuka, ia menunjukkannya ke Bapakku. Kertas itu bergambar logo palu arit.

"Ingat lambang ini?" Tanya Setan Ireng.

"Oh, mereka yang minggu kemarin sempat datang kesini pak. Orang-orangnya memang memakai lambang itu di seragamnya." Jawab Bapak.

Setan Ireng mendekat ke arah Bapak dan kembali bertanya. "Sekarang saya tanya sekali lagi. Anda PKI?"

Bapakku yang bahkan tak tahu apa itu PKI pun kebingungan, dan dengan polos menjawab. "Bukan pak!"

"Anda PKI?" Tanya Setan Ireng untuk yang kedua kalinya.

"Bukan pak!" Jawab Bapak.

"Anda PKI?!" Tanya lagi.

"Bukan!"

Saat menjawab untuk yang ketiga kalinya itu Setan Ireng langsung menampar wajah Bapak dengan keras dan disaksikan oleh warga kampung lainnya.

"Kamu sudah bergabung dengan mereka! kamu bagian dari mereka kan?!" Tanya Setan Ireng sambil membentak. Bapakku sambil memegang wajahnya yang ditampar pun perlahan menatap mata Setan Ireng.

"Pak, kemarin itu saya memang tanda tangan di berkas mereka. Saya hanya ingin berlangganan beras dengan mereka, mereka menjual beras dengan harga murah pak. Mereka juga menawarkan kerja sama, mereka mau memasarkan ikan hasil tangkapan saya dengan sistem bagi hasil. Hanya itu saja pak!" Ucap Bapakku menjelaskan.

"Kamu tahu? Mereka itu pengkhianat negara! Mereka anti-agama! Mereka itu aliran sesat! Kamu salah satu dari mereka. Negara tak memberi ampun kepada siapapun yang terlibat dengan PKI itu!" Bentak Setan Ireng.

"Pak, maklumi saya pak! Saya cuma rakyat kelas bawah, hidup saya susah jadi saya terima tawaran mereka pak! Bukan berarti saya bergabung dengan mereka. Saya bodoh, saya tak pernah sekolah pak. Jadi saya tidak mengerti." Jawab Bapakku sambil memohon.

"Komunis Anjing! Bawa dia!" Ujarnya, kemudian Setan Ireng lainnya datang dan menyeret Bapakku ikut bersama mereka.

"Pak! Pak! Saya mau dibawa kemana pak?! Siapa itu Komunis pak? Saya tidak paham! Pak saya tidak kenal PKI, tolong lepaskan saya pak!" Ucap Bapakku memohon kepada mereka sambil menahan diri agar tidak dibawa, akan tetapi tenaga Setan Ireng jauh lebih kuat. Bapak tak kuasa melawan mereka. Para warga yang hendak menolong Bapak pun di ancam dengan senjata hingga tak berkutik.

Bapak dimasukkan ke dalam sebuah truk. Aku berjalan keluar rumah, para warga berjalan menuju truk itu melihat Bapakku. Saat truk itu jalan, aku melihat Bapakku tidak sendiri. Ada banyak orang yang ditangkap selain Bapakku.

Aku tak terima keluargaku satu-satunya diambil. Dengan segera ku naiki sepeda milik Bapakku dan aku kejar truk itu. Kemanapun perginya aku akan terus mengikuti truk itu. Aku sampai di belakang truk, aku terus mengikutinya dari belakang dengan sepeda. Setan Ireng melihatku dari dalam bak truk, tapi mereka membiarkanku.

Sampai akhirnya truk berhenti di sebuah pantai yang tak ku kenal. Setelah setengah jam lebih mengayuh sepeda, kakiku lemas. Hampir aku terjatuh, tapi aku bertahan dan sembunyi di balik batu besar sambil melihat satu-persatu orang-orang yang mereka tangkap itu diturunkan dari truk termasuk Bapakku. Di bibir pantai, sebuah kapal motor telah menunggu mereka. Mereka dipaksa naik ke perahu itu bersama beberapa Setan Ireng. Terlihat bagaimana perahu itu penuh, padat, sesak diisi banyak orang termasuk Setan Ireng yang berjaga dengan senjata mereka. Tak lama kemudian, perahu jalan menuju ke tengah lautan membawa Bapakku di dalamnya.

Aku menatap perahu itu pergi hingga hilang ditelan cakrawala. Di pinggir pantai, beberapa Setan Ireng tengah bersantai di dekat truk sambil menunggu perahu itu kembali. Termasuk juga aku yang menunggu perahu itu kembali. Dari kejauhan, aku melihat seorang pemuda yang juga bersembunyi dari balik semak-semak. Rupanya aku tak sendiri.

Angin pantai yang sepoi-sepoi hampir membuatku terlelap saat aku berbaring di atas pasir yang lembut. Suara deburan ombak serasa menenangkanku. Tapi aku segera kembali bersiaga saat aku mendengar suara mesin perahu yang mendekat dari tengah lautan. Aku kembali mengintip, dan ya! Perahu itu kembali, jantungku berdebar-debar. Perasaanku tidak enak, dan tampaknya perasaanku memang menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Kulihat perahu mesin itu telah kosong, hanya terlihat beberapa Setan Ireng yang sejak tadi memang ada di perahu itu. Kemana orang-orang yang tadi begitu padat dan sesak itu? Kemana pula Bapakku? Kenapa perahu itu kembali dengan keadaan kosong melompong? Begitu lega. Aku menoleh ke arah orang yang sejak tadi diam-diam menyaksikan ini sama sepertiku, dia menangis dan tampak frustasi.

Aku terdiam sejenak, perlahan aku menatap pantai. Menatap lautan luas itu, tanpa peduli Setan Ireng dan truknya. Kurasakan khidmatnya suara deburan ombak dan angin yang begitu sejuk. Dan sejak saat itulah, aku tak pernah melihat Bapakku lagi.

Cerpen karya Harry Wijaya

Depok, 31 Desember 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun