Respon Pemerintah Kolonial dengan berkembangnya Ulama BetawiÂ
Gubernur Letnan Hindia Belanda asal Inggris, Sir Thomas Stamford Raffles (1781-1826), memuji ulama Betawi, karena dinilai gigih menyebarkan tradisi dan kearifan lokal yang bersumber dari nilai agama.Â
Dalam pidatonya pada peringatan ulang tahun lembaga kesenian Bataviasch Genootschap, Raffles meminta para bawahannya belajar pada keberhasilan para ulama dalam menyebarkan Islam. Terutama cara pendekatan mereka dalam mengajarkan Al-Quran yang kala itu menjadi bacaan dan pelajaran di kampung Betawi.
Namun pemerintah kolonial maupun itu Portugis, Inggris, dan Belanda tidak ingin Islam berkembang pesat didaerah jajahannya dan khawatir terhadap perkembangan Islam hingga ia meminta organisasi Nasrani mencari jalan keluar mengimbangi dakwah para mubaligh. Jika kesuksesan para mubaligh itu dibiarkan, dapat menimbulkan hal-hal yang berbahaya bagi kelangsungan penjajahan.
Kekhawatiran yang paling utama adalah nilai agama yang ditanamkan ini menjadi kekuatan politik. Hal ini nantinya bisa mengancam otoritas kompeni dalam menjajah Nusantara. Sekalipun tidak sekeras Portugis, Belanda jmenunjukkan kebencian terhadap Islam, termasuk terhadap para mubaligh dan kiai yang dihormati pada masa itu.
Pada tahun 1925, pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang membatasi ruang gerak kegiatan dakwah dan pendidikan. Di antaranya, tidak semua orang dapat memberikan pelajaran agama atau mengaji. Kebijakan ini, dihiraukan oleh para ulama Betawi, lantaran sejak lahirnya Jamiat Kheir pada 1905 banyak lembaga pendidikan Islam bermunculan.
Sebenarnya pemerintah Belanda sudah mengeluarkan peraturan yang membatasi ruang gerak para ulama terutama bagi mereka yang pernah melaksanakan ibadah haji dengan mengeluarkan Ordonansi Haji tahun 1825, berisi pembatasan dan pengetatan jumlah haji yang berangkat. Salah satu cara untuk merealisasikannya adalah menaikkan biaya haji.Â
Lalu yang paling menonjol dari ordonansi baru ini adalah pemberlakuan semacam "ujian haji" bagi mereka yang baru pulang dari Tanah suci. Mereka harus membuktikan benar-benar telah mengunjungi Mekkah. Jika seseorang sudah dianggap lulus ujian ini, ia berhak menyandang gelar haji dan diwajibkan mengenakan pakaian khusus haji (jubah, serban putih, atau kopiah putih).Â
Latar belakang adanya peraturan ini karena pemerintah Hindia merasa khawatir dengan para haji yang sudah pulang menyelesaikan ibadah di mekah sangat dihormati oleh para pribumi dan sangat mudah menggerakkan massa untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial.
Daftar Pustaka:
- Ahmad, Z. (2015). KH Abdullah Syafi'ie: Ulama Produk Lokal Asli Betawi dengan Kiprah Nasional dan Internasional. Buletin Al-Turas, 21(2), 315-342.
- Derani, S. (2013). Ulama Betawi Perspektif Sejarah. Buletin Al-Turas, 19(2), 217-240.
- Erwantoro, H. (2014). Etnis Betawi: Kajian Historis. Patanjala, 6(1), 1-16.
- Jufri, A. (2009). Migrasi orang Arab Hadramaut ke Batavia akhir abad XVIII awal abad XIX. Skripsi: Fakultas Adab dan Humaniora. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
- Rahmah, N. (2018). Khazanah Intelektual Ulama Betawi Abad ke-19 dan ke-20 M. Jurnal Lektur Keagamaan, 16(2), 195-226.