Mohon tunggu...
Harrist Riansyah
Harrist Riansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lulusan Jurusan Ilmu Sejarah yang memiliki minat terhadap isu sosial, ekonomi, dan politik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Jaringan Ulama Betawi: Penyebaran Agama Islam hingga Respon Pemerintah Kolonial

10 Oktober 2022   11:00 Diperbarui: 10 Oktober 2022   11:13 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah merupakan pengetahuan umum bahwa etnis Betawi adalah penduduk asli kota Jakarta (dulu bernama Batavia). Tetapi berbeda dengan kota-kota lain di Indonesia yang mana penduduk asli lebih banyak daripada pendatang, etnis Betawi justru tidak mendominasi dalam berbagai bidang di Jakarta seperti dalam jumlah ataupun peran. 

Etnis Betawi pada zaman sekarang lebih banyak tinggal dipinggir Jakarta atau daerah sekitar Jakarta seperti Bekasi, Tangerang, Depok, Karawang. Hal ini yang membuat dikemudian hari memunculkan istilah Betawi Udik, Betawi Pinggir, dan Betawi Tengah.

Sedangkan menurut Shahab, etnis Betawi diperkirakan baru terbentuk pada abad ke-19 (1815-1893). Anggapan ini berdasarkan kepada studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dilakukan oleh Lance Castle. 

Dalam studi itu data sensus penduduk yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda tidak memunculkan nama etnis Betawi hingga tahun 1815. Baru pada 1930 etnis Betawi tercantum dalam sensus penduduk dengan jumlah 778.953 penduduk dan menjadi mayoritas di Batavia kala itu.

Etnis Betawi juga tidak bisa dipisahkan dengan Ulama dan Islam. Islam dan Ulama bagi masyarakat Betawi ibarat sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Ulama memiliki kedudukan penting dan terhormat bagi orang Betawi, bahkan kadang peng-hormatan terhadap ulama apalagi para ulama dari kalangan habaib, cenderung berlebihan. 

Sementara itu, Islam adalah agama yang melekat bagi orang Betawi, meskipun ada juga minoritas orang Betawi yang beragama non-Islam. Kelekatan masyarakat Betawi dengan Islam sangat dipengaruhi oleh peran para ulama dalam membawa dan menyiarkan ajaran Islam di Batavia.    

Proses penyebaran Ajaran Islam di kalangan Etnis Betawi di Batavia 

Penyebaran Islam di kalangan Etnis Betawi para sejarawan memiliki beberapa perbedaan. Seperti Ridwan Saidi mengatakan bahwa Islam datang pertama kali ke Betawi pada awal abad ke-15 dengan berdirinya pesantren Qura di Tanjung Pura, Karawang yang didirikan oleh Syeikh Hasanuddin dari Champa tahun 1491 atau tahun ke-6 kekuasaan prabu Siliwangi.[1] Hal ini terjadi didukung dengan adanya kekacauan di Kerajaan Champa dan dan   kaum muslim dipimpin Syeikh Hasanuddin hijrah ke Jawa. 

Pendapat ini diperkuat juga dengan adanya jalinan   kerja   sama   antara   kerajaan   Champa dengan kerajaan Jawa Majapahit, yang semakin meningkat pada pada ke-14 M dan disebut-sebut dalam Babad Majapahit (Jawa) mulai adanya Islam di wilayah Jawa Timur itu. 

Pada masa ini telah terjadi di antara kedua kerajaan hubungan diplomatik   dan perdagangan, lalu Raja Che Nang memilih Jawa sebagai tempat suaka politik dari tekanan Vietnam terhadap pusat ibu kota Champa.

Sedangkan Abdul Aziz menyebutkan Islam datang ke Betawi pada masa pasca penaklukkan Sunda Kelapa oleh Fatahilla pada tahun 1527. Hal ini berawal dari kerja sama Kerajaan Hindhu-Budha Pajajaran dengan Kerajaan Katholik Portugis berpusat di Malaka, ditandatangani 21 Agustus 1522 oleh Henrique Leme, wakil Portugis di Dunia Timur utusan Gubernur Malaka Jorge d'Alburqueque dengan Raja Pajajaran, Ratu Prabu Siam.

 Selain itu penyebaran islam ini juga di pengaruhi oleh datangnya para pendatang dari Timur Tengah seperti Hadramaut yang memiliki berbagai tujuan seperti untuk berdagang, berdakwah, mengungsi dikarenakan daerah asal terjadi konflik.

 

Jaringan Ulama di Kalangan Etnis Betawi 

Zamakhsyari Dhofier mengklasifikasikan ulama dalam masyarakat Betawi dalam empat kategori. Pertama, Ulama kelas satu, yakni ulama yang ditunjuk majelis taklim yang berlokasi di Jakarta.  

Biasanya para ulama ini sudah dikenal di Jakarta. Kebanyakan adalah ulama-ulama muda lulusan dari universitas di timur tengah. Kedua, adalah ulama kelas dua, yaitu ulama yang dikenal pada tingkat kecamatan. Ketiga, ulama kelas tiga, yakni ulama yang populer di tingkat kelurahan. Keempat, biasanya para guru agama di madrasah.

Sedangkan Rakhmat Zailani Kiki, dkk. membagi ulama menjadi tiga katagori. Pertama, Guru, yaitu orang yang menguasai berbagai macam ilmu agama serta memiliki otoritas dalam mengeluarkan fakta atas segala persoalan.  

Misalnya Guru Mansur, Guru Mujtaba', Guru Madjid, dan Guru Mughni. Kedua, Muallim, yakni orang yang menguasai ilmu agama namun belum memiliki otoritas untuk mengeluarkan fatwa, seperti Muallim Syafi`i Hadzami, Muallim Abdullah Syafi`i, dan Muallim Tohir Rohili. Ketiga, Ustaz, yaitu orang yang memiliki pengetahuan agama yang cukup dan sering menjadi pemimpin pada upacara-upacara keagamaan, seperti imam salat atau pemimpin tahlil. 

Selain mengkategorikan Ulama, Etnis Betawi memiliki struktur masyakat kelas. Pertama kelas guru ngaji, kelas ini masih dibagi menjadi dua, yakni guru yang mengajar teks-teks Al-Qur'an dan guru yang mengajar teks-teks Al-Qur'an dan kitab kuning. 

Kedua, para haji, kelas ini mendapat perlakuan istimewa di masyarakat. Seperti di masjid-masjid yang dikelola oleh masyarakat Betawi, para haji selalu mewarnai saf-saf paling depan dengan kostum yang khas putih-putih dengan sorban di atas kepala. Ketiga, orang Arab keturunan Nabi yang disebut Sayyid atau Habib.  

Para habib ini sangat dihormati bukan hanya karena dipandang sebagai keturunan nabi yang meraka anggap selayaknya menerima penghormatan, melainkan karena jasa mereka yang turut menyebarkan Islam di tanah Betawi dan posisinya sebagai sumber kader ulama.

Respon Pemerintah Kolonial dengan berkembangnya Ulama Betawi 

Sir Thomas Stanford Raffles. Sumber: The New York Public Library Digital Collections
Sir Thomas Stanford Raffles. Sumber: The New York Public Library Digital Collections

Gubernur Letnan Hindia Belanda asal Inggris, Sir Thomas Stamford Raffles (1781-1826), memuji ulama Betawi, karena dinilai gigih menyebarkan tradisi dan kearifan lokal yang bersumber dari nilai agama. 

Dalam pidatonya pada peringatan ulang tahun lembaga kesenian Bataviasch Genootschap, Raffles meminta para bawahannya belajar pada keberhasilan para ulama dalam menyebarkan Islam. Terutama cara pendekatan mereka dalam mengajarkan Al-Quran yang kala itu menjadi bacaan dan pelajaran di kampung Betawi.

Namun pemerintah kolonial maupun itu Portugis, Inggris, dan Belanda tidak ingin Islam berkembang pesat didaerah jajahannya dan khawatir terhadap perkembangan Islam hingga ia meminta organisasi Nasrani mencari jalan keluar mengimbangi dakwah para mubaligh. Jika kesuksesan para mubaligh itu dibiarkan, dapat menimbulkan hal-hal yang berbahaya bagi kelangsungan penjajahan.

Kekhawatiran yang paling utama adalah nilai agama yang ditanamkan ini menjadi kekuatan politik. Hal ini nantinya bisa mengancam otoritas kompeni dalam menjajah Nusantara. Sekalipun tidak sekeras Portugis, Belanda jmenunjukkan kebencian terhadap Islam, termasuk terhadap para mubaligh dan kiai yang dihormati pada masa itu.

Pada tahun 1925, pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang membatasi ruang gerak kegiatan dakwah dan pendidikan. Di antaranya, tidak semua orang dapat memberikan pelajaran agama atau mengaji. Kebijakan ini, dihiraukan oleh para ulama Betawi, lantaran sejak lahirnya Jamiat Kheir pada 1905 banyak lembaga pendidikan Islam bermunculan.

Sebenarnya pemerintah Belanda sudah mengeluarkan peraturan yang membatasi ruang gerak para ulama terutama bagi mereka yang pernah melaksanakan ibadah haji dengan mengeluarkan Ordonansi Haji tahun 1825, berisi pembatasan dan pengetatan jumlah haji yang berangkat. Salah satu cara untuk merealisasikannya adalah menaikkan biaya haji. 

Lalu yang paling menonjol dari ordonansi baru ini adalah pemberlakuan semacam "ujian haji" bagi mereka yang baru pulang dari Tanah suci. Mereka harus membuktikan benar-benar telah mengunjungi Mekkah. Jika seseorang sudah dianggap lulus ujian ini, ia berhak menyandang gelar haji dan diwajibkan mengenakan pakaian khusus haji (jubah, serban putih, atau kopiah putih). 

Latar belakang adanya peraturan ini karena pemerintah Hindia merasa khawatir dengan para haji yang sudah pulang menyelesaikan ibadah di mekah sangat dihormati oleh para pribumi dan sangat mudah menggerakkan massa untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial.

Daftar Pustaka:

  • Ahmad, Z. (2015). KH Abdullah Syafi'ie: Ulama Produk Lokal Asli Betawi dengan Kiprah Nasional dan Internasional. Buletin Al-Turas, 21(2), 315-342.
  • Derani, S. (2013). Ulama Betawi Perspektif Sejarah. Buletin Al-Turas, 19(2), 217-240.
  • Erwantoro, H. (2014). Etnis Betawi: Kajian Historis. Patanjala, 6(1), 1-16.
  • Jufri, A. (2009). Migrasi orang Arab Hadramaut ke Batavia akhir abad XVIII awal abad XIX. Skripsi: Fakultas Adab dan Humaniora. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
  • Rahmah, N. (2018). Khazanah Intelektual Ulama Betawi Abad ke-19 dan ke-20 M. Jurnal Lektur Keagamaan, 16(2), 195-226.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun