Mohon tunggu...
Harrist Riansyah
Harrist Riansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lulusan Jurusan Ilmu Sejarah yang memiliki minat terhadap isu sosial, ekonomi, dan politik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kondisi Sosial Politik Kesultanan Aceh Pada Abad XVI

25 September 2022   11:10 Diperbarui: 25 September 2022   11:10 4264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wilayah kesultanan Aceh pada masa keemasan. Sumber: Wikimedia Commons.

Aceh merupakan salah satu wilayah Indonesia yang memiliki sejarah panjang pada masyarakatnya. Hal ini bisa terlihat dari kerajaan-kerajaan atau kesultanan-kesultanan yang pernah berdiri disana dan mampu bertahan beratus-ratus tahun dan mampu bersaing dengan berbagai kerajaan disekitarnya dan juga bangsa-bangsa barat yang datang untuk mencari rempah-rempah dan memonopoli perdagangan di Kawasan Asia Tenggara terutama di Selat Malaka.

Selat Malaka merupakan jalur pelayaran sekaligus jalur perdagangan yang digunakan oleh para pedagang dari daerah barat (Arab,Afrika, Persia, dan Bengal) dan juga dari Timur (Cina dan Jepang). 

Para pedagang ini datang menggunakan kapal-kapal layar yang kemudian berkembang menjadi kapal uap ketika bangsa barat sudah mulai menguasai atau membuat koloni-koloni di Asia.

Dengan adanya pelayaran melalui Selat Malaka dan juga munculnya pelabuhan-pelabuhan transito yang diikuti juga dengan adanya kota-kota pesisir pantai sumatera memunculkan perdagangan dan interaksi antara para pribumi dengan para pendatang yang beberapa dari mereka juga merupakan pedagang. 

Munculnya berbagai macam perdagangan ini membuat daerah-daerah yang berada di sekitar Selat Malaka mengalami perkembangan seperti memunculkan kerajaan/ kesultanan di Nusantara khususnya di pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya. 

Kesultanan seperti Malaka, Pasai, Kampat Siak, Riau-Linggau mendapatkan banyak pendapatan dari adanya perdagangan di Selat Malaka.

Pada awalnya Kesultanan Malaka yang memiliki peran dan kekuatan paling besar di wilayah Selat Malaka. Namun sejak kedatangan Portugis hingga pada akhirnya bangsa Portugis mengambil alih kota Malaka pada tahun 1511 dibawah pimpinan Alfonso de Albuquerque. 

Penalukkan ini menyebabkan terjadinya pergeseran pada para pedagang, khususnya pedagang muslim yang biasanya transit atau berdagang di kota Malaka mulai beralih ke Aceh yang kemudian menjadi pelabuhan ekspor-impor utama pengganti Malaka di kawasan Selat Malaka. Dan juga pusat perkembangan budaya Melayu pun mengalami perpindahan yang semula di kota Malaka bergeser ke Johor dan Aceh.

Pergesaran para pedangang ini membuat kerajaan Aceh mendapat kesempatan untuk mendapat keuntungan secara ekonomi ataupun militer. 

Hal itu juga menjadi alasan dibuatnya penelitian ini untuk mencari tau keuntungan apa saja yang didapatkan kerajaan Aceh dari keuntungan dari semakin banyaknya para pedagang yang singgah di Aceh.

Kondisi Sosial Politik Kesultanan Aceh pada Abad ke-16

Pada mulanya Aceh masih merupakan kerajaan taklukkan dari Kerajaan Pidie, akan tetapi berkat Sultan Mughyat Syah, Aceh mampu melepaskan diri dari Pidie dan mendirikan kerajaannya sendiri. Setelahnya kerajaan Aceh sangat terpengaruh dengan ditaklulkkannya Malaka oleh bangsa Portugis.

Kesultanan Aceh pada awal abad ke-16 mulai mengalami kemajuan yang signifikan. Kemajuan kesultanan Aceh sendiri terlihat dari meluasnya daerah kekuasaannya dibawah kepemimpinan Ali Mughyat Syah yang berkuasa dari tahun 1515–1530. 

Pada masa ini Aceh mampu mendapatkan kerjaaan-kerajaan pelabuhan yang berada di pesisir seperti Daya (1520), Pidie (1521), dan Samudera Pasai (1524). 

Hal ini dilakukan Aceh dikarenakan daerah kekuasaanya pada awalnya terletak di pedalaman tepatnya di sekitar Sungai Aceh. 

Dengan menguasai daerah pesisir diharapkan kerajaan Aceh mendapatkan keuntungan ekonomis dan politik di kawasan Sumatera dan Semanjung Malaya. Meski khusus untuk Pidie ada alasan agama karena Pidie bersahabat dengan Portugis yang tidak beragama Islam.

Pada tahun 1529 Kesultanan Aceh juga sempat merencanakan serangan kepada Portugis di Malaka, namun urung terjadi karena pemimpin mereka Ali Mughyat Syah wafat pada 1530. Takluknya kota Malaka dari Portugis selain membawa keuntungan ekonomi bagi Aceh juga mendapatkan pengaruh politk yang kuat terutama terhadap sesama negara Melayu karena menurunnya kekuasaan kerajaan Malaka secara tidak langsung pusat kebudayaan Melayu pindah ke Aceh yang mampu mengembangkan budaya Melayu selama 150 tahun setelahnya.

Pada abad ini Aceh memiliki hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah seperti, Turki, Abysinia, dan Mesir. Adanya hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan di Timur Tengah Aceh mendapatkan dukungan militer guna memerangi Portugis di Malaka. 

Hal ini terlihat Ketika Aceh pada akhirnya berperang dengan Portugis pada tahun 1537, 1547, dan 1568 dalam ketiga perang tersebut selain ada tentara yang berasal dari kesultanan Aceh ada juga pasukan Turki dan juga dibantu dengan peralatan perang yang berupa meriam-meriam berukuran kecil dan besar. 

Selain itu berperang melawan Portugis adanya keuntungan militer ini juga dimanfaatkan Aceh pada abad ini untuk memperluas wilayahnya dengan mengadakan penyerangan ke Aru pada tahun 1564 dan Perak pada tahun 1575.

Sementara itu hubungan politik Aceh dengan daerah di Sumatera lain khususnya daerah pesisir barat dibangun Ketika Sultan Alauddin Riayat Syah berhasil menguasai daerah Barus yang dipimpin oleh suami dari saudara perempuannya. 

Atas keberhasilan penalukkan tersebut ia (suami adik perempuannya) diangkat menjadi Sultan Barus yang diikuti pengangkatan dua putra Sultan Alauddin Riayat Syah menjadi Sultan Aru (Sultan Ghori) dan Sultan Pariaman (Sultan Mughal).

Jumlah Penduduk Aceh pada abad ini sekitar 70.000 orang berada di kotanya dan 7.500 diantaranya merupakan orang asing. Orang-orang asing sendiri tinggal di berbagai kawasan di kota. 

Ada satu kawasan yang dihuni 3.500 saudagar Pasai, ada juga desa yang dihuni 3.000 orang saudagar asing yang ditempat tinggal mereka ada Gudang untuk menyimpan barang dagangan. Keberagaman yang terdapat di kota ini tidak terlepas dari keberhasilan Aceh yang mampu menyerap tradisi dari negeri-negeri yang ditaklukkan.

Kehidupan para bangsawan pribumi di Aceh kerap membedakan diri dengan orang awam seperti membiarkan kuku ibu jari dan kelingking tumbuh Panjang, sebagai bentuk ungkapan kepada orang lain bahwa mereka tidak pernah melakukan kerja-tangan. 

Sedangkan rumah para bangsawan dan Raja pun sedikit berbeda dengan rumah rakyat biasa. Perbedaannya terdapat pada bangunannya yang lebih besar, tinggi, dan Istimewa meski bahan-bahan yang digunakan untuk membangun rumah sama.

Daftar Pustaka:

Andaya, L. Y. (2019). Selat Malaka, Sejarah Perdagangan dan Etnisitas. Depok: Komunitas Bambu.

Bustamam-Ahmad, K. (2016). Relasi Islam dan Politik dalam Sejarah Politik Aceh Abad 16–17. Al-Tahrir, 16(2).

Poesponegoro, M. D. (1984). Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka.

Reid, A. (2011). Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450–1680 Jilid 2: Jaringan Perdagangan Global. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

— — — —, (2014). Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450–1680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Subhan, M. (2010). Aceh dan Pembangunan Kepelabuhanan: perbandingan aspek sejarah dan kontemporari. Aceh Development International Conference (ADIC) (pp. 1–16). Kedah Darul Aman: Universiti Utara Malaysia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun