Mohon tunggu...
haris eri
haris eri Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mimpi

18 Mei 2016   20:34 Diperbarui: 18 Mei 2016   20:45 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam sangat dingin dengan awan yang menutupi sebagian besar langit. Tidak ada satu bintang pun yang terlihat. Hanya tetesan air yang jatuh bergantianlangit. Langit pun menembakkan cahaya berbentuk retakan di ujung selatan dan disusul suara guntur yang menggetarkan kaca.

"Tidur sini aja. Sebentar lagi badai." kata pria tua dengan sarung dan baju koko.

“Gak usah pak, mumpung blum hujan saya pulang dulu." aku bergegas berdiri dari kursi. Sesampainya di pintu hujan turun sangat lebat hingga seperti deretan kain yang di bentangkan. 

"Ada kamar kosong kok!" kata pria tua itu sambil tetap menghisap sebatang rokoknya.

Aku kembali duduk di kursi panjang dan menaruh belakang kepalaku pada sandaran empuk dari busa. Pria tua itu beranjak dari kursi sambil membenahi sarungnya. "An, siapin kamar buat Wahyu!" perintahnya pada Ani sebelum pergi.

"Iya nanti!" saut Ani sambil sibuk dengan hp nya.

"Hujan-hujan jangan main hp!" kataku sambil mematikan hp-ku sendiri. "Motorku gimana nasibnya?"

"Gak papa, sekalian di cuci. Hahaha..."

"Emang sih belum aku cuci." aku merosot di kursi panjangku sambil memandang wajah Ani yang masih menatap hujan dari balik jendela. kemudian aku berdiri sambil melepas jaket hitamku.

"Mau kemana?" tanya Ani kaget.

"Mau masukin mintor."

"Tapikan masih hujan?"

"Pinjem payungnya."

23:57

Hujan masih memukul-mukul atap rumah yang tua. Beberapa kali mataku harus kemasukan benda asing saat aku terlentang sambil memandang langit-langit. Meski di luar hujan sangat deras. Tapi udara sangat panas--bahkan aku harus melepas kaosku. Keringat bercucuran di sekujur tubuhku yang terlentang tanpa selimut.

Tubuhku mulai terasa berat dan seolah terseret jatuh kedalam pusaran air di tengah samudra pasifik. Mataku terpejam tapi aku bisa mendengar langkah kaki seseorang berjalan mendekat ke arah kamar. Suara engsel yang berdecit memenuhi telingaku. Suara langkah kaki itu bergerak mendek dan berhenti di sebelah kiriku.

Nafasku terasa berat dan sesak. Sebuah jari yang lembut menyentuh kulit dadaku dan tubuhku pun seperti terjatuh di dalam lubang yang gelap. Mataku terbuka dan terlihat cahaya di kejauhan yang makin mengecil. Jantungku berdetak tak karuhan bersamaan dengan kepanikanku. Ku coba untuk membalik tubuhku dan aku terpekik. Sebuah lautan yang di penuhi oleh air berwarna merah terbentang luas. Di setiap sisinya ada daratan kecil penuh dengan tulang-tulang dan mahluk kecil kurus setinggi lutut dengan kepala besar duduk diatas tumpukan tengkorak.

Mahluk kecil itu menoleh kearahku dengan menunjukan taring kecil-kecil di mulutnya yang berlumuran darah. Hidungnya panjang dan melengkung seperti paruh burung beo. Matanya sebesar bola baseball dan berwarna hitam mengkilap. Telinganya yang panjang lancip terarah ke atas dan bergerak-gerak. Di tangannya yang kurus seperti tulang tengah memegangi segumpal benda berwarna merah dan basah.

Tubuhku jatuh dengan cepat dan menghantam permukaan air yang kemerahan hingga menyebabkan ombak yang menjatuhkan tumpukan tulang di pantai. Air itu kental dan lengket--baunya anyir dan sangat busuk. Tubuhku yang masih kaget mencoba untuk menjaga agar kepalaku tetap di udara--menimbulkan riak-riak air yang menarik mahluk-mahluk kecil itu keluar.

Mereka ada sekitar lima dan terus bermunculan dari balik tumpukan tengkorak. Diantara mereka ada yang setinggi tiga puluh centimeter dan sebagian berambut panjang. Mereka tidak memakai baju yang utuh, hanya cawat dari kain coklat kemerahan menunjukan kalau mereka adalah laki-laki dan botak. Sedangkan yang lainya memakai kain sewarna tanah sebatas dada. Sedangkan yang kecil telanjang dan melompat-lompat di atas tumpukan tulang yang patah.

Tubuhku mulai setabil di dalam air. Ku arahkan kepalaku menatap ke arah langit yang seperti lorong panjang dengan cahaya kecil di ujungnya. Tubuhku terasa lemas ketika aku tahu yang sedari tadi dipegangi mahluk kecil itu adalah sebuah potongan tangan manusia. 

Sebuah tulang mengenai pelipis mataku dengan keras hingga berdarah. Mahluk kecil-kecil itu pun bersorak melihatku. Mereka terus saja melempariku dengan tulang. Tapi tidak ada satupun yang berenang mendekat. Bahkan ketika anak-anak mereka hendak menjeburkan diri mahluk yang lain menarik tangannya.

Aku sedikit tenang dan berusaha berenang menjauhi mereka. Tapi mereka berlari memutar dan menjatuhkan beberapa tulang ke dalam air. Sebagian lagi tetap melempariku hingga mengenai hidungku hingga patah. Wajahku sudah penuh luka dan mataku terasa perih oleh tetesan darahku sendiri.

Akhirnya aku berhasil menjauh dari jangkauan mereka dan berenang ke tengah. Lemperan mereka berhenti dan tidak ada lagi sorak-sorak yang terdengar. Anak-anak mereka pun berlari dan bersembunyi di balik kaki orang tuanya. Mereka seperti ketakutan, salah satu dari mereka yang hanya setinggi empat puluh lima centi berjalan mendekati tepi pantai dengan sebuah tongkat dengan ujung yang menyerupai jari-jari manusia-- di tangan kanan.

Dia melentangkan kedua tangannya setelah mencelupkan ujung tongkatnya ke dalam air. Bibirnya komat-kamit dan makin lama makin keras. Gerombolan itu meneriakan kata-kata yang tak ku mengerti yang juga diucapkan si pembawa tongkat sambil melentangkan tangan. Satu sosok lagi berjalan sambil menenteng tubuh salah satu anak mereka di tangan kiri. Anak itu meronta-ronta dan akhirnya dilemparkan ketengah danau. 

Anak itu kesusahan mencoba berenang. Dia berteriak-teriak tapi semua yang ada di tepi pantai mengacuhkannya dan mulai menari berputar di tempat. Air di bawahku mulai terasa hangat dan bergerak menyedot. Aku cepat-cepat berenang ke arah batu karang dan memeluknya. Sebuah ombak besar menerpaku dan tubuhku terhantam dinding karang. Kembali aku mendekati karang dan memeluknya lagi.

Ombak yang barusan membuat air berjatuhan dari langit-langit seperti hujan. Aku berusaha memeluk erat karang itu ketika aku mendengar suara nafas yang berat. Mataku mengintip dari pundakku. Se ekor ular sebesar kereta lokomotif tengah memandangku dengan mulut yang di penuhi anak salah satu mahluk kecil tadi. Anak itu meronta dan memukuli wajah si ular. Dengan sekali gilas tubuh anak itu hancur dan di telannya seperti sebutir nasi.

Kulitku dingin dan jantungku mulai tak terkendali melihat ular itu mendekatkan moncongnya ke wajahku. Leherku seperti di cekik tangan-tangan dingin. Ular itu menatapku dengan mata seperti mata kucing. Nafasnya beraroma busuk hingga perutku mual--dan udara yang di keluarkannya dari hidung terasa sangat menyengat.

Aku tidak berani menatap ular itu ketika mulutnya terbuka penuh dengan taring dan lendir di langit-langit mulutnya yang merah muda. Suara sorak kembali terdengar dan ular itu mulai berdesis. Ketika aku mencoba mengintipnya--kepalanya yang sebesar lokomotif mengayun dari belakang dan melemparkan mulutnya yang menganga kearahku yang cepat-cepat menutup mata.

“Hai bangun!" teriak Ani dari tepi ranjang. Nafasku memburu dan tubuhku bergetar hebat. Jantungku masih tak beraturan dan keringat memenuhu tubuhku. "Ngapain kamu teriak-teriak?"

Aku menatap ke arah Ani dengan nafas yang masih berat. Cepat-cepat aku duduk. "Jam berapa ini?" tanyaku dengan cepat.

"Jam?"

"Iya jam berapa ini?"

"Sebentar." dia berlari ke ruang tengah dan kembali lagi. "1:25" katanya dengan heran.

Nafasku mulai kembali pulih tapi tubuhku masih bergetar. "Masih hujan?"

"Udah reda sejam yang lalu. Ngomong-ngomong kamu kenapa teriak-teriak?"

"Hanya mimpi." kataku lemas. Keringatku jatuh membasahi seprai yang berwarna hijau. Ani duduk di atas ranjang.

"Mimpi apa?"

"Tidak kok." kataku.

"Cerita saja."

Aku memandangnya dengan tersenyum, "besok saja. Aku pengen tidur lagi."

"Ya udah," katanya sambil berdiri. Sebelum keluar pintu dia menoleh kearahku lagi. "Tadi aku di beritahu bapak, katanya kamu di suruh tidur sambil miring ke kanan. Jangan terlentang." aku tersenyum sambil memiringkan kepalaku. Dia mengangkat bahunya dan menutup pintu.

Aku bersandar ke dinding yang dingin dan menyeka keringat di dahiku. Pikiranku penuh dengan bayangan mahluk kecil yang memakan potongan tangan manusia, tumpukan tulang dan seekor ular sebesar lokomotif yang hampir menelanku. Ketika mataku terpejam bayangan itu kembali muncul lagi dan lagi. Aku pun beranjak dari ranjang dan mengenakan kaosku lagi dan berjalan keluar kamar menuju dapur.

Ku raih sebuah gelas dan mengisinya penuh dengan air. Ketika setengah air itu meluncur ke tenggorokanku. Terdengar suara benda yang bergesekan. Aku berhenti minum dan mengamati seisi ruangan. "Ada apa?" tanya pria tua yang juga bapaknya Ani. Tubuhku melompat ketika suara pria itu tiba-tiba muncul. "Udah malam. Cepetan tidur." katanya dan pergi meninggalkanku.

Aku pun setengah berlari menuju kamar dan melempar tubuhku ke atas ranjang. Kali ini aku sudah mengantuk dan tubuhku terasa berat lagi. Udara kembali panas dan sekali lagi terdengar langkah kaki mendekati pintu dan decitan engsel yang terbuka. Langkah kaki itu kembali mendekatiku dan berhenti di tempat yang tadi. Jari yang lembut kembali menyentuh dadaku dari balik kaos. Tubuhku kembali terjatuh kedalam lubamg hitam yang sangat dalam dan aku memejamkan mataku erat-erat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun