Mohon tunggu...
haris eri
haris eri Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mimpi

18 Mei 2016   20:34 Diperbarui: 18 Mei 2016   20:45 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Tapikan masih hujan?"

"Pinjem payungnya."

23:57

Hujan masih memukul-mukul atap rumah yang tua. Beberapa kali mataku harus kemasukan benda asing saat aku terlentang sambil memandang langit-langit. Meski di luar hujan sangat deras. Tapi udara sangat panas--bahkan aku harus melepas kaosku. Keringat bercucuran di sekujur tubuhku yang terlentang tanpa selimut.

Tubuhku mulai terasa berat dan seolah terseret jatuh kedalam pusaran air di tengah samudra pasifik. Mataku terpejam tapi aku bisa mendengar langkah kaki seseorang berjalan mendekat ke arah kamar. Suara engsel yang berdecit memenuhi telingaku. Suara langkah kaki itu bergerak mendek dan berhenti di sebelah kiriku.

Nafasku terasa berat dan sesak. Sebuah jari yang lembut menyentuh kulit dadaku dan tubuhku pun seperti terjatuh di dalam lubang yang gelap. Mataku terbuka dan terlihat cahaya di kejauhan yang makin mengecil. Jantungku berdetak tak karuhan bersamaan dengan kepanikanku. Ku coba untuk membalik tubuhku dan aku terpekik. Sebuah lautan yang di penuhi oleh air berwarna merah terbentang luas. Di setiap sisinya ada daratan kecil penuh dengan tulang-tulang dan mahluk kecil kurus setinggi lutut dengan kepala besar duduk diatas tumpukan tengkorak.

Mahluk kecil itu menoleh kearahku dengan menunjukan taring kecil-kecil di mulutnya yang berlumuran darah. Hidungnya panjang dan melengkung seperti paruh burung beo. Matanya sebesar bola baseball dan berwarna hitam mengkilap. Telinganya yang panjang lancip terarah ke atas dan bergerak-gerak. Di tangannya yang kurus seperti tulang tengah memegangi segumpal benda berwarna merah dan basah.

Tubuhku jatuh dengan cepat dan menghantam permukaan air yang kemerahan hingga menyebabkan ombak yang menjatuhkan tumpukan tulang di pantai. Air itu kental dan lengket--baunya anyir dan sangat busuk. Tubuhku yang masih kaget mencoba untuk menjaga agar kepalaku tetap di udara--menimbulkan riak-riak air yang menarik mahluk-mahluk kecil itu keluar.

Mereka ada sekitar lima dan terus bermunculan dari balik tumpukan tengkorak. Diantara mereka ada yang setinggi tiga puluh centimeter dan sebagian berambut panjang. Mereka tidak memakai baju yang utuh, hanya cawat dari kain coklat kemerahan menunjukan kalau mereka adalah laki-laki dan botak. Sedangkan yang lainya memakai kain sewarna tanah sebatas dada. Sedangkan yang kecil telanjang dan melompat-lompat di atas tumpukan tulang yang patah.

Tubuhku mulai setabil di dalam air. Ku arahkan kepalaku menatap ke arah langit yang seperti lorong panjang dengan cahaya kecil di ujungnya. Tubuhku terasa lemas ketika aku tahu yang sedari tadi dipegangi mahluk kecil itu adalah sebuah potongan tangan manusia. 

Sebuah tulang mengenai pelipis mataku dengan keras hingga berdarah. Mahluk kecil-kecil itu pun bersorak melihatku. Mereka terus saja melempariku dengan tulang. Tapi tidak ada satupun yang berenang mendekat. Bahkan ketika anak-anak mereka hendak menjeburkan diri mahluk yang lain menarik tangannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun