Mohon tunggu...
haris eri
haris eri Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mimpi

18 Mei 2016   20:34 Diperbarui: 18 Mei 2016   20:45 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku sedikit tenang dan berusaha berenang menjauhi mereka. Tapi mereka berlari memutar dan menjatuhkan beberapa tulang ke dalam air. Sebagian lagi tetap melempariku hingga mengenai hidungku hingga patah. Wajahku sudah penuh luka dan mataku terasa perih oleh tetesan darahku sendiri.

Akhirnya aku berhasil menjauh dari jangkauan mereka dan berenang ke tengah. Lemperan mereka berhenti dan tidak ada lagi sorak-sorak yang terdengar. Anak-anak mereka pun berlari dan bersembunyi di balik kaki orang tuanya. Mereka seperti ketakutan, salah satu dari mereka yang hanya setinggi empat puluh lima centi berjalan mendekati tepi pantai dengan sebuah tongkat dengan ujung yang menyerupai jari-jari manusia-- di tangan kanan.

Dia melentangkan kedua tangannya setelah mencelupkan ujung tongkatnya ke dalam air. Bibirnya komat-kamit dan makin lama makin keras. Gerombolan itu meneriakan kata-kata yang tak ku mengerti yang juga diucapkan si pembawa tongkat sambil melentangkan tangan. Satu sosok lagi berjalan sambil menenteng tubuh salah satu anak mereka di tangan kiri. Anak itu meronta-ronta dan akhirnya dilemparkan ketengah danau. 

Anak itu kesusahan mencoba berenang. Dia berteriak-teriak tapi semua yang ada di tepi pantai mengacuhkannya dan mulai menari berputar di tempat. Air di bawahku mulai terasa hangat dan bergerak menyedot. Aku cepat-cepat berenang ke arah batu karang dan memeluknya. Sebuah ombak besar menerpaku dan tubuhku terhantam dinding karang. Kembali aku mendekati karang dan memeluknya lagi.

Ombak yang barusan membuat air berjatuhan dari langit-langit seperti hujan. Aku berusaha memeluk erat karang itu ketika aku mendengar suara nafas yang berat. Mataku mengintip dari pundakku. Se ekor ular sebesar kereta lokomotif tengah memandangku dengan mulut yang di penuhi anak salah satu mahluk kecil tadi. Anak itu meronta dan memukuli wajah si ular. Dengan sekali gilas tubuh anak itu hancur dan di telannya seperti sebutir nasi.

Kulitku dingin dan jantungku mulai tak terkendali melihat ular itu mendekatkan moncongnya ke wajahku. Leherku seperti di cekik tangan-tangan dingin. Ular itu menatapku dengan mata seperti mata kucing. Nafasnya beraroma busuk hingga perutku mual--dan udara yang di keluarkannya dari hidung terasa sangat menyengat.

Aku tidak berani menatap ular itu ketika mulutnya terbuka penuh dengan taring dan lendir di langit-langit mulutnya yang merah muda. Suara sorak kembali terdengar dan ular itu mulai berdesis. Ketika aku mencoba mengintipnya--kepalanya yang sebesar lokomotif mengayun dari belakang dan melemparkan mulutnya yang menganga kearahku yang cepat-cepat menutup mata.

“Hai bangun!" teriak Ani dari tepi ranjang. Nafasku memburu dan tubuhku bergetar hebat. Jantungku masih tak beraturan dan keringat memenuhu tubuhku. "Ngapain kamu teriak-teriak?"

Aku menatap ke arah Ani dengan nafas yang masih berat. Cepat-cepat aku duduk. "Jam berapa ini?" tanyaku dengan cepat.

"Jam?"

"Iya jam berapa ini?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun