"Sebentar." dia berlari ke ruang tengah dan kembali lagi. "1:25" katanya dengan heran.
Nafasku mulai kembali pulih tapi tubuhku masih bergetar. "Masih hujan?"
"Udah reda sejam yang lalu. Ngomong-ngomong kamu kenapa teriak-teriak?"
"Hanya mimpi." kataku lemas. Keringatku jatuh membasahi seprai yang berwarna hijau. Ani duduk di atas ranjang.
"Mimpi apa?"
"Tidak kok." kataku.
"Cerita saja."
Aku memandangnya dengan tersenyum, "besok saja. Aku pengen tidur lagi."
"Ya udah," katanya sambil berdiri. Sebelum keluar pintu dia menoleh kearahku lagi. "Tadi aku di beritahu bapak, katanya kamu di suruh tidur sambil miring ke kanan. Jangan terlentang." aku tersenyum sambil memiringkan kepalaku. Dia mengangkat bahunya dan menutup pintu.
Aku bersandar ke dinding yang dingin dan menyeka keringat di dahiku. Pikiranku penuh dengan bayangan mahluk kecil yang memakan potongan tangan manusia, tumpukan tulang dan seekor ular sebesar lokomotif yang hampir menelanku. Ketika mataku terpejam bayangan itu kembali muncul lagi dan lagi. Aku pun beranjak dari ranjang dan mengenakan kaosku lagi dan berjalan keluar kamar menuju dapur.
Ku raih sebuah gelas dan mengisinya penuh dengan air. Ketika setengah air itu meluncur ke tenggorokanku. Terdengar suara benda yang bergesekan. Aku berhenti minum dan mengamati seisi ruangan. "Ada apa?" tanya pria tua yang juga bapaknya Ani. Tubuhku melompat ketika suara pria itu tiba-tiba muncul. "Udah malam. Cepetan tidur." katanya dan pergi meninggalkanku.