Dalam lingkungan budaya kita, pakem tentang kehidupan adalah meyakini bahwa suatu cetak biru seseorang sebenarnya telah tertuang dalam suatu konsep yang disebut Takdir.Â
Bagi banyak orang takdir adalah sesuatu yang sudah final, dan tahu tentang itu kalau ia sudah terjadi. Akan tetapi mereka percaya bahwa konsep takdir itu seperti sebuah " Surat Keputusan " yang pada alinea terahirnya ada kata-kata pengecualian. Maksudnya, sebelum Takdir tiba berbagai kemungkinan masih akan terjadi.Â
Dengan kata lain takdir itu sebelum terjadi masih bisa ber ubah, sesuai upaya yang tengah dilakukan oleh pemiliknya. Masih terdapat klausul yang memungkinkan untuk Peninjauan Kembali.Â
Sesuai respon yang dilakukan si pemilik kehidupan. Karena itu kehidupan sebenarnya penuh dengan rahmat, full dengan dinamika. Kesemuanya itu terpulang kepada usaha maupun upaya seseorang untuk mengubahnya, termasuk dalam mengubah nasibnya.
Sebenarnya setiap orang dipercaya akan melakoni hidupnya dengan sebaik-baiknya. Artinya setiap orang mempunyai cara dan niat yang sangat mendasar tentang tata cara menjalani kehidupannya.Â
Mereka bisa memperoleh tuntunan itu dari keluarganya, dari tradisi, dari ajaran guru-guru, Ustad atau Romonya dan dari berbagai referensi lainnya baik yang tertulis maupun yang tidak.Â
Masalahnya ada yang berhasil tetapi banyak pula yang tidak. Kalau saja ketidak berhasilan itu "dievaluasi" dan dijadikan sebagai cambuk untuk berbuat yang lebih baik lagi tentu akan sangat positip.Â
Dalam kadar tertentu diyakini pasti mereka lakukan, tetapi tidak dengan perbaikan yang mendasar. Kecuali itu banyak juga yang tidak memperdulikannya.  Hal inilah yang  jadi bahan perbincangan kita.
Mengapa manusia hilang akal atau sering tidak memakai akal sehatnya? Sesuai dengan fakta, manusia itu cenderung untuk melakukan sesuatu yang disenanginya. Termasuk tidak melakukan apa-apa sama sekali.Â
Padahal semestinya,manusia itu harus melakukan apa apa yang memang seharusnya dia lakukan. Sukur kalau yang dia senangi itu termasuk bagian pekerjaan yang dilakoninya. Â
Tapi sering terjadi justeru tidak pernah mempertanyakannya, semua berjalan secara alami saja mengikuti tradisi keluarga, tradisi lingkungan. Â Itulah sebenarnya yang harus dengan arif dipertanyakan. Kita harus dengan jujur mempertanyakan kehadiran kita di dalam kehidupan ini.