Sebenarnya telah terbukti, justru para pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) yang merupakan sektor riil, seperti Imah dan kawan-kawannya inilah yang mampu bertahan di tengah badai krisis global.
Sebagaimana diakui Deputi Gubernur Bank Indonesia, Siti Ch. Fadjriyah (dalam Hosen, 2009), krisis ekonomi yang menerpa ekonomi Indonesia pada tahun 1997, setidaknya telah membuka mata kita adanya kerentanan dan kelemahan fundamental yang melekat di balik keberhasilan sistem ekonomi maupun tata pengelolaan ekonomi selama ini. Di luar pengaruh dari negara lain akibat masifnya aliran modal luar negeri yang keluar-masuk dalam sistem ekonomi kita yang terbuka serta tidak adanya penopang kestabilan sistem keuangan, ternyata krisis juga dipicu dari adanya kelemahan mikro-ekonomi. Kelemahan yang penting, di antaranya menyangkut pengelolaan resources yang tidak optimal dari pelaku ekonomi yang membuka peluang bagi perilaku rente dan spekulatif, ekspansi kredit yang tidak sehat, dan lemahnya governance.
Pelajaran dari krisis ini, diakui Fadjriyah, telah mendorong banyak negara, termasuk Indonesia, untuk melakukan koreksi kritis atas bekerjanya sistem ekonomi “konvensional” yang tidak mampu menciptakan keseimbangan yang optimal antara sektor finansial dan sektor riil serta menjauhnya prinsip-prinsip ekonomi yang sesuai dengan cita-cita kesejahteraan masyarakat yang hakiki. Dari sinilah kemudian sistem ekonomi Islam kembali dilirik, dipelajari, serta diadopsi secara parsial maupun keseluruhan sebagai sistem ekonomi alternatif. Namun, sejatinya sistem ekonomi yang berasal dari tafsiran dan eksplorasi atas ajaran Islam dan Al Quran maupun hadits dari para ulama dan cendekiawan muslim klasik, telah terbukti dan teruji menjawab permasalahan-permasalahan yang muncul pada sistem ekonomi konvensional yang telah ada sebelumnya.
Dalam kerangka sistem ekonomi Islam inilah, keuangan syariah menjadi salah satu pilar penting yang berfungsi sebagai lembaga intermediasi dana untuk disalurkan dalam pembiayaan kepada sektor riil. Selama ini industri keuangan syariah, telah berkembang pesat di banyak negara, termasuk Indonesia. Dalam kurun waktu setengah dasawarsa saja, perbankan syariah di Tanah Air telah turut berkontribusi dalam perekonomian kita, meskipun masih diperlukan ekstra ikhtiar untuk mendorong perannya lebih kuat lagi, sebagaimana negara lain, seperti Malaysia.
Menurut Alamsyah (2012), Indonesia menjadi pelopor dan kiblat pengembangan ekonomi berbasis syariah di ASEAN, bahkan dunia, bukan merupakan impian yang mustahil, karena potensi Indonesia untuk menjadi global player keuangan syariah sangat besar. Alasannya, karena (i) jumlah penduduk muslim yang besar menjadi potensi nasabah industri keuangan syariah; (ii) prospek ekonomi yang cerah, tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi (kisaran 6,0%-6,5%) yang ditopang oleh fundamental ekonomi yang solid; (iii) peningkatan sovereign credit ratingIndonesia menjadi investment gradeyang akan meningkatkan minat investor untuk berinvestasi di sektor keuangan domestik, termasuk industri keuangan syariah; dan (iv) memiliki sumber daya alam melimpah yang dapat dijadikan sebagai underlying transaksi industri keuangan syariah.
Belum lagi dukungan operasional sektor keuangan syariah yang selama ini selalu mengiringi sektor riil. Sektor rill ini lebih didominasi pelaku UMKM yang jumlahnya besar, namun selama ini terabaikan oleh sektor keuangan formal lainnya. Dengan demikian, ini akan mendukung pertumbuhan sektor riil untuk terus berkembang dan dampaknya bukan saja pertumbuhan ekonomi yang meningkat, tetapi juga terserapnya tenaga kerja yang lebih banyak. Dengan banyaknya orang bekerja, tentu pendapatan dan kesejahteraan dapat ditingkatkan. Dengan pendapatan yang memadai, akan kembali lagi untuk melakukan pembelian terhadap produk-produk lain yang dihasilkan. Dengan demikian, rantai ekonomi nasional terus berjalan seiring dengan aktivitas ekonomi yang dilakukan masyarakatnya.
Sektor rill yang didominasi pelaku UMKM, jumlahnya besar, yaitu 57,9 juta (Bappenas, 2015), namun tidak dibarengi dengan kualitas pendidikan pelaku UMKM itu sendiri. UMKM selama ini terabaikan oleh sektor keuangan formal lainnya. Pelaku UMKM yang merupakan para pelaku wirausaha ini memberi dukungan operasional yang besar terhadap sektor keuangan syariah. Dengan demikian, peningkatan para pelaku wirausaha ini, secara kuantitas dan kualitas, mampu meningkatkan eksistensi perekonomian syariah.
Sosiolog David McCleland (1987), mengemukakan apabila sebuah negara ingin menjadi makmur, minimal sejumlah 2% dari persentase keseluruhan penduduk di negara tersebut menjadi wirausahawan. Bila penduduk Indonesia 254,9 juta (2016), maka Indonesia sedikitnya membutuhkan 5 juta wirausahawan. Dibandingkan dengan negara-negara lain, perkembangan kewirausahaan di Indonesia masih sangat kurang, yaitu di bawah 2%. Sebagai pembanding, kewirausahaan di Amerika Serikat tercatat mencapai 13% dari total penduduknya, Singapura sebanyak 7%, Malaysia sebanyak 5%, Thailand sebanyak 3% (medanbisnisdaily.com, 2015).
Kendati dari waktu ke waktu semakin bertumbuhannya pelaku wirausaha di Indonesia, tetapi keberadaannya belum sepenuhnya memberikan sumbangan positif terhadap kecerdasan dan kesejahteraan bangsa, padahal potensi wirausaha di Indonesia sangat besar, terutama jika dilihat dari data jumlah usaha kecil menengah yang ada. Sampai tahun 2014, jumlah UMKM di Indonesia mencapai 56,2 juta unit dan mampu menyerap 97,2% tenaga kerja dari total angkatan kerja yang ada (swa.co.id., 2014). Data ini memberikan gambaran betapa besarnya aktivitas kewirausahaan (yang dicerminkan banyaknya UMKM) di Indonesia dan dampaknya bagi kemajuan ekonomi bangsa. Dengan semakin meningkatkan pehatian pada UMKM, kehadiran perbankan syariah diyakini akan semakin memperkuat pilar perekonomian Indonesia.
Kewirausahaan Dianjurkan dalam Islam
Kewirausahaan menjadi sesuatu yang sangat dianjurkan di dalam ajaran agama Islam. Dalam Al Quran sendiri ada sekitar 370 ayat yang berhubungan tentang bisnis. Bandingkan dengan rukun Islam, seperti puasa, yang hanya disinggung 9 kali. Rasulullah pun bersabda: “Sebaik-baiknya penghasilan adalah dari pekerjaan seseorang dengan tangannya dan (dari) setiap transaksi perniagaan yang diberkahi. (HR Al-thabrani, Shahih al-Jami’-al Shaghir no. 1913.)“Sembilan dari sepuluh rizki ada dalam perniagaan” (Dhaif al-jami’ no. 2.434).Ini adalah hadist popular, namun sanadnya dhaif.)