Beberapa desa di Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, secara turun-temurun warganya menjadi pengrajin bambu untuk dibuat bilik. ft. BNP
NAMANYA Halimah, tetapi orang-orang di desanya, Desa Sukawening, Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung, akrab menyapanya Imah. Usianya menginjak 25 tahun, dengan dua anak perempuan; yang besar kelas 2 SD, sedangkan yang bungsu baru menginjak usia 4 tahun. Di desanya, para wanita seusianya kebanyakan merantau ke negeri lain, terutama sebagai tenaga kerja wanita (TKW) di Arab Saudi. Kalau tidak menjadi TKW, para wanita dan lelaki muda di desa itu menjadi buruh pabrik tekstil di Majalaya. Sedangkan para lelaki dan wanita muda, beserta para orangtua yang tinggal di desa yang tersisa, dalam kesehariannya menggeluti usaha kerajinan bambu, terutama membuat bilik.
Kerajinan menganyam bambu untuk dijadikan bilik di Desa Sukawening, juga di beberapa desa di Kecamatan Ciwidey, telah dirintis sejak tahun 1960-an. Jadi, selain dalam upaya mempertahankan hidup, keluarga Imah beserta beberapa keluarga lainnya, dengan mempertahankan usaha menganyam bilik bambu ini adalah dalam upaya mempertahankan usaha khas daerahnya, yang telah dilakukan turun-menurun sejak puluhan tahun silam. Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, memang terkenal sebagai penghasil kerajinan bilik bambu atau dinding yang terbuat dari anyaman bambu, selain sebagai sentra penghasil sayuran dan buah stroberi.
Setiap usai shalat Isya, Suhendar –suami Imah--, meng-araybambu-bambu yang seminggu dikirim dunungan (bossnya). Bulatan bambu utuh, dengan menggunakan golok tajam dibuat lembaran tipis-tipis untuk bahan anyaman balik. Lumayan harus punya keahlian khusus, sehingga benar-benar didapat lembaran bambu yang tipis, baik dari kulit bambu maupun daging bambu. Hal ini dilakukan Suhendar setiap malam, hingga adzan sholat subuh berkumandang dari masjid tidak jauh dari rumahnya. Baru pagi hari, setelah anak petamanya berangkat sekolah dan si bungsu diberi makan, Imah menganyam bilahan bambu tipis yang semalam diaray sang suami. Dalam sehari, di sela-sela mengasuh si bungsu, Imah bisa menyelesaikan 7-8 lembar bilik ukuran 2 x 3 meter. Imah bisa mengerjakan sebanyak itu, karena menganyam bilik telah dilakukannya sejak ia masih gadis. Selembar bilik diterima Si Boss penyedia bambu, Rp 12,000. Jadi sehari semalam pasangan suami-istri ini meraih penghasilan antara Rp 84.000- Rp 96.000.
“Nya lumayan wae dikeureuyeuh mah, sadamel-damel di bumi daripada kedah angkat ka Saudi mah. Sempet oge kaemutan hoyong angkat ka Arab, tapi teu gaduh modal kangge daftar, resikona oge ageung. Sejabi ti eta, seueur kajantenan, warga di dieu nu angkat ka Saudi, uih-uih kantun layon. Audzubillah himidzalik (kalau dikerjakan, menganyam bilik ini hasilnya lumayan, karena bisa dikerjakan di rumah daripada harus bekerja ke Arab Saudi. Sempat terbersit juga pikiran ingin pergi bekerja di Arab seperti yang lain, tetapi tidak punya modal untuk mendaftar, risikonya juga besar. Banyak kejadian, warga sini yang berangkat jadi TKW, pulang-pulang sudah jadi mayat. Audzubillah humidzalik,” papar Imah, kepada penulis, saat penulis mudik ke kampung istri penulis di Ciwidey belum lama ini.
Tentunya, Imah bersama pengrajin anyaman bambu lain tidak sekadar ingin mempertahankan usaha keluarga. Seiring peningkatan kebutuhan pemenuhan hidup sehari-hari yang semakin meningkat, seiring pula keinginan untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Andaikan ia dan suaminya punya modal, tentu ia bisa mencari dan membeli bambu sendiri, dan mengerjakannya sendiri dibantu pula dengan beberapa kerabatnya. Dengan cara demikian, ia dan suaminya bisa mendapatkan keuntungan berlebih.
Usaha kerajinan menganyam bambu ini penulis lihat prospeknya cerah. Apalagi, sejak lama bilik sudah digunakan warga untuk dinding rumah. Bilik bambu yang ditawarkan para pengrajin saat ini sangat beragam. Ini disebabkan setiap perajin berupaya mengemas bilik bambu menjadi produk kerajinan bernilai seni. Kalau sudah begini, banyak pelancong maupun pengusaha rumah makan dan hotel yang memesan bilik bambu yang menonjolkan kesan artistik kedaerahan. Umumnya, pemesan datang dari Bandung, Cianjur, Sukabumi, Indramayu, bahkan Kalimantan hingga Dubai di Uni Emirat Arab sana.
Bilik yang dibuat pengrajin di Kecamatan Ciwidey ada tiga jenis, yaitu bilik corak yang dibuat dari bambu hijau dan bambu hitam, bilik dari kulit bambu, dan bilik daging bambu. Semua jenis laku dijual. Namun, yang paling diminati adalah bilik corak. Biasanya pembeli bilik corak adalah pengusaha rumah makan, vila, dan kafe. Mereka menggunakan bilik bambu sebagai pelengkap interior tempat usahanya agar terkesan lebih artistik.
Imah dan rekan-rekannya berharap, usaha kecil berprospek cerah ini dilirik pemerintah dan pemodal lain agar mereka mau mengucurkan bantuan sehingga mayoritas pengusaha bilik bambu yang saat ini kembang kempis atau kesulitan dana bisa melanjutkan usaha dan memperbanyak kreasinya.
Di satu sisi, Imah beserta teman-teman pengrajinnya berkeinginan untuk meningkatkan pendapatannya. Namun di sisi lain, untuk berusaha mendapat bantuan umumnya mereka diliputi keragu-raguan. Keragu-raguan itu muncul, karena berbagai pinjaman yang datang selama ini berdasarkan perhitungan untung-rugi yang sarat dengan riba. Apalagi pada setiap kali tholab di majelis taklim, pada setiap malam Jumat, yang dihadirinya, di mesjid para ajengan dan ustadz kerap mengingatkan agar dalam bekerja, dalam beribadah, senantiasa harus berada dalam tuntunan-Nya. Hal ini agar warga maslahat hidupnya, baik di dunia maupun di akhirat. Sebagai orang desa yang taat beribadah, anjuran dari ajengan atau ustadz tersebut senantiasa dipatuhi warga.
Sistem Ekonomi Islam Kembali Dilirik
Namanya Halimah, tetapi orang-orang di desanya akrab menyapanya Imah. Nama Halimah sebenarnya punya arti “berakal, berangan-angan, sabar, lembut, dan berakal”, selain juga dikenal sebagai nama sosok wanita yang menyusui Nabi Muhammad SAW. Sebagai pengusaha kecil, Imah berangan-angan dan membuka akal agar penghasilan keluarganya meningkat.
Sebenarnya telah terbukti, justru para pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) yang merupakan sektor riil, seperti Imah dan kawan-kawannya inilah yang mampu bertahan di tengah badai krisis global.
Sebagaimana diakui Deputi Gubernur Bank Indonesia, Siti Ch. Fadjriyah (dalam Hosen, 2009), krisis ekonomi yang menerpa ekonomi Indonesia pada tahun 1997, setidaknya telah membuka mata kita adanya kerentanan dan kelemahan fundamental yang melekat di balik keberhasilan sistem ekonomi maupun tata pengelolaan ekonomi selama ini. Di luar pengaruh dari negara lain akibat masifnya aliran modal luar negeri yang keluar-masuk dalam sistem ekonomi kita yang terbuka serta tidak adanya penopang kestabilan sistem keuangan, ternyata krisis juga dipicu dari adanya kelemahan mikro-ekonomi. Kelemahan yang penting, di antaranya menyangkut pengelolaan resources yang tidak optimal dari pelaku ekonomi yang membuka peluang bagi perilaku rente dan spekulatif, ekspansi kredit yang tidak sehat, dan lemahnya governance.
Pelajaran dari krisis ini, diakui Fadjriyah, telah mendorong banyak negara, termasuk Indonesia, untuk melakukan koreksi kritis atas bekerjanya sistem ekonomi “konvensional” yang tidak mampu menciptakan keseimbangan yang optimal antara sektor finansial dan sektor riil serta menjauhnya prinsip-prinsip ekonomi yang sesuai dengan cita-cita kesejahteraan masyarakat yang hakiki. Dari sinilah kemudian sistem ekonomi Islam kembali dilirik, dipelajari, serta diadopsi secara parsial maupun keseluruhan sebagai sistem ekonomi alternatif. Namun, sejatinya sistem ekonomi yang berasal dari tafsiran dan eksplorasi atas ajaran Islam dan Al Quran maupun hadits dari para ulama dan cendekiawan muslim klasik, telah terbukti dan teruji menjawab permasalahan-permasalahan yang muncul pada sistem ekonomi konvensional yang telah ada sebelumnya.
Dalam kerangka sistem ekonomi Islam inilah, keuangan syariah menjadi salah satu pilar penting yang berfungsi sebagai lembaga intermediasi dana untuk disalurkan dalam pembiayaan kepada sektor riil. Selama ini industri keuangan syariah, telah berkembang pesat di banyak negara, termasuk Indonesia. Dalam kurun waktu setengah dasawarsa saja, perbankan syariah di Tanah Air telah turut berkontribusi dalam perekonomian kita, meskipun masih diperlukan ekstra ikhtiar untuk mendorong perannya lebih kuat lagi, sebagaimana negara lain, seperti Malaysia.
Menurut Alamsyah (2012), Indonesia menjadi pelopor dan kiblat pengembangan ekonomi berbasis syariah di ASEAN, bahkan dunia, bukan merupakan impian yang mustahil, karena potensi Indonesia untuk menjadi global player keuangan syariah sangat besar. Alasannya, karena (i) jumlah penduduk muslim yang besar menjadi potensi nasabah industri keuangan syariah; (ii) prospek ekonomi yang cerah, tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi (kisaran 6,0%-6,5%) yang ditopang oleh fundamental ekonomi yang solid; (iii) peningkatan sovereign credit ratingIndonesia menjadi investment gradeyang akan meningkatkan minat investor untuk berinvestasi di sektor keuangan domestik, termasuk industri keuangan syariah; dan (iv) memiliki sumber daya alam melimpah yang dapat dijadikan sebagai underlying transaksi industri keuangan syariah.
Belum lagi dukungan operasional sektor keuangan syariah yang selama ini selalu mengiringi sektor riil. Sektor rill ini lebih didominasi pelaku UMKM yang jumlahnya besar, namun selama ini terabaikan oleh sektor keuangan formal lainnya. Dengan demikian, ini akan mendukung pertumbuhan sektor riil untuk terus berkembang dan dampaknya bukan saja pertumbuhan ekonomi yang meningkat, tetapi juga terserapnya tenaga kerja yang lebih banyak. Dengan banyaknya orang bekerja, tentu pendapatan dan kesejahteraan dapat ditingkatkan. Dengan pendapatan yang memadai, akan kembali lagi untuk melakukan pembelian terhadap produk-produk lain yang dihasilkan. Dengan demikian, rantai ekonomi nasional terus berjalan seiring dengan aktivitas ekonomi yang dilakukan masyarakatnya.
Sektor rill yang didominasi pelaku UMKM, jumlahnya besar, yaitu 57,9 juta (Bappenas, 2015), namun tidak dibarengi dengan kualitas pendidikan pelaku UMKM itu sendiri. UMKM selama ini terabaikan oleh sektor keuangan formal lainnya. Pelaku UMKM yang merupakan para pelaku wirausaha ini memberi dukungan operasional yang besar terhadap sektor keuangan syariah. Dengan demikian, peningkatan para pelaku wirausaha ini, secara kuantitas dan kualitas, mampu meningkatkan eksistensi perekonomian syariah.
Sosiolog David McCleland (1987), mengemukakan apabila sebuah negara ingin menjadi makmur, minimal sejumlah 2% dari persentase keseluruhan penduduk di negara tersebut menjadi wirausahawan. Bila penduduk Indonesia 254,9 juta (2016), maka Indonesia sedikitnya membutuhkan 5 juta wirausahawan. Dibandingkan dengan negara-negara lain, perkembangan kewirausahaan di Indonesia masih sangat kurang, yaitu di bawah 2%. Sebagai pembanding, kewirausahaan di Amerika Serikat tercatat mencapai 13% dari total penduduknya, Singapura sebanyak 7%, Malaysia sebanyak 5%, Thailand sebanyak 3% (medanbisnisdaily.com, 2015).
Kendati dari waktu ke waktu semakin bertumbuhannya pelaku wirausaha di Indonesia, tetapi keberadaannya belum sepenuhnya memberikan sumbangan positif terhadap kecerdasan dan kesejahteraan bangsa, padahal potensi wirausaha di Indonesia sangat besar, terutama jika dilihat dari data jumlah usaha kecil menengah yang ada. Sampai tahun 2014, jumlah UMKM di Indonesia mencapai 56,2 juta unit dan mampu menyerap 97,2% tenaga kerja dari total angkatan kerja yang ada (swa.co.id., 2014). Data ini memberikan gambaran betapa besarnya aktivitas kewirausahaan (yang dicerminkan banyaknya UMKM) di Indonesia dan dampaknya bagi kemajuan ekonomi bangsa. Dengan semakin meningkatkan pehatian pada UMKM, kehadiran perbankan syariah diyakini akan semakin memperkuat pilar perekonomian Indonesia.
Kewirausahaan Dianjurkan dalam Islam
Kewirausahaan menjadi sesuatu yang sangat dianjurkan di dalam ajaran agama Islam. Dalam Al Quran sendiri ada sekitar 370 ayat yang berhubungan tentang bisnis. Bandingkan dengan rukun Islam, seperti puasa, yang hanya disinggung 9 kali. Rasulullah pun bersabda: “Sebaik-baiknya penghasilan adalah dari pekerjaan seseorang dengan tangannya dan (dari) setiap transaksi perniagaan yang diberkahi. (HR Al-thabrani, Shahih al-Jami’-al Shaghir no. 1913.)“Sembilan dari sepuluh rizki ada dalam perniagaan” (Dhaif al-jami’ no. 2.434).Ini adalah hadist popular, namun sanadnya dhaif.)
Rasulullah sendiri pun seorang wirausahawan. Bahkan, Beliau lebih lama berprofesi sebagai pengusaha (25 tahun ) dibandingkan sebagai rasul (23 tahun) dan Beliau tidak henti-hentinya pula mengimbau umatnya untuk menjalankan wirausaha. Apalagi bisnis yang dilakukan berjamaah. Rasulullah bersabda: “Berdua lebih baik daripada sendiri. Bertiga lebih baik daripada berdua. Berempat lebih baik daripada bertiga. Hendaklah kamu sekalian berjamaah, karena sesungguhnya tangan Allah bersama orang yang berjamaah” (H.R. Ibnu Asakir dari Abu Hurairah ra).Jadi, memang kewirausahaan menjadi sesuatu yang sangat dianjurkan di dalam ajaran agama Islam
Sebagaimana disampaikan para ahli, faktor-faktor yang mempengaruhi minat seseorang untuk menjadi wirausahawan, meliputi ekspektasi pendapatan, lingkungan keluarga, dan pendidikan kewirausahaan itu sendiri.
Dalam menguatkan peran perekonomian syariah, secara kualitas dan kuantitas perlu ditingkatkannya keberadaan para wirausahawan sebagai pelaku UMKM. Kepada calon wirausahawan, perlu dibangkitkan minatnya untuk berkiprah di dunia usaha. Sedangkan kepada mereka yang sedang menggeluti dunia wirausaha, semakin ditingkatkan kemampuan dan daya saingnya agar semakin yakin terhadap pekerjaannya sebagai wirausahawan. Hal tersebut dapat ditingkatkan melalui penyasaran minat berwirausaha, yang meliputi ekspektasi pendapatan, pengaruh lingkungan keluarga, dan pendidikan kewirausahaan itu sendiri.
Selain berperan menumbuhkan minat berwirausaha para pelaku UMKM, lembaga perbankan syariah berperan membangun bisnis para wirausahawan tersebut. Untuk membangun bisnis memerlukan dua proses utama, yaitu proses membangun mental berwirausaha dan proses manajerial bisnis (dimulai dari proses identifikasi gagasan bisnis, menyusun proposal bisnis, menyusun visi, misi, strategi bisnis hingga proses mengelola bisnis).
Proses yang paling penting (critical) adalah proses membangun mental. Dibutuhkan waktu dan pengalaman praktek bisnis yang lama untuk bisa memiliki mental baja dan naluri di dalam berbisnis. Itulah sebabnya mental bisnis ini perlu dibangun sejak muda. Orang muda masih banyak energi dan kreativitas untuk mengembangkan bakat dan bereksperimen di dalam bisnis, karena sangat mungkin, untuk bisa mencapai keberhasilan dalam bisnis harus melalui serangkaian kegagalan dan waktu yang lama.
Hal mendasar yang perlu dipersiapkan oleh wirausahawan muda adalah ilmu tentang prinsip-prinsip ekonomi di dalam Islam. Salah satu prinsipnya adalah sebagaimana pesan Khalifah Umar bin Khattab radhialllahu’anhu kepada kaum Muslimin: “Hendaklah tidak berdagang di pasar kita selain orang yang telah faham (berilmu), jika tidak, ia akan memakan riba (ucapan Beliau ini dengan teks demikian ini dinukil oleh Ibnu Abdil Bar Al Maliky). Prinsip terpenting lainnya adalah hukum asal setiap transaksi adalah halal. Sebagaimana kaidah fikih, “Hukum asal dalam segala hal adalah boleh hingga ada dalil yang menunjukkan keharamannya.” Kaidah ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 29 yang artinya: “Dialah yang menciptakan untuk kamu segala hal yang ada di bumi seluruhnya.”Sedangkan, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mendukung kaidah tersebut adalah: “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.” (HR. Musim).
Prinsip yang ada di dalam konsep ekonomi Islam akan menjadi dasar pemilihan jenis dan aktivitas bisnis. Sebagai seorang muslim, tentu harus memiliki perbedaan dengan orang kafir di dalam berbisnis. Bisa jadi bisnis kita menjadi sarana dakwah kepada orang kafir. Demikian juga dengan keterpilihan perbankan syariah, apalagi produk dan jasa yang disediakan perbankan syariah sudah sama bagusnya, sama lengkapnya, sama modernnya sebagaimana produk jasa keuangan konvensional.
Dalam perannya membangun bisnis para wirausahawan, perekonomian syariah harus kembali pada kebermaknaan ekonomi Islam atau ekonomi berbasis syariah itu sendiri, yaitu sebuah sistem ekonomi yang memiliki tujuan utama untuk kesejahteraan umat. Sistem ekonomi syariah berpedoman penuh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hukum-hukum yang melandasi prosedur transaksinya sepenuhnya untuk kemaslahatan masyarakat, sehingga tidak ada satu pihak yang merasa dirugikan. Kesejahteraan masyarakat dalam ekonomi Islam tidak hanya diukur dari aspek materilnya, namun mempertimbangkan dampak sosial, mental, dan spiritual individu serta dampak yang ditimbulkan bagi lingkungan.
Dalam Islam, berdagang atau bisnis atau wirausaha sangat dianjurkan, karena nabi kita pun seorang wirausahawan. Ada suatu nilai yang terkandung dalam Islam terkait wirausaha, yakni jujur dan amanah serta berbisnislah yang wajar dan tidak melampaui batas. Islam sendiri menganjurkan umatnya untuk menjadi kaya. Maka dari itu, dengan berwirausaha menurut risalah Nabi Muhammad SAW berarti kita mencintai suri tauladan kita.
Ekonomi Baik, Akhlak pun Baik
Ekonomi suatu bangsa akan baik, apabila akhlak masyarakatnya baik. Antara akhlak dan ekonomi memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian, akhlak yang baik berdampak pada terbangunnya muamalah atau kerja sama ekonomi yang baik. Rasulullah SAW tidak hanya diutus untuk menyebarluaskan akhlak, melainkan untuk menyempurnakan akhlak mulia, baik akhlak dalam berucap maupun dalam tingkah laku.
Untuk itulah, agama Islam mengandung tiga komponen pokok yang terstruktur dan tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain, yaitu aqidah atau iman, syariah, dan akhlak. Syariah merupakan aturan Allah tentang pelaksanaan dan penyerahan diri secara total melalui proses ibadah dalam hubungannya dengan sesama mahluk. Syariah mencakup dua hal pokok, yaitu Ibadah mahdah yang pelaksanaannya dicontohkan oleh Rasulullah SAW, dan ibadah ghair mahdah yang tidak dicontohkan seluruhnya oleh nabi, seperti hubungan ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya.
Demikian juga dengan Imah dan rekan-rekan pengrajin di Desa Sukawening, sebagai pengusaha kecil yang merupakan para wirausahawan, mengiginkan perekonomiannya membaik dengan tetap berakhlak baik pula. Keragu-raguan adanya kucuran bantuan dari keuangan (perbankan) konvensional pada umumnya, bisa tertepiskan oleh sistem perbankan syariah, karena perbankan syariah memiliki karakteristik yang berbeda dari perbankan konvensional, yaitu penerapan prinsip-prinsip syariah yang menonjolkan universal values (nilai-nilai yang diakui secara umum) seperti prinsip kerja sama, keseimbangan, keadilan (saling ridho atau win-win), serta menghindari spekulasi dalam transaksi keuangan.
Untuk itulah kepada Imah dan rekan-rekannya ini perlu pengakraban terhadap keberadaan perbankan syariah. Ihwal keterkaitan ibadah mahdahdan ibadah ghair mahdah, yang tercakup dalam keberadaan sistem keuangan syariah, akan sangat efektif disampaikan para ajengan atau ustadz pada setiap majelis taklim seperi rutin dilakukan setiap malam Jumat di desa Imah. Tentunya, “sosialisasi” atau pengakraban ihwal keuangan syariah oleh para ajengan, ustadz, atau tokoh masyarakat daerah ini tidak hanya dilakukan di Desa Sukawening, tetapi berlaku bagi seluruh desa di Tanah Air. Para pemuka agama dan tokoh masyarakat ini, menjadi ujung tombak bagi pengembangan perbankan syariah
Namanya Halimah, orang-orang di desanya akrab menyapanya Imah. Sesuai dengan arti namanya, Imah yang “berakal, berangan-angan, sabar, lembut, dan berakal”, kini bersama rekan-rekan pengrajin bilik bambu di desanya mulai mengakrabi keuangan syariah. Bersitan keinginan untuk menjadi TKW di Arab Saudi pun musnah sudah. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H