Mohon tunggu...
Hari Wiryawan
Hari Wiryawan Mohon Tunggu... Dosen - Peminat masalah politik, sejarah, hukum, dan media, dosen Usahid Solo.

Penulis lepas masalah politik, sejarah, hukum, dan media, dosen Usahid Solo

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Surya Paloh "The King Maker" Anies - Cak Imin

4 September 2023   20:57 Diperbarui: 4 September 2023   21:15 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Keinginan besar dari Ketua Partai Nasdem, Surya Paloh agar Calon Presiden Anies Baswedan bisa mendapatkan Calon Wakil Presiden dari kalangan Nahdliyin dari Jawa Timur terkabul sudah. Pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar sudah dideklarasikan, Sabtu 2 September 2023 di Surabaya.

Apakah harapan Surya Paloh untuk bisa meraup dukungan kalangan Nahdliyin di Jawa Timur akan bisa diperoleh dengan mudah, setelah Cak Imin jadi wakil Anies? Ini pertanyaan penting bagi pendukung Anies, namun tidak penting bagi Surya Paloh. Mengapa begitu? Mari teruskan membaca.

Posisi Cak Imin

Dua kriteria Cak Imin yang dikehendaki Surya Paloh sudah terpenuhi yaitu "nahdliyin" dan "Jawa Timur". Tetapi bukankah elektabilitas Cak Imin sangat rendah dibanding dengan nama-nama besar Calon Wakil Presiden seperti Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, Erick Thohir bahkan dengan Mahfud MD sekalipun, Cak Imin masih kalah jauh. Dari berbagai survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga, nama Cak Imin tidak pernah mencapai lebih dari 2 persen bahkan seringkali namanya tidak terdeteksi.

Meskipun dalam beberapa Survei, elektabilitas PKB cukup bagus, yaitu sekitar 7,6 persen namun lagi-lagi Cak Imin tidak mendapat suara yang bagus ketika namanya disandingkan dengan para calon wakil presiden yang lain.

Perolehan suara PKB 7,6% tersebut tidak berarti Cak Imin berhasil mendekati kaum Nahdliyin. Warga NU ternyata juga tidak memilih Cak Imin sebagai calon presiden. Survey Libang Kompas Mei 2023 menujukan bahwa warga NU, lebih memilih Prabowo (25,8%) dan Ganjar (24,9%) dan Anies (12,3). Untuk Cawapres warga NU memilih Ridwan Kamil (7,1%), Sandiaga Uno (1,3%) dan AHY juga (1,3). Sementara Cak Imin tidak terdeteksi.

 Lebih jauh, PKB di bawah Cak Imin juga tidak bisa menarik dukungan mayoritas warga NU. Survei LSI Denny JA menunjukan bahwa masyarakat NU lebih memilih PDIP (21,9%) dan Gerindra (13,6%) dari pada pilih PKB (11,6%).

Lemahnya "personal branding" Cak Imin di kalangan NU tidak lepas dengan sepak terjang Cak Imin ketika menggusur paman sendiri, KH Abdurrahman Wahid, dari kursi di PKB. Perseteruan antara kubu Cak Imin dan Gus Dur ini masih juga belum selesai. Cak Imin memang bisa eksis di PKB, namun di luar PKB masa Nahdliyin tetap menghormati Gus Dur.

Meskipun Gus Dur telah wafat, namun para "Gusdurian" (pendukung Gus Dur) masih sangat kuat. Di Jawa Timur ada Khofifah Indar Parawansa yang tidak lain adalah Gubernur Jawa Timur. Jelas Khofifah tidak akan memilih Cak Imin. Dalam Kabinet Jokowi ada Menkopolhukam Mahfud MD dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang juga Gusdurian. 

Ketua Umum PBNU sebagai induk dari organisasi NU tidak akan memberi restu apalagi doa pada Cak Imin. Yahya Staquf adalah seorang bekas juru bicara Gus Dur. Yang terakhir penolakan terhadap Cak Imin tentu saja adalah dari keluarga almarhum Gus Dur di Ciganjur yang masih tetap berwibawa dan menjadi panutan warga NU.

Wal hasil Cak Imin bukan tokoh ideal di lingkungan NU oleh karena itu jaminan kemenangan bagi Anies untuk bisa masuk putaran kedua (jika Pilpres ada tiga pasangan), hal itu akan sulit diperoleh.

Masalah lain dari Cak Imin adalah bahwa mantan Menteri Tenaga Kerja itu ternyata masih punya PR masalah hukum. KPK telah lama membidik Cak Imin. Apakah Cak Imin sebagai tersangka atau tidak, akan masuk penjara atau tidak, citra cawapres itu akan menjadi buruk. Kondisi ini tentu tidak menguntungkan bagi pasangan Anies-cak Imin.

Lalu mengapa Surya Paloh memilih Cak Imin? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, dalam jangka pendek Surya Paloh atau setidaknya kubu Anies memang tidak menghendaki AHY dan Demokrat bersama-sama dengan gerbong Anies. Hal ini terlihat dari proses rekrutmen Cak Imin untuk menjadi cawapres Anies dimana Demokrat tidak dilibatkan dalam pendekatan Cak Imin, juga hasilnya tidak segera disampaikan sehingga Demokrat yang harus mencari tahu sendiri ke kubu Anies/ Nasdem.

Jika Anies memang tidak ingin AHY menjadi Cawapres, namun menghendaki Partai Demokrat semestinya ada komunikasi yang lebih baik. Penjelasan Partai Demokrat mengenai proses masuknya Cak Imin mengindikasikan bahwa Anies memang tidak menghendaki AHY sebagai cawapres.

Sebagai seorang intelektual, tentu Anies bisa menghitung dampak sikapnya yang meninggalkan begitu saja AHY sehingga digambarkan oleh Demokrat sebagai "penghianatan", "tidak bermoral", "musang berbulu domba". Mengapa Anies memperlakukan AHY seperti itu? Hal itu mengindikasikan Surya Paloh dan Anies memang tidak menghendaki AHY dan Demokrat masuk dalam kubunya.

Bukan Kemenangan

Situasi ini akan bertambah rumit bagi Anies karena, dampak elektoral yang diharapkan dari Cak Imin akan sangat minim sebagaimana diuraikan di atas, di lain pihak nama Anies telah hancur di mata pendukung Demokrat. Para pendukung Demokrat di seluruh Indonesia beramai-ramai merobek dan mencopot gambar Anies dengan amarah. Ini tentu merugikan elektoral Anies.

Kita tahu SBY adalah ahli memainkan diri sebagai korban (playing victim). Ketika berkompetisi dengan Megawati, tahun 2004 cara yang dipakai SBY dengan menempatkan diri sebagai pihak yang dizalimi, sangat mujarab mengalahkan Megawati. Besar kemungkinan SBY akan menggunakan materi/ bahan "dikhianati" untuk menyerang Anies. Ungkapan "musang berbulu domba" akan terus dimainkan di kubu SBY/AHY.

Meskipun AHY telah memaafkan Anies dan memberi ucapan "Selamat" kepada pasangan Anies-Cak Imin, namun arus bawah Demokrat akan tetap bersikap antipati kepada Anies. Ucapan Selamat AHY telah menyelamatkan AHY dari tuduhan bahwa AHY sakit hati lantaran tidak dijadikan Cawapres. Namun, sikap AHY itu tidak akan mengubah cap bahwa Anies sebagai "pengkhianat". Jika serangan itu dilakukan oleh lawan politik Anies, maka hal itu wajar. Namun serangan itu kini dilakukan oleh pendukung Anies sendiri dari pihak Demokrat. Apakah Anies tidak menghitung hal-hal seperti ini?

Kembali pertanyaannya adalah: mengapa Surya Paloh tetap memajukan Anies dan Cak Imin dan mendepak AHY/ Demokrat? padahal prospek kemenangan lemah?

The King Maker

Sebagai seorang pebisnis dan politisi kawakan, Surya Paloh tentu memahami berbagai kelebihan dan kelemahan duet Anies-Cak Imin. Dengan rendahnya prospek keduanya, jika dilihat Anies selalu rendah elektabilitasnya di banding Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto dan rendahnya Cak Imin dibanding Erick Thohir, Sandiaga Uno dan Ridwan Kamil, lalu apa yang ingin diraih oleh Surya Paloh?

Salah satu penjelasanya adalah bahwa Surya Paloh ingin mengakhiri dikotomi Cebong-Kampret. Benarkah demikian? Hal ini masih perlu pembuktian apakah pasangan Anies-Cak Imin bisa mengubah itu?

Penjelasan lain adalah bahwa bagi Surya Paloh kemenangan Anies-Cak Imin bukan merupakan prioritas. Kemenangan bukan tujuan utama. Ibarat Timnas Indonesia bisa ikut Piala Dunia, maka keberadaanya di Piala Dunia saja sudah merupakan prestasi dan keberuntungan. Tidak harus menang di Piala Dunia.

Yang utama bagi seorang Surya Paloh adalah kebanggan memainkan sebagai the King Maker Calon Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Predikat "the King Maker" inilah yang ingin diraih oleh Surya Paloh, sebuah kebanggaan dan capaian pribadi. Soal kalah menang tidak penting, karena pride sebagai King Maker itu sudah merupakan capain dan kemenangan pribadi Surya Paloh.

Karena itulah Surya Paloh tidak mau berkoalisi dengan Jokowi. Jika tetap bersama Jokowi, ia harus bersaing dan tidak akan menang berhadapan dengan Jokowi atau Megawati. Surya Paloh akan menjadi bebek yang manis mengikuti permainan Megawati atau Jokowi. Ia memilih berseberangan dengan Jokowi demi ambisinya itu.

Itulah mengapa Surya Paloh memilih Anies, orang yang tidak berpartai, seorang "sebatang kara" dalam politik kepartaian nasional. Jika Surya Paloh memilih Ganjar, maka akan kalah berhadapan dengan Megawati. Jika Surya Paloh pilih Prabowo, Sandiaga atau Erick akan kalah berhadapan dengan Jokowi. Satu-satunya orang yang "bebas" dari pengaruh Mega dan Jokowi adalah Anies. Di mata Surya Paloh, Anies adalah orang dalam bahasa Jawa bisa ditekak-tekuk) (dilipat-lipat) sekehendak Surya Paloh. Cepatnya dan kilatnya proses deklarasi Anies-Cak Imin menunjukan bahwa Anies sepenuhnya dalam genggaman Surya Paloh.

Dengan demikian ini bukan soal ideologi "perubahan" atau "keberlanjutan", juga bukan soal "Jokowi" dan "anti tesis Jokowi", apalagi soal perlawanan "Islam" dan "nasionalis". Ini sekadar ambisi pribadi seorang politisi senior bernama Surya Paloh.

Jika cita-citanya adalah perubahan maka bang Surya tidak pilih Cak Imin melainkan AHY lah yang lebih tepat. Jika ingin melawan Jokowi, tentu bukan Cak Imin tetapi AHY dan Demokrat atau dari PKS. Ini bukan perang ideologi, ini sekadar hiburan bagi yang terhormat Tuan Surya Paloh. Dengan demikian Anies dan Cak Imin bak syair lagu berjudul "Boneka dari India" karya A Riyanto tahun 1970-an "...boneka cantik dari India boleh dipandang tak boleh diganggu..".

Semua telah diperoleh oleh Bang Surya: kekayaan, kehormatan, raja media, ketua umum partai. Satu hal yang belum diperoleh sampai akhir bulan Agustus 2023 adalah sebagai King Maker capres/ cawapres. Ini adalah ambisi yang "wajar", proses psikologi seseorang yang bisa terjadi disemua manusia biasa ketika seorang yang telah memiliki dan menguasai segalanya. Yang ia butuhkan adalah pengakuan (aktualisasi diri) dari masyarakat. Anies dan Cak Imin dengan senang hati memenuhi dahaga media mogul itu.

Aburizal Bakrie, Hary Tanoesoedibjo adalah raja media, pernah atau sedang menjadi ketua umum partai, kaya dan terhormat. Tetapi keduanya belum pernah menjadi King Maker Capres/Cawapres Republik Indonesia. SBY dan Megawati pernah menjadi King Maker Capres/Cawapres tapi keduanya bukan raja media dan bukan konglomerat. Kini, Surya Paloh telah memiliki semuanya.

Jika ada rekor MURI, Surya Paloh bisa mendapat predikat sebagai pengusaha pertama yang mampu menjadi the King Maker Capres-Cawapres. Status ini setingkat lebih tinggi dari para pengusaha sekelasnya seperti Aburizal Bakrie, Hary Tanoesoedibjo atau Chairul Tanjung. Bahkan jauh melampaui pengusaha yang lebih muda seperti Sandiaga Uno atau Erick Thohir. (Wir) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun