Salah satu penjelasanya adalah bahwa Surya Paloh ingin mengakhiri dikotomi Cebong-Kampret. Benarkah demikian? Hal ini masih perlu pembuktian apakah pasangan Anies-Cak Imin bisa mengubah itu?
Penjelasan lain adalah bahwa bagi Surya Paloh kemenangan Anies-Cak Imin bukan merupakan prioritas. Kemenangan bukan tujuan utama. Ibarat Timnas Indonesia bisa ikut Piala Dunia, maka keberadaanya di Piala Dunia saja sudah merupakan prestasi dan keberuntungan. Tidak harus menang di Piala Dunia.
Yang utama bagi seorang Surya Paloh adalah kebanggan memainkan sebagai the King Maker Calon Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Predikat "the King Maker" inilah yang ingin diraih oleh Surya Paloh, sebuah kebanggaan dan capaian pribadi. Soal kalah menang tidak penting, karena pride sebagai King Maker itu sudah merupakan capain dan kemenangan pribadi Surya Paloh.
Karena itulah Surya Paloh tidak mau berkoalisi dengan Jokowi. Jika tetap bersama Jokowi, ia harus bersaing dan tidak akan menang berhadapan dengan Jokowi atau Megawati. Surya Paloh akan menjadi bebek yang manis mengikuti permainan Megawati atau Jokowi. Ia memilih berseberangan dengan Jokowi demi ambisinya itu.
Itulah mengapa Surya Paloh memilih Anies, orang yang tidak berpartai, seorang "sebatang kara" dalam politik kepartaian nasional. Jika Surya Paloh memilih Ganjar, maka akan kalah berhadapan dengan Megawati. Jika Surya Paloh pilih Prabowo, Sandiaga atau Erick akan kalah berhadapan dengan Jokowi. Satu-satunya orang yang "bebas" dari pengaruh Mega dan Jokowi adalah Anies. Di mata Surya Paloh, Anies adalah orang dalam bahasa Jawa bisa ditekak-tekuk) (dilipat-lipat) sekehendak Surya Paloh. Cepatnya dan kilatnya proses deklarasi Anies-Cak Imin menunjukan bahwa Anies sepenuhnya dalam genggaman Surya Paloh.
Dengan demikian ini bukan soal ideologi "perubahan" atau "keberlanjutan", juga bukan soal "Jokowi" dan "anti tesis Jokowi", apalagi soal perlawanan "Islam" dan "nasionalis". Ini sekadar ambisi pribadi seorang politisi senior bernama Surya Paloh.
Jika cita-citanya adalah perubahan maka bang Surya tidak pilih Cak Imin melainkan AHY lah yang lebih tepat. Jika ingin melawan Jokowi, tentu bukan Cak Imin tetapi AHY dan Demokrat atau dari PKS. Ini bukan perang ideologi, ini sekadar hiburan bagi yang terhormat Tuan Surya Paloh. Dengan demikian Anies dan Cak Imin bak syair lagu berjudul "Boneka dari India" karya A Riyanto tahun 1970-an "...boneka cantik dari India boleh dipandang tak boleh diganggu..".
Semua telah diperoleh oleh Bang Surya: kekayaan, kehormatan, raja media, ketua umum partai. Satu hal yang belum diperoleh sampai akhir bulan Agustus 2023 adalah sebagai King Maker capres/ cawapres. Ini adalah ambisi yang "wajar", proses psikologi seseorang yang bisa terjadi disemua manusia biasa ketika seorang yang telah memiliki dan menguasai segalanya. Yang ia butuhkan adalah pengakuan (aktualisasi diri) dari masyarakat. Anies dan Cak Imin dengan senang hati memenuhi dahaga media mogul itu.
Aburizal Bakrie, Hary Tanoesoedibjo adalah raja media, pernah atau sedang menjadi ketua umum partai, kaya dan terhormat. Tetapi keduanya belum pernah menjadi King Maker Capres/Cawapres Republik Indonesia. SBY dan Megawati pernah menjadi King Maker Capres/Cawapres tapi keduanya bukan raja media dan bukan konglomerat. Kini, Surya Paloh telah memiliki semuanya.
Jika ada rekor MURI, Surya Paloh bisa mendapat predikat sebagai pengusaha pertama yang mampu menjadi the King Maker Capres-Cawapres. Status ini setingkat lebih tinggi dari para pengusaha sekelasnya seperti Aburizal Bakrie, Hary Tanoesoedibjo atau Chairul Tanjung. Bahkan jauh melampaui pengusaha yang lebih muda seperti Sandiaga Uno atau Erick Thohir. (Wir)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H