Tiba-tiba, suara langkah kaki Bayu mendekat. "Kamu belum tidur?" tanyanya.
"Belum," jawab Ratna tanpa menoleh.
Bayu duduk di sofa seberangnya. "Kamu kelihatannya capek."
Ratna menghela napas. "Capek itu sudah jadi teman sehari-hari. Aku lebih memikirkan anak-anak dan bagaimana kita bertahan."
"Ratna, aku tahu aku sering mengecewakanmu," kata Bayu tiba-tiba. "Aku---"
"Kamu tahu?" Ratna memotong, nadanya datar tapi penuh makna. "Kalau kamu tahu, kenapa kamu tetap melakukannya?"
Bayu terdiam. Ia tidak punya jawaban. Ratna melanjutkan, suaranya bergetar. "Aku bertahan karena aku janji di depan Tuhan. Aku bertahan karena anak-anak. Tapi kamu tahu betapa sulitnya itu untukku?"
Bayu menunduk, merasa tertampar oleh kejujuran istrinya. "Aku, aku menyesal."
Ratna menatapnya tajam. "Penyesalan itu harusnya datang dengan perubahan, Bayu. Tapi aku tidak melihatnya."
Untuk pertama kalinya, Bayu merasa kecil di hadapan istrinya. Ia sadar, Ratna adalah tiang yang selama ini menopang rumah mereka, sementara ia terus menciptakan retakan.
"Aku akan mencoba berubah," katanya pelan.