Jakarta di bulan November sering didera hujan yang menderas lama. Langit kelabu senada dengan hatiku yang tenggelam dalam pusaran emosi. Di tengah irama hujan yang tak berkesudahan, pikiranku melayang kepada kutipan Dale Carnegie dalam bukunya Petunjuk Hidup Tentram dan Bahagia: Dua hal yang mempengaruhi masa depan seseorang adalah pekerjaan dan pasangan hidup. Kalimat pendek itu bergaung di benakku, seakan menyadarkan jiwaku yang rapuh dan renta.
Awalnya aku menyangkal, tidak mungkin ini terjadi pada hidupku. Namun, kenyataan tak bisa dibantah. Bahtera pernikahanku karam, terjerembab di tengah badai. Aku yang seharusnya menjadi kepala keluarga, mengalami disfungsi sebagai pencari nafkah. Krisis kepercayaan menggerogoti rumah tangga kami karena perekonomian keluarga berada di titik nadir.
Usiaku sudah setengah abad, tetapi hidupku masih jauh dari kemapanan. Aku seperti kehilangan arah. Ke mana langkah ini seharusnya menuju? Kabut misteri menutupi segalanya.
Aku teringat kedua orangtuaku. Mereka berhasil menjaga pernikahan hingga 53 tahun, melintasi berbagai badai kehidupan. Sedangkan aku? Pernikahanku hanya bertahan 21 tahun. Walau lebih lama dibandingkan mereka yang menyerah di bawah 10 tahun, tetap saja terasa begitu singkat. Dinamika kehidupan memang penuh ironi. Awalnya aku bermimpi bisa menjalani pernikahan selamanya, hingga maut memisahkan. Namun, skenario manusia sering kali berbeda dari harapan.
Aku masih ingat apa yang ia katakan dua puluh satu tahun yang lalu, tepatnya setelah aku mengungkapkan cinta. "Kalau Mas serius, tahun depan kita menikah!" Kalimat yang lugas dan tanpa keraguan membuatku terkejut, tetapi juga terpesona oleh keberaniannya.
Kami baru saling mengenal empat hari. Terlalu singkat untuk menilai sebuah hubungan. Namun, entah kenapa, aku mengiyakan tawarannya. Ada sesuatu dalam dirinya---ketegasan, mungkin juga kepercayaan dirinya---yang membuatku yakin.
Lima belas bulan berikutnya, kami merajut hubungan. Impian dan rencana kami wujudkan dalam sebuah pernikahan sederhana. Janji setia terucap dengan tulus di altar. Pikirku, saat itulah awal kebahagiaan selamanya.
Namun, kehidupan tidak selalu seindah dongeng. Tahun-tahun pertama penuh warna-warni. Kami beradaptasi, belajar memahami perbedaan, tetapi perbedaan itu justru semakin jelas seiring bertambahnya waktu.
Ia keras kepala, aku juga keras kepala. Kami seperti minyak dan air, sulit menyatu. Kadang-kadang, aku bertanya-tanya, apa yang membuatku menerima tawarannya saat itu? Mungkin cinta, mungkin ego muda yang ingin membuktikan sesuatu.
Setelah bertahun-tahun, realitas mulai mengejar. Perbedaan prinsip yang selama ini tersembunyi menjadi jurang pemisah yang semakin lebar. Kebiasaan-kebiasaan kecil yang dulu terlihat manis berubah menjadi duri dalam daging.
"Kamu selalu ingin menang sendiri!" ujarnya pada suatu malam, dengan nada tajam serasa mencabik hati. Aku terdiam, terlalu lelah untuk berdebat. Dalam diam, aku menyadari, bahwa mungkin ia juga merasa lelah dengan diriku.
Krisis ekonomi yang menghantam keluarga kami menjadi ujian terbesar. Saat itu, aku kehilangan pekerjaan. Semua tanggung jawab finansial jatuh padanya. Ia bekerja siang dan malam, sementara aku terjebak dalam rasa malu dan frustrasi karena merasa gagal.
Dari sinilah kepercayaan mulai memudar. Ia merasa aku tidak cukup berusaha, sementara aku merasa tidak dihargai. Kata-kata pedas semakin sering terlontar. Setiap hari seperti berjalan di atas pecahan kaca.
Hingga akhirnya kami menyerah. Pada malam yang dingin di bulan November, setelah hujan turun seharian, kami sepakat untuk mengakhiri semuanya. Air mata mengalir, tetapi bukan dari penyesalan, namun mungkin justru air mata kelegaan.
Sekarang, di usiaku yang ke-50, aku sering merenung. Apakah pernikahan itu sebuah kegagalan atau pelajaran?
Aku belajar banyak hal dari perjalananku. Tentang cinta, tentang kompromi, tentang ego, dan tentang mimpi yang kadang harus dilepaskan. Aku juga belajar bahwa memulai lagi bukanlah tanda kelemahan, melainkan keberanian untuk memberi diri kesempatan kedua.
Di tengah hujan bulan November, aku memutuskan untuk bangkit. Kompas kehidupanku memang sempat kehilangan arah, tetapi bukan berarti aku tidak bisa menemukannya kembali. Aku harus menerima kenyataan, mengakui kesalahan, dan mulai menulis bab baru dalam hidupku.
Hujan belum berhenti mengguyur Jakarta. Tetapi kali ini aku melihatnya tidak lagi sebagai simbol kesedihan, melainkan pembaruan. Bukankah setelah hujan, selalu ada pelangi?
Meruya, 17 Desember 2024
MH. Triyatmo
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI