"Kamu selalu ingin menang sendiri!" ujarnya pada suatu malam, dengan nada tajam serasa mencabik hati. Aku terdiam, terlalu lelah untuk berdebat. Dalam diam, aku menyadari, bahwa mungkin ia juga merasa lelah dengan diriku.
Krisis ekonomi yang menghantam keluarga kami menjadi ujian terbesar. Saat itu, aku kehilangan pekerjaan. Semua tanggung jawab finansial jatuh padanya. Ia bekerja siang dan malam, sementara aku terjebak dalam rasa malu dan frustrasi karena merasa gagal.
Dari sinilah kepercayaan mulai memudar. Ia merasa aku tidak cukup berusaha, sementara aku merasa tidak dihargai. Kata-kata pedas semakin sering terlontar. Setiap hari seperti berjalan di atas pecahan kaca.
Hingga akhirnya kami menyerah. Pada malam yang dingin di bulan November, setelah hujan turun seharian, kami sepakat untuk mengakhiri semuanya. Air mata mengalir, tetapi bukan dari penyesalan, namun mungkin justru air mata kelegaan.
Sekarang, di usiaku yang ke-50, aku sering merenung. Apakah pernikahan itu sebuah kegagalan atau pelajaran?
Aku belajar banyak hal dari perjalananku. Tentang cinta, tentang kompromi, tentang ego, dan tentang mimpi yang kadang harus dilepaskan. Aku juga belajar bahwa memulai lagi bukanlah tanda kelemahan, melainkan keberanian untuk memberi diri kesempatan kedua.
Di tengah hujan bulan November, aku memutuskan untuk bangkit. Kompas kehidupanku memang sempat kehilangan arah, tetapi bukan berarti aku tidak bisa menemukannya kembali. Aku harus menerima kenyataan, mengakui kesalahan, dan mulai menulis bab baru dalam hidupku.
Hujan belum berhenti mengguyur Jakarta. Tetapi kali ini aku melihatnya tidak lagi sebagai simbol kesedihan, melainkan pembaruan. Bukankah setelah hujan, selalu ada pelangi?
Meruya, 17 Desember 2024
MH. Triyatmo
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI