Indonesia setidaknya menghadapi dua risiko dalam dua tahun mendatang, kemrosotan ekonomi dan pengangguran, sesuai laporan World Economic Forum. Apakah memang demikian?Â
Sinyal Waspada
Sudah tiga bulan berturut-turut, Indonesia mengalami deflasi, sebagaimana diberitakan Badan Pusat Statistik. Kondisi itu bisa merupakan pertanda melemahnya daya beli masyarakat.
Selain itu, persentase tabungan terhadap pendapatan mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya, sedangkan cicilan pinjaman malah naik, dengan konsumsi relatif stabil, sesuai survei Bank Indonesia terkini. Hal demikian menggambarkan masih adanya fenomena makan tabungan.
Pemutusan hubungan kerjapun masih berlanjut. Data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dari Januari hingga Juni tahun ini, mencatat terjadinya lebih dari tiga puluh ribu pemutusan.
Angka pengurangan tenaga kerja yang berkelanjutan itu berpengaruh terhadap kinerja manufaktur. Purchasing Manager's Index Manufaktur dari S&P Global menunjukkan penurunan. Kurang lebih artinya, terjadi penurunan kinerja industri pengolahan.
Ringkasnya, S&P menjelaskan penyebab penurunan indeks yaitu terjadinya penurunan permintaan pasar yang merupakan faktor utama penyebab penjualan turun. Selain itu, perusahaan memilih mengurangi jumlah staf untuk ketiga kali dalam empat bulan terakhir.
Jadi rangkaiannya, daya beli yang lemah dapat mempengaruhi penurunan permintaan barang atau jasa. Perilaku itu menyebabkan berkurangnya pendapatan pelaku usaha. Pendapatan yang rendah mengharuskan pengusaha melakukan efisiensi, salah satunya melalui pengurangan pegawai.Â
Kondisi dimaksud nampaknya tidak diimbangi dengan terbukanya lapangan kerja baru. Akibatnya, pengangguran pun terus bertambah. Kondisi semacam itu berujung pada mereka yang masih bekerja tidak dapat meningkatkan penghasilannya, dan yang berhenti bekerja tidak memiliki pendapatan lagi. Alhasil, mereka mengoptimalkan tabungan yang dimiliki untuk bertahan hidup.Â
Rangkaian kejadian dimaksud tidak sepenuhnya tepat. Namun, setidaknya begitulah gambaran kondisi yang saling berkaitan saat ini.
Memang, kondisi perekonomian selalu berfluktuasi. Hanya saja, jika kondisi sekarang tidak membaik, atau justru memburuk, maka hal itu merupakan sinyal waspada bagi perekonomian nasional.
Prioritas Manusia
Tantangan ekonomi yang dihadapi memang banyak. Untuk itu, penentuan prioritas penyelesaian menjadi penting. Memperkuat kualitas sumber daya manusia menjadi bagian prioritas itu.Â
Sejarah membuktikan, bangsa-bangsa berhasil maju karena faktor kualitas manusia di dalamnya. Kita ingat, bagaimana Korea Selatan atau Malaysia yang menjadi bangsa terseok-seok sekian dekade yang lalu, berhasil meroket karena keberhasilan mengasah kemampuan penduduknya. Atau, Jepang, negara yang berada di titik nadir pasca kalah perang, berhasil bangkit dan menjadi pemain penting dalam perekonomian dunia. Itu tidak lain karena kemampuan rakyatnya.Â
Bagi Indonesia, bangsa ini memiliki limpahan usia produktif hingga sekian tahun mendatang. Sumber daya itu mesti diberdayakan. Jika tidak, maka yang terjadi adalah tumpukan pengangguran.
Sebagaimana disinggung di awal, salah satu risiko utama Indonesia adalah pengangguran. Lain halnya dengan beberapa negara maju seperti Jepang, Belanda, atau Jerman yang justru menghadapi risiko kekurangan tenaga kerja.
Pengangguran diantaranya bisa terjadi karena kompetensi sumber daya manusia yang tidak memiliki kompetensi memadahi. Dari situlah pendidikan mempunyai peran penting.Â
Saat ini, tentu tidak hanya tingkat pendidikan yang diperhatikan, tetapi juga mutunya. Diantara pengangguran, banyak diantara mereka yang berpendidikan memadahi.
Mutu dapat dilihat dari ketepatan ilmu yang dipelajari dengan kebutuhan industri. Sebut saja, sekolah vokasi dapat melakukan penguatan keterampilan siswanya sesuai permintaan pasar, perguruan tinggi dapat mengasah mahasiswanya dengan keilmuan yang dibutuhkan dunia kerja atau usaha, dan cara-cara lain yang mampu menciptakan tenaga siap kerja.
Kebijakan Bersahabat
Sembari menggarap manusianya, para pemangku kebijakan perlu lebih bijak dalam mengambil sikap. Kebijakan publik diprioritaskan menyelesaikan masalah terkini, yang ada di depan mata.
Misalnya, beberapa waktu lalu, kita mendengar pemerintah bakal mengeluarkan aturan wajib asuransi kendaraan atau kenaikan pajak pendapatan nilai. Semua aturan itu tentu memiliki tujuan baik, menjamin keselamatan masyarakat atau meningkatkan pendapatan negara.Â
Namun, kebijakan semacam itu menimbulkan konsekuensi bertambahnya beban pengeluaran masyarakat. Untuk saat ini, masyarakat sedang menghadapi persoalan krusial, yaitu daya beli yang melemah.Â
Oleh karenanya, sekarang menyelamatkan daya beli jauh lebih penting daripada menjamin keamanan berlalu lintas atau mendongkrak pajak. Kebijakan yang tidak berdampak langsung ke masyarakat atau justru menambah beban mereka, perlu untuk ditunda, dialihkan, atau bahkan dibatalkan.
Gampangnya, selamatkan dulu kepentingan perut rakyat.
Persoalan Perut
Mengapa memulihkan daya beli penting sekaligus prioritas?
Kemampuan daya beli yang terus merosot dapat berdampak menurunkan kelas konsumsi. Penduduk yang semula kelas menengah bisa turun menjadi kelas rentan, dan yang rentan bisa masuk kelas miskin.Â
Memang, angka kemiskinan di Indonesia dalam satu dekade ini terus menurun. Akan tetapi, jika persoalan melemahnya kemampuan ekonomi masyarakat tidak ditangani segera, dalam sekian waktu ke depan, persoalan kemiskinan bisa muncul ke permukaan.
Dalam kondisi terburuk, kemiskinan dapat memicu beragam persoalan lainnya, terutama kejahatan. Ada berbagai studi yang membuktikan korelasi positif antara kemiskinan dan kejahatan.
Indonesia punya pelajaran berharga mengenai itu. Berawal dari terpuruknya kondisi ekonomi masyarakat, instabilitas politik pun terjadi. Hyper inflasi dan krisis moneter menjadi salah satu pemicu runtuhnya orde lama dan orde baru. Transisi politik itu diwarnai dengan instabilitas kemanan berupa kerusuhan massa. Kejahatan pencurian, penjarahan, atau perampokan terjadi di banyak tempat.
Dari situlah, kebutuhan mendasar rakyat, berupa kemampuan beli, tidak patut diabaikan. Rumusnya, orang dapat melakukan apa saja ketika harus memenuhi kebutuhan perutnya. Karena itulah, lapar adalah maut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H