Seandainya kenaikan harga BBM dibiarkan, impaknya akan merembet kemana-mana. Tarif transportasi bakal naik. Kenaikan itu mempengaruhi biaya distribusi barang, diantaranya bahan pangan. Akhirnya, harga komoditas tersebut pun ikut naik. Biaya ekonomi terakumulasi semakin tinggi. Â Â
Itulah ilustrasi dampak jangka pendek kenaikan harga minyak dunia. Ketegangan geopolitik tentunya bisa juga mempengaruhi harga komoditas lainnya, seperti gas, besi, baja, pupuk, dll.
Ujian untuk Indonesia
Saat ini, Indonesia masih berjibaku dengan melemahnya nilai tukar Rupiah. Pelemahan itu mendapat perhatian khusus karena mencapai titik yang rendah dalam sekian tahun. Kestabilan nilai tukar Rupiah diperlukan dalam upaya mendukung inflasi yang rendah dan stabil.
Melemahnya nilai tukar dimaksud mengakibatkan pembengkakan biaya impor. Harga barang impor pun menjadi mahal.Â
Indonesia masih tercatat sebagai negara net importir minyak. Sudah bertahun-tahun, negeri ini juga harus mengimpor beras untuk memenuhi kebutuhan domestik. Pelemahan nilai tukar rupiah pastinya akan menambah beban negara untuk pembiayaan impor komoditas-komoditas tersebut.
Jika pelemahan berkelanjutan, impaknya akan menular menjadi inflasi. Apabila masih berlanjut juga, tidak mustahil merembet ke persoalan sosial bahkan politik, sepertihalnya krisis moneter 1998.
Apalagi, beberapa bulan ke depan, akan terjadi transisi politik yang berpotensi mempengaruhi sentimen pasar. Tentu harapannya adalah transisi berjalan mulus sehingga tidak menganggu roda perekonomian.
Bank Indonesia (BI), selaku otoritas moneter, akan berupaya menstabilkan nilai rupiah melalui instrumen-instrumen yang dimiliknya.
Dalam pengambilan kebijakannya, BI bersama dengan pemerintah menghadapi tantangan yang pelik. Mengendalikan inflasi untuk menjaga daya beli masyarakat menjadi prioritas, sekalipun dihadapkan pada beratnya menjaga pertumbuhan ekonomi.Â
Memang tidak mudah, mengambil suatu kebijakan menahan inflasi sembari mendorong pertumbuhan ekonomi disaat tekanan sedang tinggi seperti sekarang.Â