Mohon tunggu...
Abdul Haris
Abdul Haris Mohon Tunggu... Bankir - Menulis Untuk Berbagi

Berbagi pemikiran lewat tulisan. Bertukar pengetahuan dengan tulisan. Mengurangi lisan menambah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Dampak Ekonomi Konflik Geopolitik

22 April 2024   22:39 Diperbarui: 23 April 2024   16:51 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Shutterstock via KOMPAS.com)

Setiap 10% kenaikan inflasi minyak global, secara rata-rata meningkatkan inflasi domestik hingga 0,4% dalam jangka pendek. Itulah kesimpulan sebuah penelitian dari International Monetary Fund (IMF). 

Ketegangan Geopolitik

Kondisi geopolitik melanjutkan ketidakpastiannya pasca serangan balasan Iran ke Israel. Serangan ini memantik kekhawatiran terjadinya aksi saling balas.

Jika konflik berkelanjutan maka perseteruan dapat melibatkan negara-negara kuat lainnya. Sebut saja, Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa, maupun negara axis of adverseries, yakni Rusia, Tiongkok, bahkan Korea Utara.

Negara-negara tersebut tidak hanya pemilik senjata pemusnah massal, sebagian diantaranya merupakan penguasa sumber daya alam utama penggerak perekonomian dunia, minyak bumi. Ditambahkan lagi, mereka juga pemain inti perekonomian global.

Rembetan Ekonomi

Dampak rembetan yang cepat sekaligus paling terasa dari konflik geopolitik adalah sektor ekonomi. Salah satu yang sangat rentan adalah potensi kenaikan harga minyak bumi. Sebagaimana riset IMF pada awal tulisan, kenaikan harga minyak bumi memiliki korelasi terhadap inflasi. 

Bagi Indonesia, dampak kenaikan komoditas tersebut bisa memicu inflasi bahan bakar minyak (BBM). Untuk meredamnya, pemerintah perlu mengambil pilihan kebijakan peningkatan subsidi. 

Dengan inflasi yang diredam, diharapkan daya beli masyarakat terjaga. Tentunya, kebijakan semacam itu menimbulkan konsekuensi pembengkakan pengeluaran pemerintah. 

Pilihannya memang tidak mudah. Inflasi ini ibaratnya orang nyeri gigi yang sakitnya merembet menjadi demam plus sakit kepala. 

Seandainya kenaikan harga BBM dibiarkan, impaknya akan merembet kemana-mana. Tarif transportasi bakal naik. Kenaikan itu mempengaruhi biaya distribusi barang, diantaranya bahan pangan. Akhirnya, harga komoditas tersebut pun ikut naik. Biaya ekonomi terakumulasi semakin tinggi.   

Itulah ilustrasi dampak jangka pendek kenaikan harga minyak dunia. Ketegangan geopolitik tentunya bisa juga mempengaruhi harga komoditas lainnya, seperti gas, besi, baja, pupuk, dll.

Ujian untuk Indonesia

Saat ini, Indonesia masih berjibaku dengan melemahnya nilai tukar Rupiah. Pelemahan itu mendapat perhatian khusus karena mencapai titik yang rendah dalam sekian tahun. Kestabilan nilai tukar Rupiah diperlukan dalam upaya mendukung inflasi yang rendah dan stabil.

Melemahnya nilai tukar dimaksud mengakibatkan pembengkakan biaya impor. Harga barang impor pun menjadi mahal. 

Indonesia masih tercatat sebagai negara net importir minyak. Sudah bertahun-tahun, negeri ini juga harus mengimpor beras untuk memenuhi kebutuhan domestik. Pelemahan nilai tukar rupiah pastinya akan menambah beban negara untuk pembiayaan impor komoditas-komoditas tersebut.

Jika pelemahan berkelanjutan, impaknya akan menular menjadi inflasi. Apabila masih berlanjut juga, tidak mustahil merembet ke persoalan sosial bahkan politik, sepertihalnya krisis moneter 1998.

Apalagi, beberapa bulan ke depan, akan terjadi transisi politik yang berpotensi mempengaruhi sentimen pasar. Tentu harapannya adalah transisi berjalan mulus sehingga tidak menganggu roda perekonomian.

Bank Indonesia (BI), selaku otoritas moneter, akan berupaya menstabilkan nilai rupiah melalui instrumen-instrumen yang dimiliknya.

Dalam pengambilan kebijakannya, BI bersama dengan pemerintah menghadapi tantangan yang pelik. Mengendalikan inflasi untuk menjaga daya beli masyarakat menjadi prioritas, sekalipun dihadapkan pada beratnya menjaga pertumbuhan ekonomi. 

Memang tidak mudah, mengambil suatu kebijakan menahan inflasi sembari mendorong pertumbuhan ekonomi disaat tekanan sedang tinggi seperti sekarang. 

Kalaupun memilih mana yang didahulukan, mengendalikan inflasi adalah pilihannya. Pertumbuhan ekonomi bukan berarti diabaikan, hanya saja pencapaiannya mungkin tidak bisa tinggi sebagaimana ditargetkan.

Optimis dan Realistis

Di tengah ketidakpastian ini, optimisme tetap harus dijaga. Ketika kondisi geopolitik sudah di luar kendali, upaya memperkuat fundamental ekonomi domestik menjadi pilihan terbaik, guna menjaga optimisme itu. 

Langkah sekecil apapun bisa memiliki arti. Contohnya, gerakan pengendalian inflasi pangan melalui kemandirian masyarakat bertanam tanaman pangan. Meskipun nampak sederhana, langkah semacam itu bisa mengurangi dampak inflasi pangan ke masyarakat. Bisa pula ditambahkan gerakan kecil seperti penghematan penggunaan energi bahan bakar, listrik, dll.

Optimis perlu dibarengi dengan sikap realistis. Kita tidak bisa memungkiri, konflik ribuan kilometer di sana, cepat atau lambat bisa berimbas ke sini. 

Sembari pemerintah, BI, dan dukungan segenap elemen masyarakat terus mengatasi dampak yang mulai merembet, doa terbaik agar konflik secepatnya berakhir hendaknya senantiasa dipanjatkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun