Mohon tunggu...
Abdul Haris
Abdul Haris Mohon Tunggu... Bankir - Menulis Untuk Berbagi

Berbagi pemikiran lewat tulisan. Bertukar pengetahuan dengan tulisan. Mengurangi lisan menambah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Keengganan Berubah, Berbuah Ketertinggalan

8 April 2024   14:27 Diperbarui: 8 April 2024   19:36 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedikit berbagi pengalaman pribadi...

Pertama, mahalnya taksi konvensional bandara

Sesaat setelah mendarat di salah satu bandara, saya langsung menuju layanan taksi lokal. Saat di loket, petugas menyodorkan tarif dengan pembayaran cash, kalaupun menggunakan QRIS dikenakan charge. Tarif jasa yang dikenakan memang cukup tinggi. 

Pernah saya menanyakan ke pengemudi, mereka sebetulnya hanya menerima sekian persen dari tarif, selebihnya untuk pihak pengelola. Taksi lokal ini biasanya dikelola pihak terafiliasi dengan bandara, diantaranya perusahaan pengelola bandara atau koperasi.

Kendaraan yang mengantarkan saya tampak kurang terawat. Namun, yang membuat lebih tidak nyaman, menjelang tiba di tujuan, pengemudi tiba- tiba meminta tarif tambahan. Alasannya adalah saya telah melampaui kilometer yang ditetapkan. Hal itu tidak pernah diinformasikan pada awal transaksi. Sungguh pengalaman yang tidak menyenangkan.

Beberapa bandara saat ini sudah mengizinkan taksi online beroperasi di areanya. Tarifnya lebih murah dari taksi konvensional. Selain itu, besarnya tarif layanan juga sudah pasti karena based on aplikasi. Layanan tersebut berdampingan dengan taksi lokal atau konvensional. Mana yang dipilih? Terserah para penggunanya.

Kedua, pedagang konvensional menolak digital

Sekian tahun silam, saya masih ingat betapa ramainya pasar grosir di ibukota ini. Saking ramainya, konsentrasi untuk belanja kerap terpecah sembari menjaga dompet agar tidak dicopet.

Tetapi, beberapa bulan lalu, para pedagang di pasar tersebut mulai resah. Dagangannya mereka anggap mulai sepi. Kehadiran pasar digital mereka anggap sebagai pangkal persoalan.

Platform digital memang menjadi salah satu pemicu berubahnya perilaku pembeli. Pelan-pelan mereka meninggalkan transaksi tatap muka. Bagaimana tidak, platform digital mampu menawarkan kemudahan jual beli, yang paling menarik, harga yang lebih murah daripada perdagangan konvensional. 

Praktik dagang yang menarik pembeli meskipun belakangan terungkap menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat. Apapun itu, sayang sekali, sulit menghentikan lokomotif pasar digital yang sudah melaju sedemikian cepatnya. Kembali lagi, pilihan konsumenlah yang sebenarnya mendorong laju itu.

Keenganan Berubah, Berbuah Ketertinggalan.

Transisi dari dunia konvensional ke digital bukan lagi evolusi, tapi sudah revolusi. Tidak membutuhkan waktu lama untuk berkembangnya teknologi, hanya sekian tahun. Kita sudah dan masih menyaksikan pelbagai lompatan inovasi teknologi pada beragam aspek kehidupan.

Aspek ekonomi yang paling mencolok, hanya dalam jangka waktu beberapa tahun, orang tidak lagi membawa duit di dompet, cukup dengan gawai pembayaran selesai. Orang tidak perlu berpeluh dan berjubel di pasar karena barang yang diperlukan bisa didapatkan di pasar virtual. Siapa yang butuh ojek atau taksi, tinggal mainkan jari di gawai, pengemudi akan menghampiri. Tarifnya pun sudah pasti dan pembayarannya dari aplikasi.

Banyak hal yang diinginkan pelanggan bisa disajikan dalam ekosistem ekonomi digital. Kemudahan transaksi, harga murah, diskon, dan kenyamanan lainnya. Wajar jika kemudian orang cenderung memilih sesuatu yang menyamankan mereka.

Bagi penggiat usaha atau pekerja, kondisi tersebut semestinya menguntungkan, asalkan mereka mau berubah, menyesuaikan diri, dan ikut berbaur dalam ekosistem ekonomi digital.

Secara teori mudah, tinggal ajak mereka untuk berubah. Dalam praktiknya, tidaklah mudah, ada penghalang-penghalang yang sulit dibuang

Seorang pengemudi taksi dan pedagang pasar yang lanjut usia kemungkinan besar sulit belajar berdigital. Mereka yang sudah merasa cukup dan nyaman dengan aktivitas nir-teknologi, belum tentu mau berubah. Ada juga yang memang malas untuk belajar hal baru, sehingga tetap bertahan atau bersiap menerima kekalahan persaingan secara perlahan.

Taksi online di bandara, sedikit demi sedikit akan menggeser keberadaan taksi lokal konvensional. Jual beli daring tidak mustahil akan mendominasi dunia perdagangan.

Harapan dari Bonus Demografi

Layak Indonesia mengungkit bonus demografi yang didapat hingga sekian tahun ke depan. Kelebihan sumber daya manusia produktif identik dengan mereka yang berusia muda. Mereka adalah generasi yang sejak lahir sudah berhadapan dengan kemewahan teknologi. Mereka sudah terbiasa hidup di tengah berseliwerannya teknologi baru. Dengan kondisi itu, mereka menjadi generasi yang mudah mengadopsi perubahan.

Tentu saja no free lunch untuk dapat menikmati bonus itu. Bonus demografi ini akan layak disebut bonus jika generasi mudanya dipersiapkan dan diberdayakan dengan baik. Jika tidak, yang ada sekedar kelebihan demografi, yang hanya menambah beban negeri ini.

Pendidikan yang berkualitas untuk mempersiapkan mereka, disertai kesempatan berkarya untuk memberdayakan mereka, adalah sesuatu yang harus disediakan. 

Indonesia sudah menyadari itu. Pemerintah masih terus mengekspansi infrastruktur teknologi, pendidikan dengan sisipan kurikulum teknologi sudah banyak diterapkan sejak sekolah dasar, atau sekolah vokasi siap kerja semakin berkualitas sehingga siap menjawab permintaan pasar. 

Otoritas bank sentral pun terus gencar menguatkan ekosistem ekonomi digital, dalam beberapa waktu ke depan akan ada Rupiah digital, sistem pembayaran lintas negara terus berkembang, dan masyarakat semakin me-mainstreamkan pembayaran dengan gawai.

Euforia dalam menyatukan kehidupan dengan teknologi ini pastinya disertai nyala peringatan kewaspadaan. Upaya negara lain untuk mengambil keuntungan potensi ekonomi digital Indonesia dengan cara tidak sehat harus diperangi. Pelindungan kepada seluruh elemen bangsa tetap yang dikedepankan. 

Indonesia Bisa

Bagaimanapun, keinginan Indonesia untuk menjadi pemain penting dalam ekosistem ekonomi digital dunia tidak berlebihan, bukan sekedar mimpi. Ada kesempatan besar untuk mewujudkannya. 

Dimulai dengan membangun sumber daya manusianya, dilanjutkan dengan kesiapan negara untuk memberdayakan kemampuan mereka, dan tentunya, dukungan bangsa untuk menciptakan lingkungan yang mendorong semangatkan menghasilkan inovasi yang bermanfaat. 

Kelak, Indonesia tidak lagi sekedar negara pengguna atau semata-mata tujuan pasar teknologi negara lain. Kita optimis bisa lebih dari itu...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun