Heryunanto)
"Pemerintah jangan telat mengatur ekonomi digital" ungkap Teten Masduki yang meneruskan pesan Presiden Joko Widodo.Â
Dalam episode podcast Deddy Corbuzier itu, Menteri Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) tersebut bahkan menegaskan jika pemerintah tidak cepat mengatur, maka Indonesia dapat dikolonialisasi oleh platform global.
Dialog tersebut mencuat ketika pemerintah kembali merisaukan aktivitas perdagangan Tiktok. Platform asal Tiongkok tersebut dinilai masih melakukan praktek bisnis tidak sehat yang bisa merugikan perekonomian negeri ini, khususnya UMKM.
Sedikit mengingat, TikTok Shop sempat melakukan praktik jual-beli pada platform media sosialnya. Pemerintah pun tahun lalu melarang transaksi tersebut setelah sekian waktu berjalan. Â
Pengaturan Tepat Waktu
Pesan kepala negara agar pengaturan ekonomi digital tidak telat dapat dimaknai adanya ketepatan waktu dalam menggulirkan regulasi. Artinya, tidak bisa aturan keluar terlalu dini atau malah terlambat.
Jika terlalu dini, maka dapat menghasilkan peraturan yang tidak tepat sasaran atau justru menghambat inovasi. Sebaliknya, apabila telat, maka dampak negatif dari suatu peristiwa kasip terjadi sehingga sulit diperbaiki.
Tidak bisa juga, aturan muncul hanya karena tindakan reaktif dari pemangku kebijakan. Hal itu berimbas pada lolosnya pengukuran dampak samping ketika aturan diberlakukan. Â Â
Contohnya, saat pelarangan TikTok shop tahun lalu, sudah ada 5 juta pelaku bisnis menggunakan platform dimaksud dan 2 juta diantaranya terlanjur berjualan di TikTok Shop.Â
Dalam kondisi seperti itu, penegakan aturan untuk pelarangan menghadapi tantangan yang berat. Penerapan yang tegas pada satu sisi dapat mencegah praktek monopoli. Namun di sisi lain, ada jutaan pelaku usaha yang bakal kehilangan pasarnya.
Intinya, ketidaktepatan waktu penerapan aturan berpotensi pada ketidakefektivan aturan itu. Alias, aturan tidak dapat diterapkan secara optimal sesuai tujuannya.
Pembelajaran Sektor Keuangan
Selain sektor e-commerce, inovasi ekonomi digital yang agresif paling nampak pada sektor keuangan. Beberapa tahun yang lalu, dunia ekonomi sempat gaduh menghadapi maraknya penggunaan mata uang kripto.
Saat itu, Christine Lagarde yang menjabat sebagai Managing Director International Monetary Fund berpesan "Above all, we must keep on an open mind about crypto assets and financial technology more broadly, not because the risk they pose, but also because of their potential to improve our lives."Â
Kurang lebih, pesan itu menekankan pada perlunya pemikiran terbuka menghadapi munculnya kripto, karena mungkin ada potensi manfaat yang bisa diambil, selain efek negatifnya yang besar.
Dari situ disimpulkan bahwa pengaturan terhadap suatu inovasi tidak bijak dilakukan spontanitas tanpa mendalami potensi risiko dan manfaatnya.Â
Dan, dari pembelajaran menghadapi trend crypto currency, bank sentral di berbagai negara saat ini sedang berjibaku mempercepat persiapan mata uang digital bank sentral. Bentuk mata uang yang memang dibutuhkan di masa mendatang.
Ada pula, saat penggunaan smartphone semakin menjamur di Indonesia, beberapa platform memperkenalkan cara pembayaran menggunakan Quck Respone (QR) code. Bank Indonesia (BI), sebagai regulator sistem pembayaran, tidak serta-merta melarang atau membiarkan.Â
Bank sentral melakukan pemantauan trend hingga akhirnya menghasilkan kebijakan QR Code Indonesian Standard (QRIS), atau penyatuan QR dari berbagai penyedia.
Hasilnya, kebijakan BI yang tepat waktu itu menghasilkan terobosan luar biasa dalam bidang sistem pembayaran. Terobosan yang hadir saat industri dan masyarakat memerlukan cara pembayaran berbasis teknologi yang praktis, mudah, dan cepat.
Pengaturan itu Perlu
Kehadiran negara dalam ekosistem ekonomi digital sangat diperlukan. Bentuk kehadirannya diantaranya adalah melalui produk peraturan.
Terkadang memang pelaku industri ekonomi digital mendambakan kondisi laissez-faire atau terlepasnya campur tangan negara terhadap suatu aktivitas. Dalam kenyataannya, kondisi  semacam itu tidaklah ideal.
Lepasnya peran negara dapat menimbulkan berbagai persoalan yang justru mengganggu perkembangan ekonomi digital. Persoalan yang muncul bisa berupa lemahnya pelindungan konsumen.
Posisi pelaku industri, misalnya dalam bidang keuangan ada bank, umumnya lebih kuat dari nasabahnya. Toh, ketika konsumen dirugikan, cepat atau lambat dia akan meminta bantuan otoritas terkait. Jika negara totalitas lepas dari industri, maka konsumen tidak akan memiliki akses masuk guna memperoleh pelindungan otoritas.
Persaingan tidak sehat pun mudah terjadi. Para pemilik modal kuat akan mudah menguasai pasar dan mengendalikan harga. Ilustrasi praktek bisnis TikTok menandakan mulainya muncul monopoli dari pelaku usaha besar.
Terakhir, potensi kejahatan semakin besar tanpa pengawasan yang melekat. Jual beli data yang sangat merugikan masyarakat semakin mudah dilakukan para pelaku usaha digital.Â
Belum lagi, potensi fraud atau pencucian uang yang merugikan pelaku usaha bahkan negara semakin lebar. Hal itu dikarenakan kian berkembangnya transaksi keuangan berbasis layanan teknologi. Â Â
Kesimpulannya, kehadiran negara sebagai regulator ekonomi digital harus ada. Yang perlu diperhatikan adalah ketepatan waktu negara itu hadir. Bagaimanapun, inovasi ekonomi digital selama memberikan banyak manfaat tetap harus didorong. Aturan yang ada jangan sampai membelenggu inovasi itu.
Namun, perkembangan inovasi juga perlu memiliki koridor atau semacam rambu-rambu berupa aturan. Tujuannya, agar laju ekonomi digital dapat berjalan dengan tertib, tidak mengakibatkan kerugian, dan memberikan manfaat bagi bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H