Mohon tunggu...
Abdul Haris
Abdul Haris Mohon Tunggu... Bankir - Menulis Untuk Berbagi

Berbagi pemikiran lewat tulisan. Bertukar pengetahuan dengan tulisan. Mengurangi lisan menambah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Akankah Rupiah Digital Merakyat?

18 Desember 2023   23:30 Diperbarui: 19 Desember 2023   11:27 817
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rupiah digital. (KOMPAS/Supriyanto)

Bukan lagi sekadar wacana, rencana penerbitan Central Bank Digital Currency (CBDC) Indonesia atau Rupiah Digital semakin menunjukkan kenyataan. Bank Indonesia (BI) sudah melakukan banyak langkah guna mewujudkannya.

Kebijakan mutakhir ini memang memerlukan proses dan waktu panjang. Namun, yang terpenting adalah nampaknya kemajuan pada setiap tahapan yang mendekatkan terwujudnya Rupiah Digital. 

Tidak kalah pentingnya, kebijakan tersebut mesti pro-rakyat. Artinya, CBDC Indonesia nantinya harus inklusif atau mampu dimanfaatkan berbagai lapisan masyarakat.

Perjalanan Mewujudkan

Sesuai survei Bank for International Settlement (BIS) pada 2022, sebanyak 93 persen bank sentral di dunia sedang mengekplorasi CBDC. China dan India menjadi contoh negara yang telah mengujicobakan mata uang digitalnya.

Bagi BI, perjalanan mewujudkan CBDC Indonesia telah melalui sekian tahapan. Bank sentral tersebut telah meluncurkan proyek persiapannya yang disebut Proyek Garuda pada 2022. Mengawali proyek itu, BI mempublikasikan gambaran umum desain Rupiah Digital ke dalam suatu white paper.

Selanjutnya, agar desain sesuai dengan kebutuhan industri dan masyarakat umum, BI melakukan konsultasi publik pada 2023 yang dirangkum dalam consultative paper. Masih ada tahapan-tahapan berikutnya sebelum Rupiah Digital ini diterbitkan.

Seluruh tahapan itu untuk memperkuat desain Rupiah Digital. Tujuannya, agar pada saatnya diterbitkan, Rupiah Digital dapat berfungsi efektif dan memberikan nilai tambah bagi perekonomian bangsa.

Komitmen Kuat

Tahapan yang panjang tidak bisa dihindarkan untuk suatu kebijakan yang bakal berdampak besar. Selama menapaki tahapan itu, komitmen bank sentral pun semakin kuat ketika payung hukumnya sudah terbuka.

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 (UU Mata Uang) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan menyebutkan "Macam Rupiah terdiri atas Rupiah kertas, Rupiah logam, dan Rupiah digital." Artinya, UU sudah menetapkan bahwa Indonesia akan memiliki tambahan macam Rupiah yang berwujud digital.

BI pun mendapatkan mandat sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan pengelolaan Rupiah Digital, meskipun koordinasi dengan pemerintah tetap dilakukan. Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 14A UU Mata Uang.

Selain itu, kelanjutan pengembangan Digital Rupiah telah masuk kebijakan sistem pembayaran 2024 sebagaimana paparan Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam Pertemuan Tahunan BI 2023.

Dari situ telah jelas bahwa bank sentral telah mendapatkan dukungan yang kuat dari dari UU. Dukungan itu diperlukan agar Rupiah Digital memiliki kejelasan kedudukannya sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender).

Adapun komitmen BI telah ditunjukkan dengan keberlanjutan penyiapan Rupiah Digital pada rencana kebijakan mendatang.

Ketepatan Desain

Sebagaimana tantangan yang dihadapi bank-bank sentral lainnya, kompleksitas penyiapan Rupiah Digital tidak lepas dari pencarian ketepatan desain. Ketepatan itu erat kaitannya dengan kemampuan mengaktivasikan Rupiah Digital sesuai fungsi uang sebagaimana mestinya.

Sesuai penjelasan UU Mata Uang, uang dapat dikatakan sebagai salah satu alat utama perekonomian jika memiliki fungsi sebagai alat penukar atau alat pembayar dan pengukur harga.

Ditambahkan, setidaknya terdapat empat fungsi uang yaitu sebagai alat tukar, alat penyimpan nilai, satuan hitung, dan ukuran pembayaran yang tertunda terkait transaksi pinjam meminjam (Uang: Pengertian, Penciptaan, dan Perannya dalam Perekonomian, oleh Solikin dan Suseno).

Dari serangkaian proses perancangan desain Rupiah Digital, unsur-unsur fungsi itulah yang dapat menjadi tolok ukur ketepatan desain. Jadi, dapat dimaklumi jika penentuan desain ini kudu dilakukan dengan hati-hati.

Sebagai alat pembayaran baru, Rupiah Digital akan berdampingan dan melengkapi eksistensi uang kertas dan logam (co-exist). Dengan demikian, diharapkan tingkat penggunaannya sama dengan jenis Rupiah lainnya.

Sekilas Bentuk CBDC

Desain CBDC disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan ekonomi di suatu negara. Namun, setidaknya terdapat desain standar yang berlaku yaitu wholesale CBDC dan ritel CBDC.

Secara ringkas, merujuk white paper BI, wholesale CBDC Indonesia merupakan Rupiah Digital untuk transaksi antar-bank dan lembaga keuangan. Oleh karenanya, aksesnya terbatas karena hanya didistribusikan dari BI kepada pihak yang ditunjuknya (wholesaler), misalnya bank.

Adapun versi ritelnya ialah Rupiah Digital yang terbuka untuk publik dan didistribusikan untuk transaksi ritel. Inilah Rupiah Digital yang akan dimiliki oleh masyarakat yang diperoleh dari wholesaler atau peritel. 

Masyarakat memperolehnya dengan menukarkan uang kertas atau logam, tabungan atau giro di bank umum, atau saldo uang elektronik.

Akankah Merakyat?

Kedudukan Rupiah Digital sama dengan Rupiah kertas dan logam yakni sebagai alat pembayaran yang sah sesuai amanah UU. Yang membedakan hanyalah wujudnya, yang satu fisik dan yang lain digital.

Rupiah Digital pun sudah menjadi satu kesatuan uang Rupiah yang memang diperuntukkan bagi seluruh orang. Tidak ada eksklusivitas pada Rupiah Digital ini, sebagaimana setiap orang yang berhak memegang uang.

Lalu, akankah Rupiah Digital merakyat? 

Ya, semestinya merakyat. Hanya saja, untuk mewujudkannya tentu butuh proses penyesuaian. Agar penyesuaian itu efektif maka kembali diperlukan desain yang tepat guna sebagaimana penjelasan sebelumnya.

Dari situlah, bank sentral di dunia termasuk BI, sedang mengembangkan CBDC ritel yang memiliki fitur offline. Bagi Indonesia, keberadaan fitur tersebut memberikan kesempatan akses masyarakat yang tinggal di daerah susah sinyal atau kawasan terpencil. 

Jelaslah, fitur itu yang akan mendekatkan Rupiah Digital dengan masyarakat dan mendorong pemerataan pemanfaatannya. Lalu, mengenai bentuk offline-nya seperti apa, saat ini BI sedang merancangnya.

Mengutip survei BIS, mayoritas bank sentral membutuhkan CBDC untuk mendukung inklusi, dengan kata lain CBDC dapat digunakan seluruh lapisan sosial. Jadi, inklusinya tidak lagi hanya sebatas keuangan, tetapi juga inklusi sosial dan digital. Contohnya, ketika individu tidak memiliki akses pembayaran menggunakan smartphone, alternatif harus tersedia.

Di samping fitur offline, agar CBDC Indonesia diterima masyarakat maka akan ada pula penyamaan fitur dengan Rupiah kertas dan logam. Salah satunya adalah fitur pengamanan, mengingat fitur tersebutlah yang bakal menguatkan kepercayaan masyarakat dalam penggunaan Rupiah Digital. Sedikit berbeda dengan uang fisik, pengamanan yang dikembangkan utamanya adalah keamanan siber dan perlindungan data pribadi.

Terakhir, kebermanfaatan Rupiah Digital akan terwujud jika ada dorongan dua sisi yang mempertemukan antara kebutuhan masyarakat dengan ketersediaan alat pembayarannya. 

Dari sisi masyarakat berupa literasi yang memperkenalkan sekaligus mendorong pemanfaatan Rupiah Digital. Dari alat pembayarannya, penyesuaian desain Rupiah Digital yang benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat.

Satoshi, Pendobrak Tiga Abad

Sosoknya menyisakan misteri, Satoshi Nakamoto, tidak jelas siapa dan dari mana dia. Yang jelas, sumbangsih pemikirannya berjudul "Bitcoin: A Peer-to-Peer Electronic Cash System" menjadi tonggak sejarah lahirnya cryptocurrency.

Kripto seakan-akan menciptakan dunia ekonomi bayangan. Di situ ada mata uang digital tanpa kendali bank sentral (shadow central bank), tanpa peran perbankan (shadow bank), dan bahkan, tanpa identitas tapi bisa lintas batas (anonymous-borderless).

Meskipun bukan satu-satunya pemicu, fenomena itu cukup membangkitkan kesadaran bank-bank sentral untuk bergerak agresif, menghasilkan kebijakan yang adaptif dengan tuntutan digital. Respon serempak mereka pun adalah menciptakan CBDC.

Dan, CBDC pun menjelma menjadi sebuah game changer perekonomian dunia. Bagaimana tidak? Instrumen uang terakhir, berupa uang kertas bank sentral, diperkenalkan tahun 1661 di Swedia. Selama tiga abad lebih, alat pembayaran bertahan dengan uang kertas dan logam.

Merakyatnya Rupiah Digital bukan lagi keharusan tetapi sudah kebutuhan. Sebagai alat ekonomi utama, uang Rupiah dalam berbagai bentuknya layaknya aliran darah yang menghidupkan perekonomian. Ketika tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya maka matilah perekonomian.

Terlepas itu semua, apapun bentuk perubahan yang dihadirkan oleh Rupiah Digital, yang terpenting adalah adanya kebaikan yang dibawanya, kebermanfaatan yang diberikannya, dan paling dinantikan, kesejahteraan yang dihadirkannya pada masa mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun