Mohon tunggu...
Abdul Haris
Abdul Haris Mohon Tunggu... Bankir - Menulis Untuk Berbagi

Berbagi pemikiran lewat tulisan. Bertukar pengetahuan dengan tulisan. Mengurangi lisan menambah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Penguatan Pelindungan Konsumen Sektor Keuangan

16 November 2023   18:00 Diperbarui: 17 November 2023   12:30 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang nasabah bank swasta mengadukan dana di rekeningnya hilang hingga puluhan juta. Berdasarkan pengecekannya, terdapat transaksi menggunakan QRIS melalui mobile banking yang tidak dilakukannya. Pihak bank pun segera merespon dengan melakukan investigasi (detik.com).

Awal tahun ini terdapat pula pengaduan nasabah yang menjadi korban pemasangan QRIS palsu di beberapa masjid di Jakarta. 

Di luar transaksi digital, sempat marak pengaduan-pengaduan nasabah menyoal pinjaman online (Pinjol) dan investasi bodong. Sebenarnya, masih banyak lagi pengaduan nasabah dengan varian masalahnya.

Belajar dari itu, persoalan antara nasabah dengan pelaku sektor usaha keuangan nampaknya terus bermunculan. Namun demikian, isu utamanya bukan lantaran pengaduan yang tidak ada hentinya, tetapi pada bagaimana penyelesaian pengaduan itu.

Peran Inti Konsumen

Nasabah merupakan bagian dari konsumen di sektor keuangan. Keberadaan konsumen tentunya tidak dapat dipisahkan dari rantai bisnis sektor keuangan. Mereka memiliki kedudukan penting di sektor tersebut.

Buktinya, ketika kepercayaan (trust) konsumen hilang maka bisa terjadi penarikan dana besar-besaran (rush). Dampaknya adalah sistem keuangan bisa tergoncang. Perlu diingat, bisnis di sektor keuangan adalah bisnis berbasis trust.

Indonesia berpengalaman menghadapi kondisi genting menjaga kepercayaan nasabah, yaitu saat krisis moneter 1998, yang nyaris terulang saat krisis global 2008. 

Lunturnya kepercayaan bisa bersumber dari kekhawatiran atau keraguan konsumen terhadap kualitas pelindungan dari pelaku bisnis dan tentunya, otoritas.

Pentingnya Pelindungan

Untuk menjaga kepercayaan konsumen maka kualitas pelindungan pun harus ditingkatkan. Kebutuhan pelindungan menjadi semakin tinggi jika melihat beberapa indikator terkini.

Indikator kecenderungan kedudukan konsumen lebih lemah dari pelaku usaha masih ada. Dampaknya adalah konsumen kerapkali menjadi pihak yang dirugikan, cenderung mengalah, atau pasrah. 

Ketidakseimbangan informasi (asymmetric), keterbatasan kemampuan finansial, atau berbelitnya aksesibilitas pengaduan merupakan contoh penyebab terjadinya ketidakseimbangan.  

Selanjutnya, indikator inklusi keuangan menujukkan persentase yang tinggi. Artinya, masyarakat yang terhubung dengan lembaga keuangan formal semakin banyak. 

Berdasarkan survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK), indeks literasi keuangan 2022 telah mencapai 85,10%. Dari angka tersebut saja telah nampak potensi pengaduan yang kian besar.

Lalu, jika mempertimbangkan tingkat literasi yang baru mencapai 49,68% pada 2022, maka masih terdapat gap inklusi dan literasi sebesar 35,42%. 

Gap tersebut merepresentasikan banyaknya masyarakat yang telah menggunakan produk lembaga keuangan resmi, tetapi belum memahami produk itu. Kelompok tersebut tentunya juga memerlukan pelindungan.      

Terakhir, indikator transaksi ekonomi dan keuangan digital semakin tinggi. Data Bank Indonesia (BI) pada triwulan III 2023 menunjukkan nominal transaksi uang elektronik Rp116T; digital banking Rp15.148T; Kartu ATM, Kartu Debet, dan kartu Kredit Rp2.041T; dan QRIS Rp56T.  Segala aktivitas berbasis digital memerlukan perhatian khusus. Selain kemanan dana, keamanan data menuntut pelindungan yang kuat.  

Urgensi Pengaturan

Mempertimbangkan kedudukan konsumen yang semakin kuat dan dinamisnya perkembangan sektor keuangan, penguatan pelindungan konsumen pun layak diprioritaskan. Penguatan paling efektif adalah dari sisi pembaharuan pengaturan yang bakal menjadi payung hukum aktivitas di sektor keuangan.  

Keterlambatan pembaharuan peraturan dapat membuka kelemahan pelindungan akibat ketidaksesuaian antara peraturan existing dengan praktek terkini. 

Melalui Undang-Undang No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK), peraturan-peraturan mengenai pelindungan konsumen yang menyasar sektor keuangan diformulasikan kembali.

Mengingat UU PPSK ini menerapkan metode omnibus law atau penggabungan beberapa aturan, maka pengaturan pelindungan konsumen ini mempunyai jangkauan luas. Dari otoritas sektor keuangan, hingga pelaku usahanya.      

Pengaturan dalam UU PPSK

Secara eksplisit, UU PPSK menyebutkan bahwa pelindungan konsumen merupakan asas (Pasal 2) sekaligus tujuan (Pasal 3) dari pembentukan UU dimaksud. Hal itu menunjukkan bahwa pelindungan konsumen merupakan salah satu materi pokok pengaturan UU PPSK.

Pengaturan pelindungan konsumen tersebar dalam banyak pasal. Setidaknya, kita dapat memahami beberapa aturan pokoknya.

Pertama, terdapat bab khusus yang mengelompokkan pengaturan pelindungan konsumen yang dirangkaikan dengan literasi dan inklusi keuangan (Bab XVIII). 

Terkait literasi dan inklusi, UU mengamanatkan pemerintah, BI, dan OJK untuk berkoordinasi meningkatkan literasi dan inklusi keuangan. Selain itu, ketiga lembaga negara tersebut diperintahkan untuk bersinergi menyusun, memantau, dan mengevaluasi strategi literasi dan inklusi dimaksud.

Sebagaimana disinggung di awal, gap lebar antara tingkat literasi dan inklusi membuka potensi sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha. Gap tersebut perlu dipersempit hingga dihilangkan sehingga terwujud keseimbangan antara literasi dan inklusi. 

Alhasil, semua anggota masyarakat yang telah terhubung dengan lembaga keuangan formal paham mengenai produk yang digunakannya.

Kedua, UU PPSK memberikan wewenang kepada otoritas sektor keuangan untuk menyusun pengaturan pelindungan konsumen. 

Dengan adanya payung hukum UU, maka otoritas-otoritas terkait memiliki standarisasi materi peraturan pelaksanaan yang meliputi, mekanisme penanganan pengaduan, layanan konsumen, pengawasan, penyelesaian sengketa, dan ketentuan lain yang diperlukan.

Mempertimbangkan obyek (pelaku usaha sektor keuangan) dan materi pengaturan, otoritas yang banyak berperan dalam penyusunan pengaturan dimaksud adalah BI dan OJK. Contoh implementasi, BI pasca UU PPSK telah menerbitkan Peraturan BI No. 3 Tahun 2023 tentang Pelindungan Konsumen BI.

Perlu diperhatkan, UU PPSK tidak hanya mengikat otoritas, tetapi juga pelaku usaha sektor keuangan. Industri untuk itu wajib mematuhi peraturan-peraturan dari UU, terlepas sudah ada atau belumnya aturan pelaksanaan dari otoritas. Contoh, pengaturan mengenai hak, kewajiban, dan larangan pelaku usaha.

UU PPSK bahkan mengatur langsung masyarakat terkait beberapa hal, yaitu hak, kewajiban, dan larangan mereka. Artinya, ada upaya dari UU untuk menyeimbangkan kedudukan konsumen dan pelaku usaha.

Ketiga, adanya pengaturan mengenai perjanjian baku, pelindungan data konsumen, dan satuan tugas (Satgas) penanganan kegiatan usaha tanpa izin. Dari sekian banyak pengaturan pelindungan konsumen, pengaturan pada ketiga hal tersebut sangat menjawab kebutuhan masyarakat saat ini.

Perjanjian baku sebenarnya merupakan persoalan lama yang sudah diatur pada UU sebelumnya, sebut saja UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 

Sayangnya, penegakannya belum optimal. Diantaranya ditandai dengan adanya klausul yang cenderung memberatkan konsumen dan tidak memberikan kesempatan tawar-menawar. 

Misalnya, klausul yang membolehkan pelaku usaha untuk mengubah isi perjanjian tanpa pemberitahuan kepada konsumen, atau klausul pembuktian terbalik oleh konsumen.

Dalam praktiknya, penegakan aturan mengenai perjanjian baku tidaklah mudah. Namun, dengan pemberlakuan UU PPSK, pelaku usaha seharusnya mulai merubah klausul-klausul yang memberatkan konsumennya. Jadi, meskipun ruang negosiasi konsumen tetap kecil, mereka setidaknya tidak dibebani klausul yang merugikan.

Berikutnya, pelindungan data konsumen. Pengaturan dalam UU PPSK melengkapi dan memperkuat ketentuan penggunaan data dalam UU No. 27 tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi. 

Semenjak aktivitas transaksi digital semakin meningkat, pelindungan data ini menjadi semakin krusial. Monetisasi penggunaan data sudah semestinya dikontrol oleh otoritas mengingat aktivitas bisnis itu dapat mengakibatkan kerugian materiil dan imateriil konsumen. Misalnya, larangan aplikasi Pinjol untuk mengakses nomor kontak nasabahnya.

Terakhir, penguatan payung hukum Satgas untuk penanganan kegiatan usaha tanpa izin di sektor keuangan. 

Sebelumnya, Satgas dimaksud dikenal dengan Satgas Waspada Investasi yang diinisiasi oleh Bapepam-LK pada tahun 2007. Keberadaan Satgas tersebut sangat penting untuk pencegahan dan penanganan kasus-kasus di sektor keuangan.

Belajar dari berulangnya kasus investasi dan Pinjol ilegal, Satgas dituntut untuk semakin mengoptimalkan upaya pencegahan dan penanganannya. 

Seperti halnya, peningkatan kemudahan akses informasi mengenai daftar investasi bodong. Upaya itu membantu masyarakat untuk semakin berhati-hati sebelum melakukan investasi.

Perhatian Lebih

Dahulu, pengaduan seorang konsumen bisa dianggap permasalahan selingan sehingga tidak ada kesungguhan penanganan. Berbeda dengan sekarang, era digitalisasi menimbulkan konsekuensi kencangnya arus informasi. 

Persoalan seorang nasabah dengan mudahnya menjadi viral yang dapat berakibat fatal. Meskipun secara finansial mungkin tidak seberapa, publikasi negatif mengenai perilaku pelaku usaha sektor keuangan dapat menghancurkan reputasi perusahaan.

Apabila pengaduan-pengaduan yang dianggap receh terus diremehkan, tidak menutup kemungkinan suatu saat akan terakumulasi menjadi pencitraan negatif terhadap sistem keuangan. Jika itu terjadi maka semua pihak akan dirugikan, baik dari pelaku usaha, konsumen, bahkan perekonomian nasional.

Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa pelindungan konsumen mempunyai kedudukan penting dalam menjaga kesehatan sektor keuangan. Industri tidak lagi cukup memperhatikan ketercukupan modal, tingkat pendapatan, atau tata kelola perusahaan, tetapi juga kesungguhan dalam melindungi konsumennya.

Kesungguhan itu akan menumbuhkan kepercayaan. Sedangkan, kepercayaan konsumen pada sektor keuangan merupakan penopang utama tegaknya perekonomian bangsa.                                   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun